Dear All Readers yang kusayangi
karena kondisi kesehatan yg bener-bener drop 1 minggu ini ditambah dengan kejamnya, aku menularkan virusku ke si om he he he, sehingga dia juga ikut drop karena tertular.....
dan saat ini kami sama2 tepar ga bisa bangun dari ranjang akibart virus flu+batuk+radang+demam+(bronkitis = khusus aku ) -----> T_____T huhuhuhuhu
Jd aku minta maap sampai lama belum posting+balas komen dan pertanyaannya, yah all readers kepala masih kliyengan kalau buka layar komputer T____T
Semoga all readers mau menunggu yah. Aku pasti akan segera posting kisah yang dinanti2 all readers secepatnya begitu sudah sembuh dan kuat kembali
peluk sayang semuanya
Santhy Agatha
PS : buat yg nanyain versi cetak UH dan FTDS bisa dipesan tgl 3 feb di nulisbuku.com/ bisa titip aku. Untuk UH sendiri sudah mulai posting per bab di PN, FDTS menyusul :)
Senin, 28 Januari 2013
Selasa, 22 Januari 2013
Kuis Sweet Enemy Berhadiah Novel :)
KUIS CLOSED KARENA SUDAH JAM 12 : 00 YAH :)
saatnya aku baca-baca jawabannya dulu yaaaah :)
Pemenang akan diumumkan pada tanggal 1 Februari 2012
Plus bab di Sweet Enemy ( kira-kira bab berapa ya? hehehehe) yang akan mengungkapkan semua rahasia
Terimakasih atas partisipasinya yah all
Salam hangat dan peluk erat
Santhy Agatha
Dear All readers,
saatnya aku baca-baca jawabannya dulu yaaaah :)
Pemenang akan diumumkan pada tanggal 1 Februari 2012
Plus bab di Sweet Enemy ( kira-kira bab berapa ya? hehehehe) yang akan mengungkapkan semua rahasia
Terimakasih atas partisipasinya yah all
Salam hangat dan peluk erat
Santhy Agatha
Dear All readers,
setelah baca Sweet Enemy part 3 pasti pada bertanya-tanya, siapakah 'anak lelaki kecil' yang ada di dalam mimpi Keyna?
Karena banyaknya yang bertanya, aku mau membuat kuis berhadiah. Hadiahnya kecil2an aja yah huhuhuhu maafkan aku yang tidak bermodal :p tapi semoga suka yah :)
Hadiahnya 1 Hardcopy novel Unforgiven Hero + Tandatangan asli penulisnya, untuk 1 pemenang dengan jawaban terbaik dan paling akurat
Pertanyaan Kuisnya :
"Menurut kalian, siapakah anak lelaki kecil yang memeluk Keyna dalam mimpinya?"
Tulis jawaban kalian di kolom komentar pada postingan di blog ini
(kecuali yang ada kendala teknis ga bisa komen, boleh lewat mention di twitter yah tapi tentu saja kalau lewat twitter penjelasan alasannya terbatas. Ingat penilaian berdasarkan kelengkapan alasan dan keakuratannya dengan cerita aslinya yaa)
(kecuali yang ada kendala teknis ga bisa komen, boleh lewat mention di twitter yah tapi tentu saja kalau lewat twitter penjelasan alasannya terbatas. Ingat penilaian berdasarkan kelengkapan alasan dan keakuratannya dengan cerita aslinya yaa)
beserta alasan kalian dan jelaskan panjang lebar sesuai imaginasi kalian :)
jawaban yang paling mendekati kebenaran-lah yang akan dipilih menjadi pemenangnya
oh ya waktu menjawab, dimulai Hari ini selasa tanggal 22 Januari 2013 dimulai dari pukul 17:00 sore, dan ditutup besok hari Rabu tanggal 23 Januari 2013 pukul 12:00 siang
Pemenang akan diumumkan pada tanggal 1 Februari 2013 dan hadiah akan langsung dikirimkan
aku tunggu jawaban kalian yah :)
*salam sayang dan peluk erat*
Santhy Agatha
Sweet Enemy Part 3
Tidurnya begitu lelap. Davin menggumam dalam hati. Duduk di tepi ranjang dan mengamati Keyna. Dan dia nampak begitu polos, seperti anak kecil.
Lelaki itu lalu mengangkat alisnya dan mengalihkan pandangannya ke bagian bawah tubuhnya dengan kesal.
Kalau memang baginya Keyna seperti anak kecil, kenapa dia bisa terangsang seperti ini?
Davin menatap Keyna lagi dan menggeram kesal. Kesal pada dirinya sendiri.
Terlalu berbahaya berada di sini. Dia takut lupa diri dan menyerang Keyna dalam tidurnya. Lalu menyesalinya.
Dengan hati-hati, dilepaskannya pegangan jemari Keyna di jemarinya, dan berdiri dari ranjang. Dia lalu membungkuk untuk menyelimuti Keyna.
Wajah Keyna begitu dekat dengannya, napasnya berembus ringan dan teratur. Dan Davin tidak dapat menahan diri.
Dikecupnya bibir Keyna lembut. Sebelum kemudian melangkah pergi, meninggalkan kamar itu, meninggalkan Keyna yang masih tertidur pulas.
***
Pagi harinya Keyna terbangun dengan kepala pening. Hujan sudah reda, tetapi masih menyisakan rintikannya yang membuat pagi hari ini gelap dan berkabut.
Setidaknya sudah tidak ada guntur.....
Keyna terduduk dan menyadari selimutnya melorot ke pinggang. Dia meraih selimut itu dan menaikkannya lagi ke dadanya karena hawa dingin langsung menyengatnya. Selimut itu tadinya terpasang rapi di tubuhnya. Siapa yang telah menyelimutinya ketika tidur?
Ingatan Keyna berputar, dan kemudian pipinya langsung terasa panas ketika mengingat kejadian kemarin malam, ketika dia menghambur ke dalam pelukan Davin tanpa malu.
Oh Ya Ampun! dengan begitu saja dia memeluk Davin Jonathan yang sangat angkuh dan terkenal galak itu - meski sekarang Davin tidak pernah bersikap buruk padanya, tetap saja imiage itu melekat pada pembawaannya - Dan anehnya, Davin tidak menolaknya. Dia sangat ingat bahwa Davin membalas pelukannya, menenangkannya, membawanya kembali ke ranjang dengan lembut dan menemaninya sampai dia tertidur.....
Kenapa Davin begitu baik kepadanya?
***
"Kau takut dengan petir?" Sefrina menatap Keyna sambil tersenyum geli, dia lalu menyesap cangkir cokelatnya berusaha menyembunyikan tawanya, "Keyna, hanya anak kecil yang takut dengan petir."
"Yah, aku sebenarnya malu dengan ketakutan tidak wajarku itu." Keyna tersenyum sambil menatap perempuan cantik di depannya. Oh astaga, Sefrina memang benar-benar cantik. Kulitnya memang agak pucat, tetapi Sefrina pernah cerita bahwa dia menderita sakit yang lama sehingga harus terus di dalam rumah. "Sepertinya aku punya trauma masa lalu di waktu kecil."
