Jumat, 30 November 2012

REVISI COVER : 4 novel karya Santhy Agatha

NOTE : POSTINGAN DIMUNCULKAN KEMBALI DI ATAS,  KARENA BANYAKNYA
YANG MEMINTA INFORMASI, TERIMAKASIH YAA *PELUK ERAT*

A Romantic Story about Serena
Genre : Roman, novel

Dalam hidupnya, Impian Serena hanyalah ingin menjadi perempuan yang biasa-biasa saja. Dia ingin menikah dengan Rafi kekasihnya, membentuk keluarga kecil yang bahagia, lalu seperti akhir kisah klise lainnya: bergandengan tangan di usia senja, melangkah menuju matahari terbenam.
Tetapi ternyata apa yang dia inginkan meskipun sederhana, tidak semudah itu menjadi kenyataan. Kecelakaan itu telah merenggut semua yang diimpikannya, orang tuanya, merenggut rencana pernikahannya dengan Rafi yang kemudian tak berdaya dan membuatnya harus berjuang sendirian, dan menghancurkan semua
mimpi
-mimpinya yang sebelumnya terbungkus dalam rencana masa depan yang telah tersusun rapi. Semuanya hancur.
 
Dalam perjuangannya untuk bangkit itulah dia harus berhubungan dengan Damian, seorang taipan kaya yang sombong, arogan, suka memaksakan kehendak, dan...punya obsesi seksual terpendam terhadap dirinya. Serena membutuhkan Damian lebih demi menyelamatkan Rafi, sedangkan Damian membutuhkan Serena untuk memuaskan hasrat obsesif yang terus menerus menyiksanya terhadap Serena.

Dua manusia yang seharusnya tidak pernah bersilang jalan inipun dipertemukan oleh keadaan. Dua manusia yang saling membenci satu sama lain tetapi dikalahkan oleh hasrat dan kebutuhan. Hubungan mereka panas membara, luar biasa sampai mereka bisa terbakar habis di dalamnya. Mereka menjalin hubungan karena keterpaksaan, yang lama kelamaan menjadi hubungan saling membutuhkan, saling merindukan dan saling memuaskan dan….. akhirnya menyerah untuk saling mencintai.


Sampai kemudian tiba saatnya Serena harus memilih antara Hasratnya pada Damian, lelaki arogan yang terus menerus menyakitinya tetapi berhasil merenggut hatinya, atau cintanya kepada Rafi, lelaki yang baik, yang pernah meninggalkannya untuk berjuang sendirian, tetapi tetap menjaga janjinya dalam sebentuk cincin pertunangan di jari manisnya."




From The Darkest Side
Genre : Roman, novel, Thriller                        

Hidup Sharin semula biasa-biasa saja. Dia adalah anak yang tidak diakui ibunya sendiri, seorang artis ternama yang memilih merahasiakan keberadaannya di depan umum dan membiarkannya dibesarkan oleh kakek dan neneknya. Sampai kemudian Cathy, ibunya memintanya berkenalan dengan calon ayah tirinya, seorang lelaki muda yang begitu berkuasa. Darren Leonidas, milyader kaya keturunan Yunani yang tampaknya menyimpan rahasia kelam yang berhubungan dengan masa lalu Sharin.
Begitu memasuki rumah calon ayah tirinya itu, ada nuansa gelap yang melingkupi Sharin, seolah-olah ada sepasang mata yang selalu mengawasinya sepanjang waktu, berusaha menunggu saat dia lengah untuk menyakitinya. Dan sikap calon ayah tirinya, yang entah kenapa begitu tampan, muda, kaya, berkuasa dan misterius itupun tampaknya sama sekali tidak membantu Sharin untuk memecahkan misteri yang melingkupinya, karena Darren – sang calon ayah tirinya – tampaknya merahasiakan sesuatu. Sesuatu yang cukup gelap dan menakutkan, sesuatu menyangkut Sharin dan masa lalunya. Sesuatu yang bisa dengan kejam melukai orang lain demi mencapai tujuan jahatnya.
 
Kisah ini adalah kisah thriller romance yang diilhami oleh ide yang hampir sama di semua kisah romance di dunia : Cinta segitiga. Tetapi cinta segitiga disini sangat unik, karena hanya melibatkan dua orang J. Kalian akan disuguhi suasana mencekam, darah, kekejaman sekaligus pelampiasan hasrat dan petualangan seksual yang luar biasa panas antara tokoh2 di dalamnya.
 
 
Unforgiven Hero
Genre : Roman, novel

Rafael Alexander adalah seorang pengusaha sukses keturunan dari keluarga kaya yang berpengaruh. tetapi sebenarnya Rafael menyimpan rasa bersalah yang menyiksa seumur hidupnya. Di masa mudanya, Rafael pernah menyebabkan kecelakaan parah yang membunuh seorang sopir taxi tua yang ternyata meninggalkan seorang anak perempuan bernama Elena menjadi sebatang kara.

Dengan kekuasaan dan kekayaannya, Rafael berusaha menebus kesalahannya itu. Bagaikan malaikat pelindung, dia diam-diam mengatur segala aspek kehidupan Elena hingga menjadi mudah.
Bahkan dengan kekuasaannya pula, dia memaksa Elena untuk terikat dengannya, ketika kemudian Elena mengetahui bahwa Rafael adalah orang yang menyebabkan kematian ayahnya, kebencian meledak di antara mereka, Elena tidak bisa memaafkan Rafael.
 
Tapi karena terbiasa mendapatkan apa yang dia mau, Rafael ahkirnya menggunakan cara paksaan untuk memiliki Elena, dia menculik  Elena ke tempat terpencil, jauh dari siapapun, berada sepenuhnya di bawah kuasanya, hanyut di dalam ledakan gairah Rafael, dan hanya bergantung kepadanya.
 
Konflik terjadi ketika ada perasaan yang mulai terlibat dari hubungan yang semula hanyalah penebusan dosa dan pamer kekuasaan ini. Ketika perasaan itu semakin dalam, akankah Elena bisa memaafkan laki-laki yang telah merenggut nyawa ayahnya dalam kecelakaan itu?
 



Sleep With The Devil
Genre : Roman, Novel, Thriller
 

Ketika bisnis orang tuanya jatuh, Lana terpaksa melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana orang-orang yang dicintainya satu persatu hancur. Ibunya terpuruk dalam rasa malu dan kecewa lalu meninggal karena digerogoti penyakit yang sumber utamanya adalah dari hatinya yang hancur, ayahnya ahkirnya meninggal dalam sebuah kecelakaan yang diindikasikan bunuh diri dengan sengaja karena tidak kuat menghadapi beban hidup, meninggalkan Lana Sendirian.Sebatang kara di dunia ini, Lana menyadari bahwa penghancur hidup keluarganya, yang menjadi pembunuh tak langsung kedua orang tuanya adalah Mikail Raveno, Pria berdarah italia, penguasa bisnis yang punya hobby menghancurkan dan menguasai perusahaan-perusahaan kecil yang dia incar, termasuk perusahaan orang tua Lana. Mikail Raveno berdarah dingin, dan ditakuti karena tidak punya belas kasihan.Dengan nekad, Lana menyamar menjadi pelayan bar favourite Mikail.
 
Dan Lana mencoba mencari cara untuk membalaskan dendamnya kepada lelaki kejam itu, ingin mencari kepuasan dengan melukai Mikail, meskipun hanya sedikit. Tetapi sayangnya, penjagaan keamanan di sekeliling Mikail tidak tertembus. Lana malahan berahkir dalam cengkeraman Mikail, dirinya di beli diluar kehendaknya, diculik paksa dan dipenjara di rumah Mikail.

Kenapa Mikail menyekapnya? Apakah Mikail mengetahu niat Lana untuk membalaskan dendam kematian kedua orangtuanya? Dan kenapa semakin lama, Mikail semakin tidak ingin melepaskan Lana?
Novel ini begitu panas, oleh gejolak dan percikan gairah dua manusia yang saling bermusuhan,  yang sama-sama bertemperamen keras, Lana seorang perempuan mandiri yang meledak-ledak harus berhadapan dengan Mikail, lelaki arogan yang terbiasa mendapatkan apa yang dia mau.


Jumat, 23 November 2012

Posesif ( Hanya aku dan Marlon )

Tak pernah ada yang mencintai Marlon sebesar aku mencintainya, aku yakin itu. Dari semua perempuan di dunia ini, cintakulah yang paling besar, pun demikian juga dengan cemburuku. Setiap hari kuhabiskan dengan tersiksa menahan kecemburuan gila yang merajalela di hati. Cemburuku akut, bahkan ketika kulihat hembusan angin yang berani-beraninya menerpa rambutnya, membuatnya liar dan berantakan. Aku marah. Aku kesal. Aku tidak rela. Hanya aku yang boleh menyentuhnya. Hanya aku yang boleh melihatnya. Hanya aku yang boleh mendapat perhatiannya.