"Trauma apa?" Sefrina menyipitkan matanya dan meletakkan cangkirnya di meja. Mereka berdua sedang duduk di cafe kecil di sudut jalan, sebuah cafe elegan dengan gaya italia yang menyediakan kopi untuk mereka berdua. Sefrina ternyata penggemar kopi, katanya kopi bisa membuatnya lebih segar menghadapi hari. Karena itulah dia mengajak Keyna menemaninya siang ini.
"Entahlah..." Keyna berusaha mengingat-ingat, "Aku dulu sering bermimpi. Hujan badai, petir, dan teriakan-teriakan keras ... aku bersembunyi di lemari ketakutan....", Keyna menarik napas karena usahanya mengingat itu membuat kepalanya sakit, "Aku tidak tahu apakah itu mimpi atau kenyataan. yang pasti aku selalu mengasosiasikan hujan petir dengan rasa takut yang amat sangat."
"Mungkin kau harus mencoba hipnotis untuk mengembalikan ingatanmu."
"Apa?"
Sefrina terkekeh, "Aku pernah melihatnya di film, ada seseorang yang begitu takut akan darah, dia lupa kenapa, sesuatu terjadi di masa kecilnya tetapi dia tidak bisa mengingatnya, seolah-olah otaknya membentengi ingatan itu dan hanya menyisakan trauma. Dia datang ke ahli hipnotis dan alam bawah sadarnya dibimbing untuk mengingat semuanya. dan Hasilnya mengejutkan." Sefrina tersenyum misterius, "Mungkin kau harus mencobanya."
"Mencoba menonton film itu ? atau mencoba datang ke ahli hipnotis?"
Sefrina tertawa lagi, "Dasar. Tentu saja ke ahli hipnotis, siapa tahu kau seperti tokoh di film itu, otakmu memblok ingatanmu, dan kau punya hal mengejutkan yang kau lupakan."
"Oh ya, mungkin aku harus mencobanya. Setidaknya aku tidak harus menahan malu lagi kalau bertemu dengan Davin nanti." Tatapan Keyna menerawang dan pipinya memanas lagi mengingat kejadian semalam.
"Kenapa harus menahan malu kepada Davin?"
"Karena semalam aku melemparkan diri ke dalam pelukannya karena ketakutan." Keyna mengusap pipinya, berusaha menghilangkan rasa panas di sana. "Tetapi setidaknya Davin berlaku baik padaku, dia menenangkanku dan menjagaku sampai aku tertidur. Mungkin itu ya rasanya memiliki seorang kakak lelaki."
Ekspresi wajah Sefrina tak terbaca. Tetapi kemudian dia tersenyum lembut,
"Iya Keyna, beruntung sekali dirimu."
***
Keyna berjalan sendirian di trotoar, tadi Sefrina sudah dijemput supir pribadinya dan mengajak Keyna menumpang mobilnya, tetapi Keyna menolak karena sebelum pulang dia ingin mengunjungi toko buku tua di sudut kota. Sekarang setelah berhasil membawa beberapa buku hasil buruannya, dia ingin segera pulang karena tanpa disadarinya, waktu sudah beranjak sore. Mama Davin, Nyonya Jonathan menyediakan supir dan mobil untuk mengantar jemput Keyna, tetapi Keyna menolak fasilitas itu dengan halus, selama ini Keyna selalu menggunakan bus untuk pulang dan dilanjutkan dengan jalan kaki. Keyna ingin segera sampai ke halte bus, dia tidak ingin ketinggalan bus, karena kalau sampai terlambat, dia harus menunggu bus berikutnya dua jam lagi. Itu berarti dia harus menunggu di halte sendirian sampai malam.
Tiba-tiba sebuah mobil berjalan lambat di sampingnya, semula Keyna tidak memperhatikan, tetapi ketika mobil itu semakin mengikutinya, Keyna menoleh dan menatap waspada.
Mobil itu berwarna hitam legam, jenis mobil sport yang cukup bagus, dengan kacanya yang gelap.
Apakah ini penculikan? Mobil itu mirip mobil mafia-mafia di film. Kadang Keyna kesal dengan imaginasinya sendiri yang membuatnya ketakutan.
Lalu kaca mobil itu terbuka sebelum Keyna sempat panik lebih jauh. Yang ada di balik kemudi adalah Jason. Lelaki yang memainkan biola waktu itu. Keyna tak akan pernah lupa wajahnya. Langkahnya langsung terhenti.
Jason ikut mematikan mobilnya dan tersenyum lembut,
"Aku pikir aku tadi salah orang, ternyata kau benar-benar Keyna. Kenapa kau berjalan sendirian di sini Keyna?"
"Aku... eh... aku sedang menuju halte bus."
"Menuju halte bus? Memangnya tidak ada mobil dan supir yang menjemputmu?" Jason mengerutkan kening, tampak tidak suka dengan ide Keyna berjalan sendirian dan pulang dengan naik bus.
Keyna tersenyum, "Bukan Jason, bukannya tidak ada, mama Jonathan menyediakannya untukku, tetapi aku menolaknya..... kupikir terlalu berlebihan kalau harus diantar jemput setiap hari."
Jason mengangkat alisnya, "Tidak terlalu berlebihan, apalagi untuk seseorang yang sudah menjadi bagian dari keluarga Jonathan. Sangat berbahaya berjalan sendirian, karena banyak orang dengan pikiran negatif yang bisa saja memutuskan menculikmu demi uang."
Kata-kata Jason membuat Keyna takut, dia menatap sekelilingnya dengan waspada, "Tetapi aku bukan bagian dari keluarga Jonathan...." gumamnya pelan, "Mereka tidak akan tertarik menculikku."
Jason mengangkat bahunya, "Yah, siapa tahu. Banyak orang putus asa dan nekad di dunia ini." Lelaki itu membuka pintu mobilnya, "Ayo, aku akan mengantarmu pulang."
Sejenak Keyna berdiri ragu. Dia teringat akan kata-kata Davin kemarin kepadanya, kalau dia harus berhati-hati dan jangan terlalu dekat kepada Jason, karena Jason adalah penghancur perempuan dan membenci perempuan. Tetapi dilihat dari manapun, dia pasti bukanlah tipe yang diincar oleh lelaki sekelas Jason, jadi tidak mungkin dia dijadikan target oleh lelaki itu. Lagipula Jason tampak baik dan tulus kepadanya, tidak apa-apa mungkin kalau dia ikut lelaki itu.
Setelah menghela nafas ragu untuk terakhir kalinya. Keyna melangkah masuk ke mobil Jason.
***
"Kau duduk dengan begitu tegang. Tenanglah Keyna, aku tidak akan memakanmu." Jason akhirnya bergumam dengan geli setelah beberapa lama mereka berdua dalam keheningan.
Keyna merasa begitu malu, apakah ketegangannya sangat terbaca? Dia dipenuhi kekhawatiran akibat peringatan Davin kemarin, padahal Jason sepertinya benar-benar berniat baik kepadanya.
"Maafkan aku." gumam Keyna pelan, mengalihkan pandangannya ke arah jendela luar. Langit malam sudah makin menggelap, dan kemacetan di jalan raya membuatnya semakin terlambat pulang. Ponselnya mati karena kehabisan baterai dan dia tidak bisa menghubungi mansion. Tetapi sepertinya mansion juga tidak akan menunggunya pulang. Nyonya Jonathan sedang berada di luar negeri dan Keyna yakin Kevin sedang sibuk dengan urusannya sendiri sehingga tidak memikirkan kepulangan Keyna.
"Aku mengerti kok. Suasana memang terasa canggung karena kita belum begitu kenal." Jason terkekeh, "Dan mungkin kau mendengar tentang reputasi jelekku. Reputasiku memang jelek kepada beberapa perempuan, tetapi sepertinya berlebihan kalau aku dikatakan suka membuat patah hati perempuan. Aku menjalin hubungan dengan beberapa perempuan dan tidak berhasil. Itu saja." Perkataan Jason itu seolah menjawab semua pertanyaan yang ada di benak Keyna, meskipun Keyna bertanya-tanya dalam hatinya, Jason sahabat Davin bukan? Kalau begitu kenapa Davin memperingatkannya tentang Jason? Bukankah para sahabat biasanya saling mendukung?
"Aku tidak mempertanyakan reputasimu." Keyna bergumam pelan, "Aku juga tidak takut kepadamu. Aku hanya cemas karena pulang terlambat."
"Pulang terlambat bersamaku." Jason tertawa geli, "Mari kita lihat bagaimana reaksi Davin."
Davin tidak akan peduli, gumam Keyna dalam hati. Lagipula kenapa Davin harus peduli?
***
Sepertinya Davin memang peduli. Itu yang ada di benak Keyna ketika melangkah turun dari mobil Jason dan menemukan Davin bersandar di pilar teras mansion itu. Gaya tubuhnya tampak santai, tetapi tidak bisa menipu. Tatapannya terasa membakar.
Lelaki itu marah. Batin Keyna dalam hati.
"Darimana saja kau Keyna?" suara Davin berdesis lirih. "Dan kenapa ponselmu mati?"
Keyna menatap Davin penuh rasa bersalah, lelaki itu memperlakukannya seperti ayah memarahi anaknya yang masih kecil. Keyna bukan anak kecil lagi bukan? Seharusnya Davin tidak memperlakukannya seperti itu.
"Aku... tadi pulang kuliah aku bersama Sefrina, lalu aku mampir ke toko buku di sudut kota sampai lupa waktu.... aku.. aku terlambat pulang jadi..."
"Dan bagaimana kau bisa pulang bersama Jason?" Davin mengangkat alisnya mengamati Jason yang menyusul dengan tanpa rasa bersalah di belakang Keyna.
"Eh... aku bertemu Jason di..."
"Sudahlah Davin. Keyna tidak harus diintimidasi seperti itu. Tadi aku kebetulan berpapasan di jalan dengannya, jadi aku menawarkan untuk mengantarnya pulang karena hari sudah malam. Itu saja."
Tatapan Davin tampak tajam kepada Jason, "Di antara sejuta kesempatan setiap detiknya, dan kau kebetulan bertemu Keyna?"
Jason mengangkat bahunya, "Mau bagaimana lagi? memang begitu kejadiannya. Ya kan Keyna?"
Keyna menatap Davin dan Jason berganti-ganti dengan gugup, lalu menganggukkan kepalanya.
"Ya... memang begitu kejadiannya."
Davin menghela napas kesal, "Lain kali kalau kau pulang terlambat, telepon aku. Mengerti?"
Keyna sebenarnya ingin membantah. Davin tampak begitu arogan dan memaksakan kehendaknya, dan Keyna tidak suka diperlakukan seperti itu, Tetapi kemudian dia mengurungkan niatnya. Lelaki di depannya ini tampak begitu marah, entah kenapa. Seakan-akan sudah siap meledak kalau dipancing. Keyna pikir lebih baik dia diam dan membirkan Davin mereda dengan sendirinya.
"Mengerti, Keyna?"
"Mengerti Davin." Jawab Keyna datar kemudian setengah terpaksa. Davin tentu saja mengetahui nada terpaksa itu, tetapi dia tidak mempedulikannya.
***
"Jangan dia Jason." Davin membanting tubuhnya di sofa dan menyesap minuman di gelas kristal bening yang dipegangnya, dia tampak begitu frustrasi.
Jason yang sedari tadi duduk sambil membaca buku di sofa seberangnya mengangkat kepalanya,
"Apa?"
"Jangan. Jangan Keyna."
Jason terkekeh dan meletakkan buku di tangannya, lalu menyandarkan tubuhnya di sofa, "Apa yang membuatmu berpikir kalau aku sedang mengincarnya?"
"Tatapanmu. Kau tidak melepaskannya dari pandanganmu."
Jason mengusap rambutnya pelan dan menatap Davin penuh spekulasi, "Lalu kenapa kau melarangku?"
"Karena," Davin menghela nafasnya frustrasi. "Karena aku sudah berjanji akan menjaganya. Dia adalah satu-satunya gadis yang tak akan kubiarkan untuk kau hancurkan."
"Kalau aku tidak mempedulikan peringatanmu?" nada suara Jason tampak tenang dan tidak terpengaruh oleh tatapan Davin yang menajam, seolah ingin membunuhnya.
"Maka kau akan berhadapan denganku."
Jason tertawa dan menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Kenapa kau ini Davin, sebelumnya kau tidak peduli dengan sepak terjangku dengan siapapun. Dan tentang Keyna, dulu kau membencinya dan ingin mengusirnya. Lalu tiba-tiba saja kau membawanya kembali ke rumah ini dan bertingkah seperti malaikat penjaganya."
"Sebenarnya itu bukan urusanmu."
"Ah ya." Jason tersenyum santai, "Itu memang bukan urusanku.... tetapi setidaknya bisa menjadi pertimbanganku untuk tidak mengincar Keyna."
"Dia bukan tipemu."
"Aku tidak punya tipe khusus. Kau sudah berteman denganku sejak lama, kau pasti tahu kalau aku tidak pilih-pilih."
Davin mengacak rambutnya kesal, "Kau sahabatku. Dan aku tidak suka harus bertentangan denganmu. Tetapi Keyna adalah pengecualian. Kau tidak boleh mengganggunya, kau dengar itu? Dan kalau kau bertanya-tanya kenapa, itu adalah karena aku punya hutang yang sangat besar kepadanya."
"Hutang?" Jason mengerutkan keningnya, ekspresinya tidak lagi bercanda. "Bagaimana mungkin seorang Davin Jonathan mempunya hutang kepada gadis biasa seperti Keyna?"
"Bukan hutang uang. Aku berhutang nyawa kepada Keyna, ah bukan.... kepada ayah Keyna."
"Apa maksudmu?"
"Kau seorang pemain biola profesional, mungkin kau pernah mendengar namanya, Robert Samuel? itu nama panggungnya dulu kalau tidak salah."