Tetapi tak mungkin bukan, jika aku membuat semua orang di dunia ini buta, agar mereka tak bisa melihat kekasihku? Tak mungkin pula aku memaksa semua orang mengacuhkannya, tak memperhatikannya. Marlon terlalu istimewa, terlalu tampan, dan dia bagaikan cahaya mentari yang membuat semua orang berlomba mengerubunginya. Tentu saja aku tidak rela! Marlon Milikku!

Sampai ahkirnya aku sampai di titik batas pertahananku. Cemburuku meledak hingga menelan kewarasanku. Yang kuinginkan di dunia ini hanyalah Marlon dan aku. Di setiap detiknya aku hanya ingin berdua dengannya. Hanya berdua.

Kutuangkan kopi untuk Marlon, seperti biasa setelah dia mandi sepulang kantor, Marlon meminumnya tanpa curiga sambil tersenyum kepadaku, Kangen, katanya. Aku membalas senyumnya dengan tak kalah manis, menyimpan rapat-rapat rencana di benakku. Tenang saja Marlon, setelah ini kita tak perlu saling menahan rindu lagi. Sebentar lagi kita akan bersama selamanya...

Marlon meneguk kopi itu. Manis tentu saja, aku selalu membuat yang termanis untuk Marlonku. Dan aku mengamati, mengamati detik-detik Marlon tertidur pulas, kemudian larut dalam kegelapan yang panjang, untuk selamanya.

Senyum liarku mengembang. Dia sepenuhnya milikku sekarang. Kuambil peralatan yang sudah kusiapkan di kamarku. Aku akan mengawetkan Marlon, kusimpan sebagai mummi yang akan selalu bersamaku di kamar. Mulai sekarang aku dan Marlon akan selalu bersama. Di setiap detiknya. Hanya akan ada aku dan Marlon

***

Kamis, 22 November 2012

Dua Perempuan di Sebuah Bar Yang Remang



Bar kecil itu sepi dengan nuansa pencahayaan remang-remang. alunan musik jazz mengalun lembut dari sudut ruangan. Katrin berdiri di pintu bar dan menatap ragu ke sekeliling, matanya mengernyit ketika menemukan apa yang dicarinya sedang duduk sambil termenung di sudut lain bar yang gelap. Dengan gugup Katrin membetulkan letak kacamatanya dan melangkah mendekat.

“Hai”

Rheana mendongakkan kepalanya, menatap sosok di depannya dengan teliti. Jadi inilah dia, gumamnya dalam hati. Inilah dia wanita yang juga dicintai oleh Alex.

“Hai juga”, tangannya terulur dan dengan sedikit canggung Katrin membalas jabatannya.

Rheana tidak bisa melepaskan pandangannya, pun ketika Katrin sudah duduk di hadapannya.

“Aku sudah memesan”, Rheana mengedikkan bahunya ke cangkir kopi di depannya, “Mungkin kamu ingin memesan dulu?”

Katrin mengangguk dan melambaikan tangannya memanggil pelayan lalu memesan minuman. Selama itulah Rheana memanfaatkan kesempatan untuk mengamati Katrin lagi, perempuan yang sungguh cantik. Cantik, dengan kacamatanya yang elegan dan tampak begitu feminim. Pantas Alex menganggap perempuan itu begitu berharga baginya. Dan perempuan itu memiliki Alex.
 
Sejenak rasa sakit menghantam dadanya, terasa menusuk sampai ke ulu hatinya. Tidak adil!. Teriaknya dalam hati, perempuan ini sudah memiliki segalanya, karier yang bagus, kecantikan wajah, masa depan yang cerah, dan dia memiliki Alex, Alexnya. Perempuan ini sudah memiliki segalanya dalam genggaman tangannya, dan dia masih juga memiliki calon suami yang sangat sempurna. Atau paling tidak, di mata Rheana, Alex adalah pasangan paling sempurna di dunia.

“Kenapa kamu ingin bertemu denganku?”, Rheana memulai pembicaraan untuk memecah keheningan.

“Kamu tahu kenapa”

“Tidak, aku tidak tahu.”

“Ini tentang Alex”

Hening yang lama dan terasa menyesakkan



“Apa hubungannya dengan aku?”, Rheana memasang wajah sedatar mungkin, menenangkan diri. Katrin tidak mungkin tahu, Rheana tahu pasti Alex sedapat mungkin merahasiakan semuanya dari Katrin. Dia mencintai calon isterinya itu dan yang pasti tidak ingin melukainya.

Untuk pertama kalinya Katrin menatap mata Rheana dengan tajam, “Kau pasti sudah tahu apa hubungan semua ini denganmu ”, desis Katrin tampak menahan diri

Hening lagi. Kali ini lebih menyesakkan.

“Darimana kamu tahu tentang aku?”, Rheana mengalihkan kegugupannya dengan meneguk kopinya.

“Bukan urusanmu darimana aku tahu tentang dirimu”, suara Katrin setajam tatapannya, tatapan sakit hati seseorang yang dikhianati, “Bukan itu tujuan aku ingin menemuimu”

“Aku sudah meluangkan waktu untuk menemuimu secara baik-baik”, Rheana tidak tahan lagi menerima hujaman tatapan Katrin yang menusuknya , kenapa harus dia yang dihakimi? Bukankah dia juga berhak marah? Alex miliknya juga kan?, “Jadi Katrin, kalau kau bersikap seperti ini lebih baik aku pergi”, Rheana mulai beranjak dari duduknya

“Jangan.”

Satu kata. Menahan gerakan Rheana. Kedua perempuan itu saling menatap, sama-sama menunggu.

“Aku tahu tentangmu dari ponsel Alex.”

Kalimat singkat itu menjawab semuanya, membuat Rheana terdiam.

“Mereka memberikan dua ponsel Alex kepadaku, setahuku Alex hanya memiliki satu ponsel, tapi ada dua yang diserahkan kepadaku...”, suara Katrin tercekat, dia berdehem pelan, lalu ketika berhasil mengumpulkan suaranya lagi, terdengar sangat tajam, “Di dalam ponsel itu, tersimpan hampir enam ribu sms kalian berdua. Sejak kalian berkenalan, dua tahun yang lalu.”

Alex masih menyimpan sms-sms mereka? Sejenak hati Rheana terasa hangat. Tetapi sebelum kehangatan itu memancar di matanya, dia segera membunuhnya.

“Apakah kalian memulainya dua tahun yang lalu?”

“Apanya?”

“Kau tahu apa”

Rheana memalingkan muka, merasa jengah,

“Aku tidak harus menjawabnya”

“Kau harus menjawabnya!”, suara Katrin meninggi, dia mulai kehilangan kesabarannya, “Aku berhak untuk tahu sejak kapan perselingkuhan ini dimulai di belakangku!”

“Apa kau serius ingin tahu? Alex sangat ingin menjaga perasaanmu, dia tidak ingin kau tersakiti.”

“Dia tetap berselingkuh, itu sudah menyakitiku”

Rheana mendesah.

“Kami tidak pernah berencana untuk jatuh cinta satu sama lain.”

“Tapi kalian tetap saja tidak menahan perasaan kalian.”, Katrin menatap tajam, “Apakah pada saat pertama kau mengenal Alex, kau tahu bahwa dia sudah mempunyai calon isteri? Bahwa dia sudah berkomitmen untuk menikah denganku?”

“Ya, aku tahu. Alex tidak pernah menutup-nutupi statusnya yang sudah bertunangan.”

“Dan kau tetap melanjutkan hubunganmu dengannya, perempuan macam apa kau ini?”

Perempuan macam apa? Batin Rheana merintih galau. Yah perempuan macam apa dia? Mengetahui bahwa lelaki yang dicintainya adalah hak milik perempuan lain, tetapi dengan sepenuh hati tetap saja melepaskan dirinya untuk mereguk cinta dari lelaki itu.
 
Alex tidak pernah menjanjikan apa-apa kepadanya, dia tidak bisa. Tetapi meskipun Alex datang ke pelukannya dengan segala ketidak pastian itu, dia tetap merengkuhnya dan membiarkan dirinya jatuh hati. Sekarang ketika ditanya perempuan macam apakah dirinya, Rheana sungguh tidak tahu harus menjawab apa. Perempuan gatal? Perebut kekasih orang? Perusak hubungan orang? Semua istilah-istilah buruk itu berkecamuk di kepalanya, merenggut sinar dari matanya.