Jason mengetuk-ngetukkan jemarinya, tampak berfikir,
"Ah, ya... aku ingat...Robert Samuel adalah pemain biola yang sangat hebat dulu, Guru-guru musik kami menyebutnya jenius. Terakhir dia menerima tawaran yang sangat menarik di Austria. Tetapi entah kenapa ternyata dia batal mengambil tawaran itu lalu menghilang begitu saja. Sejak itu dia tak pernah muncul seolah-olah ditelan bumi." Jason terkekeh, "Guru biolaku adalah salah satu penggemarnya, dia selalu mengulang-ngulang kisah tentang Robert Samuel yang jenius dan betapa sayangnya karena dia menghilang. Sebuah kehilangan besar di dunia musik klasik, katanya."
"Dia menghilang karena dia tidak bisa bermain biola lagi."
"Apa? Kenapa kabar itu tidak pernah terdengar?" Jason menatap Davin tajam, "Dan darimana kau tahu?"
"Karena aku yang menyebabkan dia tidak bisa bermain biola lagi. Lelaki itu menyelamatkanku dari penculikan waktu aku masih kecil, dan melukai tangannya. Luka itu mengenai saraf pentingnya dan dia tidak bisa bermain biola lagi." Davin mengatupkan kedua jemarinya di bawah dagu, "Dan dia mempunyai seorang puteri."
Jason mengamati ekspresi Davin lalu wajahnya memucat ketika menemukan kebenaran di depannya,
"Keyna....? Apakah maksudmu, putri dari Robert Samuel adalah Keyna?"
"Ya." Kevin mendesah, "Orangtuaku berusaha mencari-cari Robert, dan mereka menemukannya memiliki seorang putri, hidup dalam kemiskinan. Putri dari Robert Samuel adalah Keyna." Davin menatap Jason letih, "Sekarang kau tahu kenapa aku harus menjaga Keyna."
Jason menatap Davin dalam-dalam, "Dan apakah Keyna tahu kisah ini?"
"Tidak." Davin mengangkat bahu. "Aku tidak ingin dia tahu. Mama sudah ingin memberitahu Keyna, tetapi aku melarangnya."
"Kenapa?"
Karena dia pasti akan langsung membenciku. Itulah yang dipikirkan Davin pertama kali. Tetapi dia menatap Jason dengan pandangan tanpa ekspresi.
"Karena aku ingin menjaga supaya hubungan kami tetap seperti ini. Aku akan menjaganya dengan sepantasnya. Kau tahu, bisa saja begitu Keyna mengetahui bahwa kami mempunyai hutang budi kepadanya, Dia akan meminta lebih dan memanfaatkan kekayaan kami. Yah, aku tidak menuduh Keyna mata duitan. Tetapi hati orang siapa yang tahu?" Davin merasa mulutnya pahit mengucapkan kebohongan dan penghinaan kepada Keyna. Tetapi di tahannya perasaannya. Jason tidak boleh tahu kalau Davin sangat takut dibenci oleh Keyna.
Jason menghela napas, lalu menyandarkan tubuhnya ke sofa,
"Well, tidak kupungkiri, kisahmu ini sangat mengejutkan." Dia memasang ekspresi kosongnya yang biasa. "Jangan khawatir kawan, kisahmu ini sudah pasti membuatku mengurungkan niat untuk merayu Keyna. Kau tidak usah khawatir."
***
Mimpi itu datang lagi. Keyna tahu kalau dia sedang bermimpi. Teriakan-teriakan keras, pertengkaran dan adu mulut panas terdengar di luar kamar, diselingi dengan hujan badai dan kilatan petir lengkap dengan suara guntur yang memekakkan telinga. Membuat Keyna merasa sangat ketakutan, dia masih kecil di mimpi itu, mungkin empat tahun, duduk di lantai sambil menutupi telinganya, memejamkan matanya. Mencoba tidak mendengarkan teriakan-teriakan itu
Siapa yang berteriak-teriak itu? Kenapa? dimana ayahnya?
Lalu sebuah tangan meraihnya, lembut. Keyna kecil tersentak dan berseru ketakutan.
"Sttt... jangan takut ini aku." Keyna kecil mengenail aroma itu, aroma menenangkan yang sangat akrab. Dan suara itu juga terdengar akrab. "Mereka akan berhenti bertengkar nanti. Sini biar kupeluk dirimu dan kunyanyikan lagu untukmu."
Yang memeluknya adalah seorang anak lelaki. Lebih tua darinya. Tidak dikenalnya tetapi terasa akrab. Akrab tetapi dia tidak dapat mengingatnya. Kenapa dia tidak dapat mengingatnya?
Anak lelaki itu bernyanyi, suaranya terdengar lembut. Dia bernyanyi untuk mengalihkan perhatian Keyna dari suara petir yang menggelegar di luar, mengalihkan Keyna dari suara teriakan-teriakan pertengkaran di luar
Lambat laun Keyna hanya mendengarkan suara nyanyian anak lelaki kecil itu. Tidak ada lagi suara guntur, tidak ada lagi suara teriakan pertengkaran. Kamar itu terasa begitu damai..... Hanya ada Keyna dan anak lelaki kecil itu...
.......
Keyna terbangun kemudian, dengan tubuh basah kuyup dan napas terengah-engah. Mimpi itu sudah lama tidak datang. Dan sekarang datang lagi menghantuinya. Mimpi yang sama, kamar yang sama, anak lelaki yang sama....
Kenapa?
***
Bersambung ke Part 4
Kamis, 17 Januari 2013
Sweet Enemy Part 2
Keadaan makin buruk ya." Sefrina duduk di sebelah Keyna di kelas sambil menatap ke sekeliling, beberapa orang tampak langsung berbisik-bisik melihat Sefrina mendekati Keyna.
Keyna menoleh ke arah Sefrina dan tersenyum sedih, "Maafkan aku."
"Tidak perlu minta maaf." Sefrina terkekeh, "Pendapat orang-orang yang picik dan dangkal sama sekali tidak mempengaruhiku. Aku senang dengan yang kulakukan, lagipula aku dulu sama sepertimu, tidak punya teman."
Keyna menoleh ke arah Sefrina dan menatap dengan tertarik, "Benarkah?" Mana mungkin orang secantik Sefrina dan tampak jelas dari keluarga berkelas pula bisa merasakan tidak punya teman?
"Aku dulu sering sakit-sakitan dan tinggal kelas. Pada akhirnya aku harus diam di dalam rumah dan menjalani perawatan." Mata Sefrian menerawang jauh, "Dan kemudian teman-temanku hanyalah para dokter dan perawat dan hilir mudik."
'Kau sakit apa?"
"Bukan sakit yang penting." Sefrina memalingkan muka dan menatap buku di tangannya, "Sekarang aku sudah sembuh, dan aku masih tidak suka membicarakannya." Lalu perempuan itu menatap Keyna dengan mata bulatnya yang begitu bening, "Maafkan ya."
Keyna langsung luluh dan tersenyum pengertian pada Sefrina, "Tidak apa-apa. Yang penting sekarang kau sudah sembuh."
"Ya. Aku senang bisa berteman denganmu Keyna." jawab Sefrina, setengah berbisik.
***
"Kau sedang apa?" Davin tiba-tiba saja muncul di dapur dan mendapati Keyna sedang memanaskan sesuatu dan mengaduk-ngaduknya di panci, lelaki itu tampak tertarik dan melangkah memasuki dapur, mendekat ke arah kompor, kemudian mengernyit, "Apa itu?"
Keyna menoleh dan menatap Davin dengan malu, dia tidak menyangka akan dipergoki Davin di dapur selarut ini.
"Ini biji vanila yang direbus bersama susu putih cair."
"Untuk minuman?"
"Ya." Keyna mengalihkan pandangan ke panci, airnya belum mendidih tetapi sudah tampak makin menghangat, Keyna harus mengaduknya karena kalau sampai airnya mendidih dan tidak diaduk busanya akan naik dan tumpah dari panci, "Aku biasa meminumnya kalau sedang tidak bisa tidur."
"Kau bisa meminta pelayan membuatkannya untukmu."
"Tidak." Keyna bergumam, "Ini sudah jam sebelas malam, mereka semua sudah beristirahat, aku tidak mau merepotkan."
"Keyna." suara Davin berubah tajam, khas dikeluarkannya ketika dia merasa jengkel kepada Keyna, "Para pelayan di mansion ini dibayar untuk melayani majikannya. Dan kau adalah anggota keluarga ini, salah satu majikan mereka."
"Ya... aku tahu... hanya saja aku tidak ingin mengganggu orang-orang yang sudah beristirahat malam."
Davin menggeleng-gelengkan kepalanya atas sikap keras kepala Keyna. Dia melangkah, duduk di kursi kayu di depan meja kayu besar yang ada di dapur itu. susu itu sudah mengeluarkan aroma harum yang khas, aroma wangi vanila dan gurihnya susu menguar, memenuhi ruangan.
"Kau bilang tadi kau tidak bisa tidur? Kenapa?"
Kenapa Davin tidak pergi saja dan membiarkan Keyna memasak susu vanila hangatnya dengan tenang? Keyna membatin dalam hati. Tetapi kemudian menghela napas dan menjawab.
"Kadang-kadang aku memang susah tidur, terjadi begitu saja. Tidak bisa dijelaskan kenapa."
"Hmmm." Davin menaruh tanganya di meja, "Karena banyak masalah di kampus?"
"Kenapa kau bilang begitu?" Susu di panci sudah mendidih dan Keyna mematikan kompor. Ketika akan menuang ke mug, dia menyadari bahwa isinya cukup banyak. "Mau?" tanyanya menawarkan ke Davin.
"Mau. Kebetulan aku juga sedang susah tidur." Lelaki itu menjawab sambil tersenyum. Senyum tulus yang sangat jarang muncul di wajahnya yang angkuh itu. "Karena aku mendengar selain si Sefrina itu, tidak ada yang mau berteman denganmu."
"Itu tidak masalah, aku kuliah bukan untuk berteman, tetapi menyelesaikan pendidikanku sehingga aku bisa segera mencari pekerjaan." Keyna menuang susu vanila itu ke dua mug, menyaring isinya supaya biji vanila tidak ikut masuk ke dalam mug. satu untuknya dan satu untuk Davin. Dia lalu meletakkan mug itu di depan Davin. Lelaki itu langsung meraihnya dan menghirup aromanya, belum bisa mencicipinya karena masih panas sekali.
"Duduklah." Davin menatap Keyna tak terbantahkan, meskipun sebenarnya Keyna sangat ingin kembali ke kamarnya sendirian, dia akhirnya duduk di kursi kayu itu, di depan Davin.
"Dari kata-katamu, sepertinya kau ingin segera mencari pekerjaan."
"Ya. Supaya aku bisa hidup mandiri dan tidak merepotkan Nyonya Jonathan lagi." Keyna tersenyum tipis, "Aku tahu kalau mengganti seluruh biaya yang dikeluarkan Nyonya Jonathan kepadaku tidak mungkin, tetapi setidaknya aku ingin membalas budi, dengan uangku sendiri."
"Tetapi kau bagian dari keluarga ini, menurutku." Davin menatap Keyna dan bertanya-tanya, apakah Keyna tidak tahu bahwa ayah Keyna-lah yang menyelamatkan Davin di waktu kecil? mengorbankan tangannya, mengorbankan keahliannya, dan mengorbankan masa depannya? Kalau memang benar Keyna tidak tahu, bagaimana kalau Keyna tahu nantinya? Akankah dia membenci Davin? Karena kalau Robert, ayah Keyna itu tidak menyelamatkan Davin, dia mungkin akan menjadi pemain biola yang sangat tersohor dan Keyna pasti hidup layak, tidak seperti yang dialaminya. "Lagipula sepertinya mama tidak mengharapkan pengembalian darimu, dia cukup puas kalau kau mencapai nilai tertinggi, seperti biasanya."
Keyna tertawa pelan. "Ya. aku akan berusaha untuk poin nilai tertinggi itu. " Keyna mengamati Davin. Lelaki ini sungguh tampan, sekaligus terasa jauh, tak tersentuh, Keyna bahkan kadangkala merasa begitu canggung kepada lelaki itu, meskipun mereka tinggal serumah dan Davin melaksanakan janjinya untuk tidak mengganggu Keyna. Ngomong-ngomong... apa yang membuat Davin berubah pikiran secepat itu? Dari membencinya lalu berubah menerima kehadirannya di rumah ini? Bahkan lelaki itu sendiri yang menjemputnya. Apakah penyebabnya hanya karena penyesalan? Keyna sudah lama bertanya-tanya, tetapi tentu saja dia tidak berani menanyakannya langsung kepada Davin.
Mereka duduk berhadap-hadapan dalam keheningan, di ruang dapur yang temaram itu. Keyna meniup susunya dan menikmati aroma vanilla segar yang menyeruak, membuatnya santai.
"Ayahku dulu sering membuatkanku minuman ini di malam hari sepulang kerja. Aku akan meminumnya kemudian tertidur nyenyak dengan santai." Keyna menyesap minumannya dan tersenyum kepada Davin. Lelaki itu entah kenapa membalas senyumannya, lalu ikut meniup minuman di mugnya untuk kemudian mencicipinya.
"Enak." suara Davin berubah serak, "Aku rasa aku akan tidur nyenyak juga malam ini."
***
Davin memarkir mobilnya di pelataran kampus. Kedatangannya di kampus Keyna ternyata memang mencolok. Beberapa orang tampak berkerumun dan mulai menatapnya dengan tertarik. Beberapa perempuan tampak tak malu-malu melemparkan tatapan mata memuja.
Davin sudah terbiasa menerima tatapan semacam itu, dari tatapan kagum, tatapan iri, tatapan memuja dan banyak lain jenisnya. Dia sudah belajar untuk tidak mempedulikannya. Dengan tenang dia melangkah melalui pintu kaca besar di gedung kampus itu dan melangkah menuju hall depannya.