“Aku mencintainya.”, Rheana menatap mata Katrin, memohon pengertian. Dia sudah lelah dengan segala penghakiman yang menciderai perasaannya selama ini. Dia hanya ingin mencintai. Salahkah dia?

Katrin memalingkan matanya, tidak tahan dengan tatapan memohon di mata Rheana, perempuan  itu tampak menderita, dan astaga, dia merasa iba. Bagaimana mungkin dia bisa merasa iba kepada perempuan yang telah berselingkuh dengan tunangannya di belakangnya?

“Apakah..... Alex mencintaimu?”, suara Katrin bergetar, menahankan perasaannya.

“Maksudmu?”

“Apakah Alex pernah bilang kalau dia mencintaimu?”

Hening.

Ribuan kali. Pikiran Rheana melayang, rasanya setiap detik Alex selalu membisikkan kata-kata itu. “Aku mencintaimu, mungil”, Setelah mengucapkan kata-kata itu Alex pasti akan menatapnya dalam-dalam, lalu tersenyum lembut dan mengecup bibir Rheana dengan lembut. Rheana mempercayai kata-kata Alex  dengan sepenuh hati.

Rheana mengangguk. Kesedihan langsung menghantam Katrin, tatapannya menerawang.

“Dia sering sekali mengatakan kalau dia mencintaiku”, gumam Katrin mengambang, “Setiap kami bertemu, setiap kami berbicara melalui telephone, dia selalu mengatakan kalau dia mencintaiku”

Seberkas rasa cemburu menusuk di dada Rheana,

“Oh ya? Bagus dong”, Rheana berusaha menahan ekpresinya tetap datar. Tapi Katrin merasakan kesakitan yang memancar dari Rheana.

“Terlalu sering, sampai aku merasakan kata-kata itu seperti sapaan biasa, seperti ucapan selamat pagi, selamat siang atau selamat malam”, sambung Katrin dengan senyuman miris, “Kini aku tahu kenapa.”

Tiba-tiba Rheana didorong perasaan untuk menghibur perempuan di depannya ini, entah kenapa. Padahal seharusnya dia membenci Katrin. Perempuan ini adalah perempuan yang dengan mudahnya memiliki posisi yang sangat diimpikan oleh Rheana, posisi sebagai perempuan pemilik Alex, perempuan yang berhak atas Alex. Tetapi entah kenapa Katrin tampak begitu terpukul dengan kenyataan yang ada di depannya. Yah, bagaimanapun juga, mereka mencintai laki-laki yang sama. Hanya saja, Rheana mengetahui tentang keberadaan Katrin di hati Alex, sedang Katrin tidak tahu apa-apa. Apakah Rheana bisa dikatakan lebih beruntung di banding Katrin, dia sendiri tidak tahu.

“Alex mencintaimu”, bisik Rheana serak.

Kepala Katrin yang menunduk terangkat dengan segera, matanya tampak getir,

“Kalau dia mencintaiku, dia tidak akan berselingkuh denganmu”

“Tidak, jangan berpikir begitu....aku.... aku bingung bagaimana menjelaskannya, tapi sebagai perempuan yang mencintai Alex, aku tahu kalau Alex mencintaimu, dia peduli padamu, perasaannya masih sama”

“Aku membaca sms-sms kalian. Bagaimana Alex berkata-kata lembut kepadamu, bagaimana Alex menyusun kata-kata romantis untukmu, dia tidak pernah begitu kepadaku, menyusun kata-kata romantis, begitu serius.... begitu puitis, seolah-olah ini adalah Alex yang berbeda”, Katrin menahankan matanya yang berkaca-kaca, “Alex tidak mungkin mencintaiku.”

“Dia mencintaimu”, suara Rheana meninggi untuk mempertegas maksudnya, “Mungkin dia memang tidak pernah bersikap romantis ataupun puitis untukmu, mungkin itu dilakukannya karena dia mengetahui kalau kau tidak akan nyaman dengan kasih sayang seperti itu, mungkin Alex memandangmu sebagai perempuan yang lebih bahagia dengan tindakan tulus daripada kata-kata. Jangan pernah berpikir kalau Alex tidak mencintaimu, aku tahu sekali, dia mencintaimu.”

“Aku tidak pernah berpikir sebelumnya kalau Alex tidak mencintaiku”, suara Katrin semakin bergetar, “Aku tahu kalau Alex mencintaiku... tetapi, kalau Alex mencintaiku dan kemudian tetap saja ada perempuan lain yang bisa membuat Alex berselingkuh.....bukankah itu...”, suara Katrin hilang, “Bukankah itu berarti... Alex lebih mencintai perempuan itu dibandingkan aku?”

Udara di antara mereka tiba-tiba terasa menyesakkan dada

Lalu Rheana tersenyum getir dan menggeleng,

“Tidak”, gumamnya.

“Tidak?”, Katrin memandang bingung.

“Tidak. Aku mungkin akan setuju ketika kamu bilang Alex mencintaiku. Tapi aku akan membantah keras-keras kalau kamu bilang bahwa Alex lebih mencintaiku daripada dia mencintaimu”

“Kamu nggak bisa bilang begitu, semua bukti sudah menunjukkan kepadaku”

“Percayalah, aku tahu”, Rheana memandang sedih, “Sesering apapun Alex menunjukkan kalau dia mencintaiku, aku tahu dia tidak akan pernah mau meninggalkanmu demi aku. Di matanya kamu adalah pelabuhan terahkirnya, tempatnya pulang, wanita yang akan dinikahinya dan akan selalu dicintainya”, setiap kata terasa mengiris bagi Rheana, tapi dia menahankannya, “Bagi Alex, kamulah yang nomor satu.”. Dan aku si nomor dua, sebuah suara berbisik, mengejek hati Rheana.

“Tapi tidak pernah ada bukti kalau...”

“Alex pernah dihadapkan pada posisi memilih antara aku dan kamu, dan dia memutuskan meninggalkanku demi kamu”, Rheana meringis, sungguh dia ingin melupakan kenangan itu kalau bisa, tetapi rasanya dia harus mengatakannya sekarang atau Katrin akan selamanya salah paham.

“Teruskan”, suara Katrin begitu lirih dan ragu-ragu

“Suatu hari aku mengalami kecelakaan, kakiku patah, aku ada di rumah sakit”, Rheana memejamkan matanya mencoba mengusir kepedihan yang menyeruak, “Alex menungguiku waktu itu, tetapi ada seuatu yang tampak mengganggu pikirannya, dia tampak tidak tenang disana. Aku tahu Alex sedang memikirkanmu, meski aku tidak pernah mengatakannya, aku tahu hari itu adalah hari ulangtahunmu, aku tahu Alex seharusnya menghabiskan waktu bersamamu”, Rheana tersenyum getir, “Tapi waktu itu aku kesakitan, kakiku patah dan obat penghilang sakit tidak bekerja dengan baik, aku demam, aku mual dan keegoisanku merajalela, aku ingin Alex bersamaku, bukan bersamamu”, mata Rheana mulai berkaca-kaca, “Saat itu aku menangis, aku memohon..... tetapi Alex meminta maaf, dan dia pergi, dia pergi untuk memenuhi janjinya, merayakan ulangtahunmu. Bersamamu, perempuan yang dicintainya di hari ulangtahunmu”

Hening. Udara terasa semakin berat.

Katrin ingat hari itu, di hari ulangtahunnya, Alex datang dengan senyum cerah dan sebentuk liontin emas sebagai hadiah ulangtahunnya. Mereka menghabiskan waktu berdua, makan malam istimewa lalu duduk berpelukan di sofa sambil menikmati es krim dingin. Katrin ingat dia mengatakan betapa dia mencintai Alex, betapa dia bahagia memiliki calon suami seperti Alex, betapa dia bersyukur kepada Tuhan karena memberikan pasangan sempurna seperti Alex, betapa dia berterimakasih karena hari ulang tahunnya terasa begitu indah. Dan Alex tersenyum, meraih kepala Katrin, menenggelamkannya di dadanya, dan memeluknya erat-erat. Malam itu adalah salah satu malam terindah yang akan selalu dikenang Katrin.

“Meskipun begitu... kamu tetap mencintai Alex?”, tanya Katrin hati-hati.

Rheana mendesah,

“Aku mencintai Alex semudah aku bernafas. Aku mencintainya, karena itulah aku mengerti kenapa dia tidak bisa menjanjikan apa-apa kepadaku, kenapa dia memilih merahasiakan diriku demi menjaga perasaanmu, kenapa dia tidak bisa meninggalkanmu demi diriku, aku sungguh-sungguh mengerti.”, Rheana mencoba tersenyum kepada Katrin, “Perasaan yang ini.....mungkin semua orang akan mencaci-maki. Tetapi aku bangga karena aku punya perasaan ini”

Katrin terdiam dan menatap jalinan jemarinya di meja.