Kedatangannya rupanya sudah menyebar dengan cepat, karena salah satu petinggi kampus tampak turun dari tangga dan menyambutnya. Pengaruh mama Devin memang besar di kampus ini. Karena mama Devin adalah pemilik kampus swasta paling megah di kota ini. Meskipun itu tak menghentikan mereka membenci anak angkat mama. Batin Davin, mencibir dalam hati.
"Tuan Davin, kenapa anda tidak mengabarkan kedatangan anda sebelumnya?" Petinggi kampus itu menyambutnya dan menyalaminya.
Davin menyambut uluran tangan itu dan tersenyum, "Saya bukan dalam kunjungan resmi menemani mama saya. Saya hanya kebetulan lewat dan sekalian mampir untuk menjemput adik saya."
"Adik anda?" petinggi kampus itu mengerutkan keningnya, "Maksud anda, Keyna?"
"Yah. Siapa lagi." Davin melirik beberapa orang yang tampak begitu tertarik, menguping percakapannya dengan sang petinggi kampus ini. "Terimakasih atas sambutan anda, sekarang saya akan mencari adik saya dulu."
"Eh... Apakah anda ingin duduk dan masuk di ruang tamu atas dulu, tuan Davin?"
"Tidak. Mungkin lain kali." Davin menganggukkan kepalanya dan melangkah meninggalkan petinggi kampus itu. Dia menelusuri koridor demi koridor berlantai marmer itu dengan tenang. Seluruh bagian dari kampus ini sudah sangat dihafalnya, karena dulu dia juga bersekolah di sini sebelum melanjutkan magisternya di England. Dia melangkah menuju kelas Keyna, seharusnya, kalau Keyna belum pulang, dia ada di sana.
Davin rupanya tidak salah. Dia menemukan Keyna sedang duduk di salah satu sudut kelas, sendirian dan membaca buku yang tampaknya sangat menarik baginya karena dia seperti larut di dalamnya, tak peduli dengan dunia luar. Rupanya perkuliahan sudah selesai dan sekarang para mahasiswa sedang berdiskusi santai sebelum pulang. Davin melangkah mendekat dan begitu orang-orang menyadari dia datang, suasana langsung berubah. Semua menatap ke arahnya, tetapi Davin tidak peduli,
"Keyna." panggilnya lembut.
Keyna yang sedang menunduk mengangkat kepalanya, menatap ke arah Davin, lalu matanya membelalak, kaget. "Kenapa kau di sini?" suaranya setengah berbisik, setengah tercekik.
"Menjemputmu. Aku kebetulan lewat."
Keyna menoleh ke arah sekeliling. Davin benar-benar membuktikan kata-katanya. Dengan kedatangannya ke sini, terang-terangan menjemput Keyna, dia benar-benar ingin menunjukkan bahwa Keyna adalah bagian dari keluarga Jonathan yang harus dihormati, Davin terang-terangan menunjukkan bahwa Keyna harus diperlakukan sama seperti ketika mereka semua menghormati keluarga Jonathan. Semua orang memandang ke arah mereka. Dan ketika Keyna menatap orang-orang itu, semuanya mengalihkan pandangan. Tidak berani balas menatap. Well, ternyata kehadiran Davin cukup mengintimidasi di sini.
"Aku tidak perlu kau melakukan ini semua." Keyna berbisik lirih, yang hanya bisa didengar oleh Davin saja.
Hal itu membuat Davin terkekeh, "Aku cuma datang menjemputmu Keyna, jangan berpikiran terlalu rumit. Ayo kemasi barang-barangmu, ikut aku."
Ketika itulah Keyna menatap kedatangan Sefrina dari pintu kelas. Tadi Sefrina bilang mau ke kamar kecil, dia mengajak Keyna untuk mampir ke toko roti di dekat kampus sebelum pulang dan Keyna sudah bilang iya. Jadi dia tidak mungkin mengikuti Davin pulang begitu saja,
"Sefrina." Keyna memanggil Sefrina yang tampak ragu melangkah ketika menyadari sosok Davin yang berdiri menghadap Keyna, membelakangi Sefrina.
Davin yang menyadari nama Sefrina disebut langsung menoleh, penuh ingin tahu. Kata mamanya Sefrina adalah mantan tunangannya. Dan sejauh yang diketahui Davin, kedatangan Sefrina kemari, meninggalkan London, kota yang bisa dikatakan merupakan tempat dia menghabiskan sebagaian besar hidupnya masih misterius. Belum lagi alasannya mendekati Keyna yang masih dipertanyakan.
Yang berdiri di depan Davon adalah seorang perempuan yang cantik. Dengan tubuh mungil yang tampak rapuh dan rambut panjang menjuntai. Sefrina tampak seperti peri yang sangat cantik. Aku mungkin harus memprotes mama karena membatalkan pertunangan itu, Davin bergumam dalam hati, tetapi kemudian menatap Keyna dan senyumnya semakin dalam, tetapi bagaimanapun juga Keyna terasa lebih menarik, entah kenapa. Mungkin karena mereka berasal dari latar belakang berbeda, sehingga Davin merasa akan terus menemukan hal-hal baru jika bersama Keyna. Davin lalu mengalihkan pandangannya kembali kepada Sefrina,
"Hai, aku sering mendengar namamu dari Keyna." Davin bersikap ramah, seolah-olah tak tahu kalau Sefrina adalah mantan tunangannya.
Sefrina mengamati wajah Davin lama, sebelum kemudian tersadar dan menjabat uluran tangan Davin, "Aku Sefrina."
"Terima kasih sudah mau berteman akrab dengan adikku. Keadaan sulit baginya di sini, dan aku senang dia bisa menemukan teman yang bisa mendukungnya."
Sefrina tertawa, "Aku cuma mengikuti kata hatiku, dan tidak peduli dengan pemikiran dangkal orang-orang. Keyna sungguh teman yang baik."
Keyna yang masih duduk di kursi kelasnya mengamati kedua orang di depannya itu. Mereka tampak sangat cocok ketika berhadap-hadapan seperti itu. Tampan dan cantik, dan berkelas, dan sudah pasti sama-sama dari keluarga kaya. Kalau mereka berpasangan pasti akan menjadi pasangan yang membuat iri orang-orang yang memandangnya saking cocoknya.
"Keyna. Ayo kita pulang."
'Eh.. " Keyna tersadar dari lamunannya. "Tapi aku sudah berjanji kepada Sefrina untuk menemani ke toko roti..."
"Lain kali saja Keyna, kasihan Davin sudah susah-susah menjemputmu kemari." Sefrina tersenyum manis, "Lagipula kita kan bertemu lagi besok, kita bisa kesana sepulang kuliah besok."
"Oh. Oke. maafkan aku Sefrina." Keyna beranjak dari duduknya dan memasukkan buku-bukunya ke dalam tas. " Aku tidak sabar menanti besok." Dia membiarkan Davin dengan gentle meraih tasnya dan membawakan tasnya.
"Aku juga tidak sabar." Sefrina melambai, masih dalam senyum manisnya.
Keyna lalu melangkah mengikuti Davin. Meninggalkan Sefrina yang berdiri diam, mengamati mereka berdua sampai menghilang.
***
Malam itu hujan turun dengan lebatnya. Tak terkira, diiringi suara angin dan hujan. Sementara Keyna berbaring diranjangnya gemetaran. Mencoba menutupi seluruh tubuhnya dari ujung kaki sampai dengan kepala dengan selimut. Tetapi setiap suara guntur menggelegar dia terlonjak kaget lalu meringis ketakutan.
Tidak ada yang tahu selain ayahnya. Tetapi Keyna memang takut dengan guntur.
Dulu sewaktu kecil kalau mendengar suara guntur, Keyna akan menangis meraung-raung. Dan ayahnya akan memasukkannya ke dalam selimut bersamanya. Ketika Keyna beranjak dewasapun sama saja, dia akan mengetuk pintu kamar Ayahnya dan minta izin untuk bersembunyi di balik selimutnya sampai badai guntur di luar reda.
Ayahnya adalah satu-satunya tempat Keyna bergantung. Guntur berbunyi lagi, kali ini demikian kerasnya sampai membuat kaca-kaca dan kusen jendela bergetar menimbulkan bunyi yang tak kalah kerasnya. Keyna berusaha menahan ketakutannya, sambil menyusut air matanya. Ayah... ayahnya. Di saat seperti ini dia merasa amat sangat merindukan ayahnya, dan berharap ayahnya masih hidup.
Tiba-tiba lampu mati, gelap gulita. Cahaya yang masuk hanyalah kilatan-kilatan guntur yang menembus kegelapan, menimbulkan bayangan bayangan menakutkan yang kemudian menghitam secepat kilat. Keyna makin gemetar, makin takut. Astaga. Kapan siksaan ini akan berakhir? Kapan hujan guntur itu akan berhenti? Keyna begitu takut, ketakutan yang tidak mampu dijelaskannya ketika mendengar suara guntur. Ketakutan yang menggelayutinya, entah kenapa, dan entah karena apa.
Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka.
"Keyna, kau tidak apa-apa? Lampu mati sebentar sepertinya ada pohon tumbang menimpa kabel listrik di luar, Tetapi sedang diperbaiki....."
Itu suara Davin. Dan kemudian, tanpa mempedulikan rasionalitasnya, meskipun nanti kalau dia sudah tidak ketakutan Keyna pasti akan merasa malu, dia melompat dengan histeris dari ranjang, melemparkan selimutnya dan setengah berlari, lalu menubruk Davin dengan kerasnya, hingga tubuh lelaki itu sempat mundur sedikit, lalu memeluknya erat-erat. Pada saat yang sama guntur menggelegar lagi dengan kerasnya, dan seluruh tubuh Keyna mulai bergetar.
"Keyna?" Davin tidak menolak pelukan Keyna. Dia balas memeluk perempuan kecil itu, berusaha menenangkan tubuh kecil yang gemetaran tenggelam di pelukannya. Ketika petir menggelegar lagi dan Keyna berjingkat kaget lalu makin erat memeluknya, Davin tahu, Keyna takut pada suara petir. "Sttttt.... " dia berbisik lirih, berusaha menenangkan Keyna. Perempuan ini memeluknya begitu erat sampai membuatnya susah bernafas, dan Keyna pasti melakukannya tanpa sadar. Davin tersenyum, kalau Keyna sadar, dia pasti tidak akan mau memeluknya seperti ini. Tiba-tiba Davin teringat, lalu tersenyum penuh syukur, untunglah hujan deras waktu itu, ketika dia menemukan Keyna setelah terusir dari mansion, hujan deras waktu itu tidak dihiasi oleh petir yang menggelegar seperti ini. Kalau tidak mungkin Keyna sudah melemparkan dirinya ke pelukan siapapun yang dia temukan, Davin tersenyum kecut,
"Sttttt ... tenanglah sayang, jangan takut. Ada aku di sini. Lampu akan menyala sebentar lagi, Ayo akan kutemani kau sampai tertidur."
Seluruh tubuh Keyna bergetar ketika Davin mengangkatnya seolah dia sangat ringan, lalu meletakkannya di ranjang, Davin duduk di tepi ranjang dan menyelimuti Keyna.
"Tidurlah, aku akan ada di sini menemanimu."
Keyna mengangguk, dan memejamkan matanya. Petir menyambar-nyambar di luar dan suara guntur menggelegar, tetapi kehadiran Davin rupanya membuat Keyna lebih tenang. Perempuan itu masih mencengkeram jemari Davin seolah takut di tinggalkan. Dan kemudian lampu menyala kembali, memenuhi kamar dengan nuansa kuning lampu tidur yang temaram. Hujan mulai reda pada akhirnya, lama kemudian, meskipun aliran airnya masih tercurah ke bumi.
Keyna tampaknya sudah di ambang tidurnya, dia menatap Davin dengan mata setengah terpejam dan tersenyum,
'Terimakasih, Davin." gumamnya pelan sebelum larut di dalam tidurnya.
Davin hanya menatap Keyna yang sudah terlelap itu. Dia lalu hendak melangkah berdiri, tapi tangan mungil Keyna ternyata masih menggenggam tangannya begitu erat. Lelaki itu lalu duduk lagi dan termenung di atas ranjang, kembali menatap wajah Keyna dalam-dalam.
Bersambung ke Part 3
Menghitung Hujan Part 3
Terjadi begitu saja, tak tertahankan
Bahkan sebelum aku menyadarinya
Aku sudah jatuh cinta padamu
Dan aku mau menunggu
Aku mau menunggu untukmu
Meskipun itu berarti : Selamanya
"Aku harus pergi." Reno menatap sedih ke arah Diandra, yang sedang merapikan pakaian-pakaian Reno dan memasukkannya ke dalam tas.
Jemari Diandra berhenti sejenak, kemudian melanjutkan memasukkan pakaian-pakaian Reno, kali ini jemari itu bergetar,
"Mencari perempuan itu?"
Reno menghela napas panjang, "Maafkan aku Diandra."
"Tidak." Suara Diandra pecah oleh tangis, "Bagaimana mungkin aku memaafkanmu? Kau meninggalkan aku untuk mengejar perempuan lain, seorang perempuan yang bahkan belum pernah kau temui hanya karena mimpi-mimpimu."
"Mimpi-mimpi itu nyata Diandra, dan perempuan itu juga, begitu juga jantung yang sekarang berdetak di dadaku ini."
Diandra mengusap air matanya dan menatap Reno dengan pilu,
"Tidakkah kau mencintaiku Reno? Tidakkah kau mengenang masa kita bersama dulu? Aku selalu mencintaimu, bahkan sejak kita kecil. Aku selalu mendampingimu, di saat-saat sulit sekalipun, percaya bahwa masih ada masa depan untuk kita.... apakah kau tega membuang itu semua?" suara Diandra terisak-isak tak kuasa menahan perasaannya.
Hal itu membuat Reno mengernyitkan dahi, mencoba menekan rasa bersalahnya. Perempuan ini tidak terbantahkan adalah pasangan yang sempurna, sangat tulus mencintainya dan selalu bersamanya di saat dia sakit. Tentu saja Reno merasakan rasa bersalah yang luar biasa karena mencampakkannya seperti ini, dia bukannya tidak punya perasaan, masalahnya... jantung ini... jantung ini tidak menginginkan Diandra, dan selalu memanggil-manggil perempuan lain, perempuan itu, yang selalu muncul di dalam mimpinya.