“Ya... aku tahu perasaan itu. Alex sungguh amat mudah dicintai, dan aku sangat mencintainya. Kau tahu, keluargaku dulu tidak menyetujui hubunganku dengan Alex, papaku sudah menjodohkanku dengan junior di tempat kerjanya, sesama dokter, tetapi aku begitu mencintai Alex, aku memperjuangkannya, Kalau aku tidak mencintai Alex, mungkin aku sudah menyerah dan meninggalkannya, tetapi aku terlalu mencintainya untuk melepaskannya”

Rheana terdiam. Membantah kata-kata Katrin dalam hatinya, terlepas dari cinta atau tidak, Alex memang lelaki yang berharga.

“Dia lelaki yang pantas diperjuangkan”, Rheana terpekur, tanpa sadar menyuarakan pikirannya.

“Ya”, Katrin menganggukkan kepalanya, setuju. Matanya tersenyum tanpa sadar.

Hening lagi, seolah-olah kedua perempuan itu tidak tahu harus berkata apa lagi.

“Kenapa.... kenapa kau menghubungiku? Kenapa kau ingin bertemu denganku? Apa tujuan dari pertemuan ini sebenarnya?”, Rheana berpikir keras, tidak mungkin kan Katrin hanya ingin menyakiti dirinya sendiri dengan mengorek-ngorek kisah perselingkuhan Alex dengannya? Atau Katrin ingin menghakimi dan mencaci makinya? Tetapi kalau itu memang tujuannya, seharusnya Katrin sudah melakukannya dari tadi.

“Mungkin kau berpikir aku ingin mencaci makimu”, Senyum simpul muncul di sudut bibir Katrin, menertawakan dirinya sendiri, “Sejujurnya, itulah tujuanku pada awalnya, aku ingin mencaci makimu, menumpahkan kemarahanku, perasaan dikhianati ini begitu menyesakkan dada sampai-sampai aku hampir kehilangan kewarasanku...”

Rhena terdiam, menunggu.

“Tetapi kemudian aku sadar, aku cuma... aku cuma kaget ternyata ada kamu di tengah hubungan kami, dan aku hanya ingin melihat... apakah kamu.. benar-benar nyata”

“Aku nyata dan ada”, Rhenana mengangkat bahu.

“Ya, dan ketika aku menyadari itu, perasaanku hancur....”

 “Perasaanku sudah hancur dari dulu”, Rheana menyela, “Kalau terus menerus memikirkan siapa yang lebih Alex cintai, kenapa Alex lebih memilihmu... aku pasti akan hancur, karena itu aku selalu berusaha tidak memikirkannya”, Rheana menatap Katrin dengan sedih, “Selama ini kamulah yang beruntung Katrin, kamu menerima cinta Alex dengan pengetahuan kalau cintanya hanya untukmu, sedangkan aku menerima cinta Alex dengan pengetahuan akan kenyataan bahwa ada kamu yang lebih dicintainya... posisimu lebih beruntung....”

“Apakah kalau kau boleh memilih, kau akan memilih tidak tahu apa-apa... seperti aku?”

Rheana terdiam. Apakah kalau boleh bertukar dia akan memilih berada di posisi Katrin? Sebagai kekasih yang dicintai dan dijaga hatinya agar tidak tersakiti, dan bahagia tanpa tahu kalau kekasihnya membagi cinta dengan perempuan lain? Rasanya posisi Katrin terasa indah dan aman, jauh dari kesakitan yang getir seperti yang dirasakannya setiap kali dia memikirkan Alex, tapi entah kenapa, Rheana tidak akan mau bertukar, bahkan meskipun dia diberi kesempatan. Baginya cara mencintai Alex seperti dia mencintai adalah cara terindah yang bisa dia lakukan. Mencintai tanpa meminta apa-apa. Hanya ingin mencintai dan tidak menginginkan apa-apa lagi. Ini adalah pilihannya dan dia senang dengan pilihannya itu.

Rheana menggelengkan kepalanya dan Katrin mendesah,

“Yang paling menyedihkan... aku merasa lebih baik berada di posisimu.”, kata-kata itu bagaikan pengakuan yang diungkapkan Katrin dengan kesedihan yang mendalam.

Rheana mengernyitkan keningnya, bingung.

“Seiring berjalannya waktu, aku merasa Alex semakin lama semakin menjauh dariku”, sambung Kristin sambil tersenyum ironis.

“Bagaimana kau bisa bilang begitu?”, Rheana menyela dengan gusar, teringat akan hari-hari yang dilewatkannya sendiri dengan kesakitan akan pengetahuan bahwa Alex sedang menghabiskan waktunya bersama Katrin, “Dia selalu bersamamu, dia selalu ada untukmu, seluruh prioritas waktunya diberikan untukmu”

“Ya, dia memang ada di sebelahku, aku bisa memeluknya, aku bisa menggenggam tangannya, aku bisa menciumnya, dia selalu ada disampingku kapanpun aku mau, kapanpun aku minta, Alex selalu memberikan waktunya untukku....”, Katrin mendesah lagi, “Tapi hatinya seperti tidak ada di sana, tubuhnya ada di sana, tapi keberadaannya terasa jauh... dulu aku tidak tahu kenapa, tapi sekarang aku tahu, tubuhnya ada di pelukanku, tetapi hatinya ada pada dirimu.”

Rheana ingat Alex pernah berkata kepadanya, “Kuberikan hatiku untukmu Rheana, seluruhnya untukmu”, saat itu dia hanya tersenyum dan menganggap kata-kata Alex hanyalah salah satu dari ungkapan puitisnya. Tetapi sekarang, ketika Katrin yang mengatakannya, entah kenapa, dia mempercayainya.

“Yah.... mungkin aku memang memiliki hatinya... tetapi tidak pernah bisa memeluk Alex, bahkan disaat aku sangat merindukannya, tidak pernah bisa memintanya ada bahkan di saat aku membutuhkannya, tidak bisa meminta seluruh waktunya, karena memang aku tidak berhak.... itu terasa sangat menyakitkan, lebih menyakitkan daripada apapun...”

Hening lagi. Kedua perempuan itu terpekur. Memikirkan pilihan yang ada. Yang satu memiliki tubuh, yang satu memiliki hati. Sungguh dua pilihan yang sangat sulit. Memiliki tubuh tapi tidak memiliki hati, sama saja berpelukan dengan kehampaan yang dibalut kebahagiaan semu. Memiliki hati tetapi tidak bisa memiliki raga, sama saja memiliki sekuntum mawar paling indah di dunia, tetapi beracun, dan tidak bisa disentuh. Kedua-duanya sama-sama sulit, ditambah lagi dengan ketidak-mungkinan untuk  bisa memiliki kedua-duanya sekaligus, hati dan jiwa.

Katrin menarik napas panjang, lalu menyesap cappucino pesanannya, setelah meletakkan gelasnya, dia menatap Rheana dan mencoba tersenyum meski guratan kelelahan tampak jelas di wajahnya,

“Yah... mungkin sudah saatnya aku pergi”, Katrin melirik jam tangannya, “Mereka semua pasti sudah menungguku”

Rheana menganggukkan kepalanya, tidak tahu harus berkata apa. Matanya mengawasi Katrin yang berdiri dan membenahi tasnya, perempuan itu nampak begitu pucat, tanpa sadar dia ikut berdiri,

“Kau tidak apa-apa Katrin?”, kata-kata itu terlontar di bibirnya sebelum sempat di tahannya.

Katrin tertegun, seolah tidak menyangka akan mendengar kata-kata itu dari bibir Rheana, kemudian dia tersenyum,

“Aku.... entahlah...”, Katrin menghela nafas panjang, “Setidaknya aku bertahan”, senyumnya tampak begitu sedih.

Rheana menganggukkan kepalanya seolah salah tingkah,

“Baiklah kalau begitu, aku juga akan pergi”, Rheana mengulurkan tangannya, “Selamat tinggal”

“Selamat tinggal.”, Katrin membalas jabatan tangannya. Mereka lalu saling melepaskan jabatan tangan, sedikit salah tingkah, dan kemudian setelah menggumamkan ucapan perpisahan tak jelas Rheana melangkah pergi, meninggalkan bar mungil itu.

Lama Katrin terpaku menatap Rheana yang membalikkan tubuhnya dalam diam, matanya menelusuri punggung itu, melihat Rheana yang tampak lunglai terasa begitu menyentuh hatinya. Seharusnya dia membenci perempuan itu, tetapi entah kenapa, dia merasa tersentuh.

“Rheana ?”

Rheana membeku mendengar panggilan Katrin, pelan-pelan dia memutar tubuhnya dan menatap Katrin ragu,

“Ya?”

Katrin menelan ludah,

“Mungkin.... mungkin kau mau datang ke pemakaman besok pagi?”

Bibir Rheana menganga, tidak menyangka kata-kata itu akan keluar dari bibir Katrin.

“Kau memintaku datang....?”, suara Rheana entah kenapa menjadi begitu parau, dia berdehem untuk menenangkan dirinya, “Aku.... benarkah? bolehkah aku datang ?”

“Tentu saja boleh. Kau juga berhak datang... lagipula... lagipula ....”, Katrin menghela nafas panjang, “Alex pasti akan bahagia kalau kau datang ke pemakamannya...”.

Rheana masih diam disana, terpaku dengan mata berkaca-kaca.

“Kau... kau tidak pernah datang di rumah sakit pada saat-saat terahkir Alex... jadi aku...”, Suara Katrin tertelan di tenggorokannya.

“Kau tahu aku tidak bisa datang”, suara Rheana bergetar.

“Ya... aku mengerti”

Katrin benar-benar mengerti. Seharusnya dia marah, tetapi entah kenapa dia bisa mengerti. Rheana hanyalah wanita yang ingin mencintai. Dia mencintai Alex dengan sepenuh hatinya, tetapi dia menderita. Mungkin memang Katrin lebih beruntung dibandingkan Rheana. Dia bisa selalu ada di sisi Alex, bahkan tadi siang di saat-saat terahkir Alex, dia bisa menggenggam tangan lelaki itu, membisikkan kata cinta untuk mengantar kepergian Alex selama-lamanya. Tetapi Rheana, perempuan itu pasti sangat ingin datang, tapi dia terikat disana, tidak bisa menengok lelaki yang dicintainya yang sedang terbaring sekarat di ranjang rumah sakit, Rheana pasti sangat menderita, dan Katrin bisa membayangkan bagaimana rasanya.

“Kalau kau bisa datang, datanglah besok.”

Mata Rheana tampak berkaca-kaca,

“Aku.. aku pasti akan datang....”, suara Rheana terdengar bahagia, “Terimakasih.”, hanya satu kata, tapi penuh dengan emosi yang meluap-luap, penuh dengan rasa syukur sesungguhnya yang melimpah.

Dua perempuan itu berdiri berhadapan, dipenuhi oleh perasaan yang menyesakkan dada.

Lalu tanpa kata, Rheana membalikkan badan dan pergi, air matanya berderai, tetapi hatinya penuh rasa syukur. Dia tidak bisa mengantarkan kepergian Alex di saat-saat terahkirnya, tetapi Tuhan begitu baik, memberinya kesempatan untuk mengucapkan salam terahkir kepada jenazah Alex sebelum lelaki itu dimakamkan ke peraduan terahkir.

Tidurlah dalam damai Alex, aku akan selalu mencintaimu....

Aku akan selalu mencintaimu, tak peduli siapapun yang kamu cintai.....

Di belakangnya, Katrin melepas kacamatanya dan menyusut airmatanya, dia sudah melakukan apa yang seharusnya dilakukannya. Tangannya memeluk dirinya sendiri dan mendesah dalam kesedihan,

Tidurlah dalam damai Alex, aku akan selalu mencintaimu....

Aku akan selalu mencintaimu, tak peduli siapapun yang kamu cintai.....

 
THE END
 

 

Selasa, 20 November 2012

KASIH


 
Pram pernah menginginkan kehadiran Kasih, sangat mengharapkannya. Tetapi sekarang tidak lagi. Pram tidak menginginkannya. Tidak, kalau Lena sudah tidak ada lagi di sisinya…

 
 
 
 
 
Semua yang ada di ruangan itu tampak tegang, wajah-wajah kelelahan yang tidak tidur semalaman, dan sekarangpun mereka belum bisa tidur. Pram terdiam, menatap lampu di atas ruangan operasi. Lampu itu masih menyala merah, pertanda operasi masih berlangsung. Delapan jam operasi yang melelahkan, dan Lena, mungkin masih terbaring pucat disana, membiarkan para dokter membelah perutnya yang rapuh itu. Bayangan itu membuat perutnya bergolak dan Pram merasa mual. Tentu saja, dia tidak makan apa-apa sejak tadi, hanya secangkir kopi yang sempat mengisi perutnya, dan semua ketegangan ini membuat asam lambungnya naik.

Segalanya terasa baik-baik saja tadi, bahkan Pram tidak pernah memimpikan saat-saat ini akan ada. Mereka pasangan yang bahagia, mereka menikah setahun yang lalu, setelah masa pacaran yang panjang. Pram dan Lena seperti sudah menjadi sepasang kekasih seumur hidupnya. Mereka mengenal sejak kecil, menghabiskan waktu bersama sejak kecil, dan saling mencintai sejak kecil.
 
Mereka dibesarkan dengan pengetahuan bahwa mereka akan menikah suatu hari nanti, dan itulah yang terjadi, pernikahan yang bahagia, pasangan yang saling mencintai, dan berkah yang luar biasa besar dengan kehamilan Lena hanya beberapa bulan setelah pernikahan mereka. Pada awalnya semua sangat membahagiakan, sampai saat Lena mengalami pendarahan-pendarahan yang makin lama makin parah seiring dengan bertambahnya usia kehamilannya. Plasenta bayinya terletak di tempat yang tidak semestinya, sehingga kondisi janin sangat rapuh, hal itu juga mempengaruhi kondisi sang ibu, yang semakin pucat dan lemah seiring dengan perutnya yang semakin besar. Saat usia kehamilannya mencapai tujuh bulan, Lena harus berbaring seharian di tempat tidur, aktivitas seringan apapun bisa memacu pendarahan yang membahayakan bayinya, dan dirinya.

Pram sangat cemas, tetapi Lena sangat optimis, dia begitu bersemangat, dia begitu mencintai sang calon bayi dan selalu berusaha menenangkan ketakutan-ketakutan Pram akan kondisi Lena. Setiap malam, di tempat tidur mereka, ketika Pram memeluk Lenadengan perutnya yang mulai membuncit. Lenaakan mengelus pipi Pram dengan senyumnya yang teduh,

“Aku baik-baik saja sayang”, dengan lembut jemari itu menyentuh alis Pram dan kerutan di dahinya, berusaha menghilangkan kerutan itu, “Kau harus percaya kepadaku, kami berdua baik-baik saja di sini”

Pram mendesah, dia tidak mencemaskan bayi itu, dia mencemaskan Lena, bayi itu lebih baik tidak ada kalau dia membahayakan kesehatan Lena. Tapi Pram memilih untuk tidak mengungkapkan pemikirannya, itu hanya akan membuat Lena terluka karena Lena sangat menyayangi bayi dalam perutnya itu, dan pemikiran bahwa Pram sama sekali tidak keberatan kehilangan bayi itu asalkan Lena baik-baik saja pasti akan sangat melukai isterinya.

“Kau lebih sering mengalami pendarahan ahkir-ahkir ini, dan dokter menyuruhmu berbaring seharian di tempat tidur, bagaimana mungkin aku tidak mencemaskanmu?”, bisik Pram serak.

Lena tersenyum dan menyentuhkan jemarinya ke bibir Pram, membiarkan Pram mengecupnya,

“Aku tidak keberatan berbaring seharian di ranjang demi anak kita”.

Dengan putus asa Pram mencoba mempererat pelukannya kepada tubuh rapuh itu,

“Aku tidak akan bisa tahan kalau harus kehilanganmu Lena…”, suaranya menghilang ditelan emosi, membuat Lena segera merengkuhnya lembut,


“Aku akan baik-baik saja Pram, kau tidak akan kehilanganku, aku berjanji.”

Dan sekarang Pram mulai meragukan janji itu. Kemarin sore, ketika akan ke kamar mandi, Lena terpeleset, jatuh di lantai kamar mandi dan mengalami pendarahan hebat, pembantu menemukannya hampir setengah jam setelah Lena terjatuh, terbaring tak sadarkan diri di sana dan kehilangan banyak darah.

Seperti orang gila Pram menyusul ke rumah sakit, hanya untuk menemukan bahwa Lena sudah masuk ke ruang operasi dan dia tidak boleh melihatnya,

“Anda tunggu saja di sini, kami akan berusaha menyelamatkan bayinya”, Seorang dokter senior yang sudah mengenakan pakaian operasi menepuk bahunya, berusaha menenangkan Pram yang tampak begitu pucat pasi,

“Aku tidak peduli dengan bayinya !!! selamatkan isteriku !! dia harus hidup !!”, Pram berteriak seperti orang gila, mengiringi dokter itu masuk ke pintu ruangan operasi yang segera tertutup di belakangnya.

Sudah delapan jam berlalu, dan pintu operasi itu masih belum terbuka.

Pram menyandarkan tubuhnya di kursi, menatap lelah ke sekelilingnya, kedua orang tuanya duduk disana, berikut kedua orang tua Lena, mereka tampak sama menyedihkannya dengan Pram, pucat, kusut dan penuh kecemasan luar biasa. Dengan sedih Pram menatap ke langit-langit, berusaha menyingkirkan ketakutan-ketakutan yang mulai membayangi pikirannya.

Lalu pintu ruang operasi itu terbuka, seketika itu juga Pram berdiri, diikuti seluruh keluarganya, Dokter operasi yang sebelumnya masuk dengan wajah segar dan optimis kini tampak lelah dan tak bersemangat, dia menyalami Pram dengan lembut,

“Selamat Tuan Pram, Puteri anda lahir dengan selamat meskipun prematur, dia bayi yang sangat cantik dan begitu kuat”,

Pram tidak peduli, bukan itu yang ingin didengarnya.

“Bagaimana dengan isteriku?”

Bahkan sebelum dokter itu mengucapkannya, dia sudah tahu, hanya dengan melihat sorot kesedihan di mata dokter itu, dia sudah tahu…

“Maafkan kami Tuan Pram, kami sudah berusaha sekuat tenaga, tetapi isteri anda tidak dapat diselamatkan, dia kehilangan banyak darah, kami lalu memfokuskan untuk menyelamatkan nyawa kecil di dalam perutnya, sebelum kami kehilangan kedua-duanya, maafkan kami…..”

Dokter itu tidak sempat melanjutkan kata-katanya karena Pram menghantamnya dengan keras, tubuhnya merangsek maju dengan brutal, sehingga dua perawat pria yang dibantu petugas keamanan langsung meringkusnya

Pram meronta-ronta seperti orang gila, berusaha menyerang dokter itu, matanya nyalang penuh keinginan membunuh,

“Kenapa tidak kau selamatkan isteriku ?? aku tidak butuh anak itu !! aku butuh isteriku !! Lebih baik kau bunuh saja bayi itu, karena aku tidak menginginkannya, dia membunuh isteriku !!!”

***

Pram menatap ke balik kaca, sosok bayi kecil yang tertidur dalam kotak inkubator. Pram sudah tenang sehingga ibunya membiarkannya menengok ke ruang bayi, berharap agar Pram mengubah pikirannya tentang si bayi.

“Dia bayi yang kuat bukan?”, Ibunya menatap ke balik kaca, ke arah cucunya dengan penuh kasih.

Pram hanya terdiam, tidak mengatakan apa-apa. Bagaimana bisa monster pembunuh yang begitu kejam bersembunyi dibalik sosok yang begitu lemah? Bayi itu sangat mungil, dia tidak cantik, kulitnya keriput dan matanya terpejam. Sosok itu tampak rapuh, tapi Pram tahu, dibalik kerapuhan itu, tersembunyi kekuatan besar yang telah merenggut nyawa Lena, isteri yang sangat dicintainya.

Ibumu sangat mencintaimu. Tetapi kau begitu tega merenggut nyawanya dengan kehadiranmu.

Pada saat Pram membawa pulang jenazah isterinya dan memakamkannya, dia berdiri di depan tanah yang masih merah itu, mengucapkan sumpah dalam hatinya.

Lena, kau selalu hidup di dalam hatiku, dan kini saat kau meninggalkan dunia ini, hatiku akan ikut mati bersamamu. Kau bisa pegang sumpahku ini.

***

Tujuh tahun telah berlalu dan si bayi prematur itu telah tumbuh menjadi anak yang cantik, dia diberi nama Kasih, nama yang sudah disiapkan ibunya lama sebelum dia dilahirkan. Kasih tinggal bersama kakek dan neneknya yang sangat mencintainya. Namun begitu, sebuah pertanyaan selalu muncul di dalam hatinya, sebuah pertanyaan bocah kecil yang polos, yang hanya menginginkan kejujuran,

“Kenapa Papa tidak pernah menengokku, nenek? Apakah dia tidak merindukanku?”

Dan sang nenek akan memandangnya dengan pedih, lalu memalingkan muka.

“Papamu orang yang sangat sibuk sayang, dia sering berpergian ke luar negeri dan jarang pulang, nanti kalau dia sudah bisa menyisihkan waktu, dia pasti akan menengokmu”, rasa bersalah muncul di hati sang nenek setiap kali dia membohongi kasih dengan harapan semu, tetapi Kasih masih terlalu kecil untuk menanggung kenyataan bahwa ayah kandungnya sendiri sangat membencinya, dan menyalahkannya atas kematian ibunya, sang Nenek menenangkan hati bahwa apa yang dia lakukan sekarang adalah menyelamatkan kasih dari luka hati,

Kasih menatap foto kedua orang tuanya di pigura kecil berbentuk hati, pigura foto itu selalu dibawanya kemana-mana karena dia memang tidak pernah merasa memiliki orang tua yang sesungguhnya. Mama yang dia ketahui, hanyalah dia kenal lewat foto-foto dan cerita kenangan dari kakek dan neneknya.
 
Sedangkan Papanya, Kasih bahkan hanya mempunyai sedikit ingatan tentangnya, sosok lelaki dingin yang tidak mau melihatnya, dan kunjungan singkat sang papa yang begitu kaku, sama sekali tidak membantunya untuk membuat ingatan kenangan tentang Papanya, bahkan hari-hari ulang tahunnya berlalu tanpa ucapan dari sang papa.
 
Kasih tidak tahu bahwa hari ulang tahunnya merupakan peringatan paling menyakitkan dari Pram. Itu adalah hari dimana isteri yang sangat dicintainya direnggut paksa dari sisinya. Kasih sama sekali tidak paham itu, dia hanyalah seorang anak, dengan pemikiran anak-anak, yang hanya ingin dicintai oleh orangtuanya. Dan seminggu lagi, kasih akan merayakan ulang tahunnya yang ke tujuh, seperti impian-impian sebelumnya yang tidak pernah terkabul, ia hanya ingin papanya datang di hari ulang tahunnya.

“Nenek, apakah papa akan datang di hari ulang tahunku nanti?”, Kasih tahu pertanyaannya mengganggu sang nenek, karena ekspresi wajah neneknya langsung berubah sedih. Tapi dia tidak bisa menahan diri untuk bertanya.

Sang Nenek mengalihkan pandangan dari buku yang dibacanya dan mengusap rambut Kasih dengan lembut,

“Nenek akan berbicara dengan papamu, semoga dia bisa meluangkan waktunya ya”

Pancaran bahagia yang berkilauan di mata Kasih membuat hati sang nenek mencelos, karena dia tahu, pancaran mata itu akan hilang begitu dia dikecewakan seperti tahun-tahun sebelumnya, dan anehnya itu tidak pernah membuat Kasih berhenti berharap. Setiap tahun Kasih masih terus memohonkan kehadiran papanya di hari ulang tahunnya, dengan kepolosan anak-anak yang tidak mengerti kenapa sang Papa tidak menginginkannya,

***

“Ibu mohon, sekali ini, hadirlah di pesta ulang tahun Kasih, dia sangat mengharapkanmu”, Liana menatap Pram dengan penuh permohonan. Hari ini dia menyempatkan diri mengunjungi Pram di kantornya. Itulah satu-satunya cara menemui putra semata wayangnya ini sekarang, karena Pram jarang sekali ada di rumah, dia selalu berpergian ke luar kota untuk keperluan bisnisnya, seolah-olah putranya itu tidak tahan berada satu kota dengan Kasih.
 
Dan jika Pram ada di rumah, maka sudah pasti dia tidak mau mengunjungi rumah kedua orang tuanya. Tujuh tahun sudah berlalu, tetapi Pram menghindari Kasih seperti menghindari wabah cacar yang menular, dan itu sangat menyedihkan, bukankah Kasih adalah anak kandungnya? Anak semata wayangnya, buah cintanya dengan isteri yang sangat dicintainya? Selama ini Liana diam saja melihat perlakuan Pram kepada Kasih, berharap naluri kebapakan Pram akan tumbuh seiring dengan berjalannya waktu, tetapi harapannya itu tidak pernah terwujud, bukannya bisa mengubah sikap menjadi menyayangi Kasih, anaknya itu malahan semakin lama semakin menjauh dan menghindari putri kandungnya sendiri.

Pram duduk di belakang meja kerjanya yang besar dan memandang sang ibu diseberangnya dengan dingin,

“Bukankah aku sudah mengirimkan uang untuk merayakan pesta ulangtahunnya secara besar-besaran setiap tahun? Tidakkah itu cukup untuknya?”

Liana memperhatikan bahwa Pram bahkan menghindari untuk menyebut nama anaknya, dan itu terasa sangat menyedihkan,

“Dia menginginkan kehadiran papanya, Pram. Dia sudah semakin besar dan sudah bisa berpikir kenapa Papanya tidak pernah menemuinya, kau pikir ibu tidak sedih ketika dia mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentangmu?”

Rahang Pram mengeras, dia tidak suka di desak, dia tidak suka membicarakan tentang Kasih. Dia ingin semua keadaan tetap seperti ini dimana dia dan Kasih sebagai individu yang terpisah, tidak perlu berhubungan sama sekali. Oh, bukannya dia tidak ingin tahu, pernah suatu kali rasa ingin tahu mendorongnya melakukan perbuatan yang disesalinya, pernah dia mengemudikan mobilnya diam-diam dan parkir di sudut tak terlihat di depan sekolah Kasih, lalu dia melihat anak itu, sialnya, Kasih bagaikan pinang dibelah dua dengan Lena, semua yang ada di diri kasih mengingatkannya kepada Lena, dan itu menyakiti hatinya sampai ke dasar.
 
Siang itu Pram pulang ke rumah, mabuk-mabukan, merasakan hatinya dihancurkan untuk kesekian sekalinya. Lalu dia bersumpah, dia tidak akan membiarkan dirinya tergoda untuk melihat Kasih lagi, sudah cukup hatinya hancur terberai, tak akan dibiarkannya kesakitan yang sama menderanya lagi. Pram membenci Kasih, anak itu seharusnya tidak pernah dilahirkan. Kalau saja Pram tahu bahwa kehamilan Lena akan membunuhnya, Pram tidak akan pernah membiarkan Lena hamil. Lebih baik dia hidup tanpa anak, daripada kehilangan Lena.

“Jangan paksa aku ibu, aku tidak bisa”, suara Pram terdengar dingin dan dia berpura-pura menyibukkan diri dengan tampilan data di layar komputernya.

“Pram, kau tidak bisa selamanya seperti ini. Kasih adalah putri kandungmu, kau adalah ayahnya, kau bisa menyangkal segalanya, tetapi garis darah adalah sesuatu yang tidak bisa disangkal, ibu ingin kau menyadari ini, menghilangkan semua kebencianmu dan berusaha menyayangi Kasih seperti seharusnya seorang ayah menyayangi puterinya, kau tidak bisa terus menyalahkan Kasih atas kematian Lena, kematian Lena adalah takdir yang digariskan Tuhan, dan kau tidak akan pernah bisa menyangkal takdir”.

“Aku akan melakukan apapun yang aku mau. Lagipula Apa tidak cukup aku memberikan pembiayaan yang melimpah untuk mencukupi kehidupan anak itu? Dan itu sudah melebihi batas toleransiku, aku tidak bisa melakukan lebih, seperti yang ibu harapkan”

“Pram !”, suara Liana meninggi menanggapi kekerasan hati anak laki-lakinya, “Kasih sangat mencintaimu, ingatlah itu, meskipun perlakuanmu begitu kejam kepadanya, dia mencintaimu… dia….”

“Ibu”, suara dan ekspresi Pram tampak begitu tersiksa, hingga Liana menghentikan kata-katanya, “Tolong jangan paksa aku, aku tidak bisa… aku tidak akan tahan lagi”, kepedihan dalam suara Pram menyuarakan hatinya yang sudah terkoyak hancur sehingga mau tak mau Liana merasa terenyuh. Kematian Lena sudah tujuh tahun berlalu, dan putranya itu masih patah hati.

“Maafkan ibu Pram, ibu mencintai kalian berdua, karena itu ibu melakukan ini, ibu hanya ingin kalian berdua bahagia”

“Kalau begitu biarkan keadaan tetap seperti ini”, gumam Pram dengan suara memohon, sekaligus menutup pembicaraan.

Malam itu Pram berkemas, dia menugaskan dirinya sendiri untuk melakukan perjalanan bisnis ke Jepang selama dua minggu. Pergi jauh-jauh dari anak itu dan hari ulang tahunnya. Hari dimana anak itu membunuh Lena, isterinya.

***

“Jadi papa tidak akan datang?” , kesedihan di suara kekanak-kanakan itu mengiris hati Liana, dia mengelus kepala cucu perempuannya itu, semakin bertambah umurnya, Kasih semakin menyerupai Lena, mungkin itu juga yang membuat Pram tidak tahan melihatnya, tetapi Kasih adalah pribadi yang berbeda dengan Lena, dia lebih ceria, dan dia lebih lincah, senyumnya seperti matahari yang membawa kebahagiaan dimana-mana. Seandainya saja Pram sadar, bahwa luka hatinya mungkin akan tersembuhkan ketika dia mau menerima kehadiran Kasih,

“Tapi papa bilang dia akan mengirimkan hadiah untukmu”, Liana mendesah dalam hati. Pram tidak pernah lupa mengirimkan hadiah. Tetapi hadiah itu tidak pernah diberikan secara personal. Pram selalu memberikan uang kepada Liana, dan Lianalah yang membelikan hadiah untuk Kasih dan menuliskan nama Pram di kartunya. Sangat menyentuh ketika melihat binar bahagia di mata Kasih ketika menerima hadiah yang dikiranya dari papanya.

Kasih memeluk neneknya erat-erat.

“Kasih ingin bertemu papa, nek… kenapa semua anak lain bisa selalu bersama papanya, tetapi Kasih bahkan tidak bisa bertemu papa Kasih sendiri?”

Liana memeluk Kasih erat-erat, dan mengecup puncak kepala cucu kecilnya itu,

“Bersabarlah nak, semoga papamu akan punya waktu untukmu suatu saat nanti…”, suaranya tercekat ketika merasakan betapa dinginnya tubuh Kasih, anak itu sudah setengah lunglai di pelukannya,

“Astaga Kasih, badanmu dingin sekali…. Kau sakit..???”, suara Liana berubah menjadi teriakan panik dan ketakutan.

***

Pram sedang duduk di sofa hotelnya setelah pertemuan yang melelahkan dengan mitra bisnisnya. Dia menatap pemandangan ke luar jendela, musim gugur sudah hampir berahkir di Jepang dan udara mulai dingin di luar, sedingin hatinya. Hari ini adalah hari ulang tahun anak itu. Pram sudah berusaha melupakannya, tetapi entah kenapa dia selalu mengingatnya. Hatinya yang penuh dendam selalu mendorongnya untuk mengingat hari ini sebagai hari pembunuhan yang dilakukan anak itu kepada isterinya. Tetapi entah kenapa selalu ada suara berbisik di sisi lain hatinya, mengatakan kebenaran yang tak terbantahkan. Hari ini adalah hari ulang tahun anaknya, dan dia seharusnya ada di sisi anaknya, ikut merayakan bersamanya.

Tetapi bisakah dia ? Pram memikirkan kemungkinan itu dan perasaannya terasa pedih, bisakah dia merayakan hari kelahiran anak itu? Bukankah itu sama saja dengan merayakan hari kematian isterinya?

Tiba-tiba ponselnya berdering. Pram meliriknya dan melihat nama ibunya di LCD. Dia mendesah, apa yang ada di pikiran ibunya? Menelfonnya pada saat ini? Apakah ibunya akan memaksanya untuk mengucapkan selamat ulang tahun pada anak itu?

Pram membiarkan ponsel itu berdering tanpa mengangkatnya, tetapi ibunya di sana rupanya sangat keras kepala, sejenak Pram tergoda untuk mematikan ponselnya, tapi dia lalu sadar kalo hal itu terkesan kekanak-kanakan untuk lelaki seumuran dia. Dengan enggan diangkatnya telephone itu.

”Ibu?”

Suara panik disana bahkan tidak menunggu Pram menyelesaikan sapaannya,

“Kau harus pulang sekarang, Kasih masuk rumah sakit. Kondisinya kritis, katup jantungnya bermasalah. Kau harus pulang sekarang Pram, mungkin ini satu-satunya kesempatanmu melihat putrimu, kau akan menyesal kalau tidak melakukannya”, suara tangis ibunya terdengar makin keras di seberang sana, dan hubungan telephone tertutup.

Sepuluh menit kemudian, Pram masih duduk disana, menatap layar ponselnya seperti terhipnotis, berusaha mencerna kata-kata ibunya. Dan ketika dia mengerti semuanya, jantungnya berdegup begitu kerasnya. Apakah mungkin ini salah satu taktik ibunya agar dia mau menemui anak itu? Tapi tidak, ibunya tidak pandai berakting, dan tangis yang didengarnya tadi benar-benar tangis panik yang penuh kesedihan. Lagipula ibunya tidak akan berbohong untuk hal-hal segenting ini.

Kemudian, didorong oleh kekuatan yang tidak diketahuinya, Pram menekan nomor telephone sekertarisnya,

“Iya Pak Pram?”

“Carikan aku penerbangan pertama ke Jakarta sekarang juga!, putriku sakit parah”

***

Lorong rumah sakit yang sama, dan Pram melangkah dengan hati-hati. Setiap langkah seperti membawa kepedihan ke dalam hatinya. Sejak kematian Lena, Pram selalu menghindari Rumah Sakit. Dan ini adalah rumah sakit yang sama tempat Lena meregang nyawanya saat itu, hanya sekarang Pram diarahkan ke bagian anak-anak.

Kedua orang tuanya ada disana, juga orang tua Lena. Wajah-wajah cemas yang sama seperti malam itu, sejenak Pram merasakan keironisan yang menggelikan. Kenapa Tuhan mengumpulkan mereka di tanggal yang sama dan tempat yang sama seperti malam itu?

Liana langsung menghambur ke pelukan Pram begitu melihat anaknya, tangisnya tak tertahankan.

“Katup jantungnya bermasalah Pram. Kita sudah tahu ketika pertama kali Kasih dikeluarkan dari incubator, bahwa katup jantungnya tidak normal, tetapi selama ini Kasih tampak baik-baik saja, dan tadi dokter mengatakan bahwa kondisi Kasih sangat mengkhawatirkan”, suara Liana pecah, “Dia… dia mungkin tidak akan bertahan… anak sekecil itu…”

Pram menatap ke arah kamar tempat Kasih dirawat tanpa ekspresi. Bukankah seharusnya dia senang? Mungkin Tuhan memberikan pembalasan dendam yang terbaik untuknya, anak itu, yang telah membunuh isterinya, akan mati. Tetapi mengapa jantungnya serasa diremas sampai ngilu? Kenapa rasanya begitu sakit memikirkan anak itu akan dicabut nyawanya dari dunia ini?

Dengan tenang dia melepaskan diri dari pelukan Ibunya, dan melangkah masuk ke dalam kamar perawatan itu. Semuanya membiarkannya, seakan-akan memberikan kesempatan kepada Pram untuk berdua saja dengan Kasih. Kesempatan yang mungkin menjadi saat pertama dan terahkirnya.

Pram duduk di tepi ranjang, matanya masih tidak berani menatap ke arah ranjang anaknya, tatapannya terpaku kepada tangan mungil itu, yang ditusuk dengan jarum infus dan selang selang lain yang terhubung dengan alat elektronik yang memonitor detak jantungnya. Tangan itu kurus sekali, dan terlihat begitu rapuh, dengan takut-takut, Pram menyusuri pandangannya dari tubuh mungil yang terbungkus selimut itu, naik ke wajah kecil yang terpejam itu.

Seketika itu juga dadanya terasa ditinju.

Itu adalah versi mungil dari Lena, yang dicintainya. Versi mungil yang lebih montok dan lebih kekanak-kanakan, tetapi sudah jelas menunjukkan kalau dia adalah anak Lena…. dan anaknya. Bibir itu jelas-jelas diturunkan darinya. Bibir penuh yang menipis tegas kalau marah. Anak ini adalah putrinya, darah dagingnya.

Pikiran Pram melayang ke masa-masa sebelum anak itu lahir. Masa ketika dia memeluk erat Lena dan menciumnya berkali-kali setelah mendengar diagnosa positif hamil dari dokter, masa dimana dia dengan manja meletakkan kepalanya di perut Lena, memejamkan mata dengan damai, dekat dengan bayinya dan menikmati elusan tangan Lena di kepalanya. Masa dimana dia menciumi perut Lena dan menangis bahagia ketika merasakan tendangan pertama sang bayi. Masa dimana dia dan Lenaberbaring bersama, dengan segenap impian calon orang tua, mencari-cari nama bayi, membayangkan bagaimana mereka akan mendidik anak mereka nanti.
 
Anak itu diciptakan dengan penuh cinta dalam pelukannya dengan Lena, anak itu dikandung dalam kebahagiaan dan cinta kasih semua orang tua yang menantikan kehadiran calon bayinya. Anak itu adalah hasil dari cinta yang tulus antara dia dengan isterinya, dan dia dengan kejam menolaknya, tidak mau melihatnya, tidak mau mengakui hubungan darahnya. Salah apakah anak ini sampai dia tega menghakiminya atas perbuatan yang tidak dia lakukan? Demi Tuhan!, anak ini baru berusia tujuh tahun!

Tangan Pram gemetar ketika dia menggenggam jemari Kasih yang begitu rapuh,

“Kasih”, nama itu terucap di bibirnya bagaikan mantra, nama yang selama ini bagaikan sesuatu yang tabu dan terlarang untuk terucap dari bibirnya selama tujuh tahun, dan sekarang ketika dia berhasil mengucapkannya, nama itu seolah mengalir tak mau berhenti, “Kasih… Kasih”, air mata mengalir dari mata Pram, membasahi bibirnya yang gemetar. “Kasih, ini papa nak, ini papa….”, Pram menyadari betapa dia akan menanggung penyesalan seumur hidupnya kalau sampai dia tidak punya kesempatan lagi untuk melihat mata anaknya terbuka, untuk memeluk tubuh mungil itu, untuk meminta maaf kepadanya, untuk membiarkan bibir mungil itu memanggilnya ‘papa’

“Maafkan Papa nak, selama ini papa tidak pernah ada untukmu. Kau adalah buah cinta dari mamamu, dan papa menelantarkanmu”, Pram meremas tangan kasih, “Berjuanglah nak, beri papa kesempatan untuk menebus semuanya, papa akan berusaha sekuat tenaga agar kau sembuh, ada dokter-dokter di luar sana yang pasti bisa menyembuhkanmu, papa tahu itu. Tetapi sekarang papa mohon kepadamu untuk berjuang, bertahanlah, sadarlah nak, berilah papa kesempatan untuk menyayangimu, yang tidak pernah bisa papa lakukan selama tujuh tahun ini…”

Pram menatap Kasih penuh kesempatan, tetapi putri mungilnya itu tetap terbaring pucat tak bergeming, seperti puteri tidur yang tak ingin bangun lagi.

Sebuah tangan meremas bahunya lembut, Pram mendongak dan melihat Liana berdiri di sampingnya, wajahnya penuh air mata, tetapi senyumnya penuh dukungan.

“Dia tidak mau bangun ibu”, suara Pram pecah, “Mungkin dia bahkan tidak mengenali suaraku”

Liana menggelengkan kepalanya,

“Dia pasti mendengar suaramu, meskipun dia tidak sadar Pram, hanya kaulah yang disayanginya selama ini, kau tahu, dia selalu membawa-bawa fotomu, kisah tentangmu adalah dongeng pengantar tidurnya, dia mencintaimu dengan sepenuh hatinya”

Pram meremas tangan mungil yang lunglai itu, hatinya teriris mendengar kata-kata Liana, Sungguh tidak adil, selama ini dia menolak putrinya sendiri, memperlakukannya seperti musuh, dan gadis kecil ini tetap mencintainya, sungguh dia tidak pantas dicintai seperti itu. Tuhan memang pantas menghukumnya, tetapi bukan dengan mengambil Kasih darinya, dia tidak akan tahan kalau harus kehilangan Kasih sebelum dia bisa menunjukkan kepada anak itu betapa dia mencintainya.

“Kau anak yang kuat Kasih”, Pram mengecup jemari mungil itu, “Waktu itu kau terlahir dengan bobot kurang dari bayi normal, kulitmu keriput dank kau jelek sekali”, Pram tertawa di antara tangis, “Tapi kau anak yang kuat, kau bertahan dan kau mengalahkan semuanya, kau bahkan mengalahkanku….. dan untuk sekarang ini, papa mohon, berjuanglah nak, bertahanlah, papa berjanji akan melakukan apapun untuk membuatmu sehat lagi”

Pram menatap Kasih, dan anak itu tetap terdiam tak bereaksi, tangisnya pecah dan dia membenamkan kepalanya ke pinggiran ranjang, hatinya hancur dan dia hanya bisa meratap.

Sampai kemudian dirasakannya tangan rapuh itu menyentuh kepalanya, dengan takut-takut Pram mengangkat kepalanya dan bertatapan dengan mata bening itu. Mata yang sama dari perempuan yang dulu pernah dicintainya sepenuh hati, mata putri semata wayangnya,

“Papa?”,

Suara lemah itu bagaikan alunan musik ditelinganya, dan hati Pram meledak dipenuhi oleh rasa syukur dan bahagia.

Terimakasih Lena, terimakasih telah meninggalkan malaikat kecil ini untuk kucintai. Aku akan menjaganya. Kau boleh pegang sumpahku ini.

The End