"Aku tidak tahu harus berkata apa." Reno meremas rambutnya frustrasi, "Aku tidak bisa berkata apapun selain maaf..."
"Katakan kalau kau mencintaiku Reno..." tatapan Diandra penuh permohonan, penuh air mata.
Reno tahu setidaknya kalimat itu akan membuat Diandra tenang. Tetapi dia tidak bisa mengatakannya. Dia tidak bisa.
Diandra tahu itu, matanya terpejam berusaha menahankan rasa sakit yang memenuhi dadanya. Tidak pernah disangkanya dia dan Reno akan berujung seperti ini.
"Setiap malam, ketika menggenggam tanganmu di rumah sakit, aku selalu berdoa semoga Tuhan memberikan jantung baru untukmu, supaya kau bisa sehat, supaya kita punya masa depan bersama, supaya kita bisa menua bersama, menatap anak-anak kita nanti dengan bahagia." Rasa sakit di suara Diandra terdengar nyata, "Aku sangat bahagia ketika kau mendapatkan donor jantung itu... sangat bahagia..... tapi ternyata aku salah."
Diandra menutup tas Reno di atas ranjang dan melangkah mundur, menatap Reno yang hanya bisa diam membatu.
"Kalau saja aku tahu bahwa jantung itu akan merenggutmu dariku, lebih baik kau tidak pernah mendapatkan donor jantung."
Dan dengan kata-katanya yang penuh dengan kesakitan, Diandra melangkah pergi, berurai air mata.
***
Ketika malam mulai temaram dan senja beranjak menjadi gelap. Reno duduk menghadap mamanya dan menceritakan semuanya. Mamanya hanya menatapnya dengan sedih.
"Jadi begitu saja? Kau tinggalkan Diandra begitu saja?"
Reno mendesah sedih, "Aku tahu semua orang akan menyalahkanku karena perlakuan jahatku kepada Diandra... tapi kuharap mama bisa mengerti aku. Aku... jantung ini.. jantung ini menginginkan perempuan lain."
"Bagaimana mungkin Reno? Apa yang kau rasakan itu tidak bisa dijelaskan dengan logika, mama bingung dengan sikapmu. Mama sedih melihat Diandra, Reno. Dia sangat kecewa, dia hancur, dan bukan hanya itu, persahabatan mama dan papa dengan kedua orangtua Diandra menjadi rusak karena masalah ini, mereka tidak mengerti." Sang mama menghela napas sedih, "Tetapi mama percaya kepadamu nak. Mama sudah melalui saat-saat dimana mama hampir kehilanganmu, berkali-kali." Perempuan itu menyusut air matanya, "Jantung itu membuat mama tidak akan cemas kehilanganmu lagi, dan......kalau kau bilang jantung itu mencintai perempuan lain, mama akan berusaha mendukungmu, karena kalau yang kau bilang itu benar, mama berhutang budi kepada perempuan itu. Perempuan yang jantung kekasihnya didonorkan untukmu."
Reno langsung memeluk mamanya. Erat. Menahan resapan air mata yang sedari tadi berusaha menyeruak keluar. Semua orang boleh membencinya, tetapi asalkan mamanya mendukung, Reno bisa melangkah maju.
"Terimakasih mama." Suara Reno serak oleh emosi, dipeluknya mamanya, wanita tua bertubuh kecil yang begitu tegar berjuang untuk anak tunggalnya yang sakit. Reno sangat menyayangi mamanya.
"Jadi, kemana kau akan mencari perempuan itu?"
"Bandung, aku sudah mendaftar untuk mengambil magisterku di sana."
***
Pertama kalinya Reno melihat Nana adalah ketika perempuan itu keluar dari toko kelontong di ruko itu, dan melangkah di trotoar.
Saat itu mendung sudah menggelap, mengirimkan pesan bahwa dia akan menjatuhkan muatannya ke bumi. Reno sudah menyelesaikan segala urusannya untuk tinggal di Bandung, administrasi perkuliahannya sudah beres, dan dia sudah menemukan tempat tinggal baru, sebuah rumah mungil di kompleks perumahan Bandung atas yang dingin dan rimbun oleh pepohonan tua yang menjulang ke langit, mengarahkan batangnya bagaikan lengan-lengan terentang yang ditumbuhi dedaunan dan menyejukkan sukma. Setelah itu, dia menelusuri alamat rumah Rangga, mencari informasi sedapat mungkin dari para tetangga. Dia mendapatkan informasi cukup penting, bahwa Rangga meninggal dunia sehari sebelum pernikahannya dengan Nana. Kesedihan seperti apa yang mungkin ditanggung oleh Nana ketika itu? Reno tak berani membayangkannya.
Butuh waktu dua hari sampai akhirnya Reno menemukan alamat kampus Nana. Oleh salah seorang teman kampusnya, dia diberitahu bahwa Nana sedang mencari bahan tekstil untuk sampling kegiatan perkuliahan mereka di kawasan belakang pasar baru. Reno memutuskan memarkir mobilnya dan berjalan menelusuri kawasan itu.
Hampir dua jam Reno menelusuri jalan-jalan kawasan kota lama itu, yang masih kokoh memeluk kenangan mereka tentang masa lalu, peninggalan jaman kolonial belanda, hingga tak terasa dia sudah melangkah begitu jauh. sampai akhirnya dia menemukan sosok itu.
Reno hanya pernah melihat Nana sekilas di sebuah foto hasil pencariannya di internet. Tetapi dia yakin bahwa perempuan yang berjalan tergesa seolah dikejar mendung di seberangnya itu adalah Nana. Dia tahu. Jantungnya tahu.
Jantungnya berdegup kencang memanggil perempuannya.
Dorongan pertama Reno adalah menghampiri Nana dan memperkenalkan diri, tetapi ketika baru satu langkah berjalan dia berhenti. Apa yang akan dikatakannya kepada Nana?
Apakah dia akan datang dan dengan santainya berkata : "Hai aku Reno, aku adalah orang sakit yang beruntung mendapatkan donor jantung dari kekasihmu, Rangga." atau mungkin dia akan berkata : "Hai aku Reno, kau mungkin akan menganggapku aneh, tetapi aku mencintaimu. Jantung kekasihmu, Rangga yang sekarang menjadi jantungku masih berdebar untukmu."
Debaran jantung itu makin mengencang, dan Reno tersenyum, menepuk dadanya pelan, "Hei. Aku tahu kau tidak sabar bertemu perempuanmu. Tetapi kita tidak bisa menerobos masuk tanpa perhitungan dulu. Aku harap kau sabar."
Lalu Reno terkekeh sendiri, dia benar-benar seperti orang gila, berbicara sendiri dengan jantungnya sambil berdiri di trotoar seperti ini
Rintik-rintik hujan mulai turun membasahi kepalanya, butirannya makin lama makin membesar seolah langit meminta agar para manusia menyingkir sehingga dia bisa menumpahkan muatan kelabunya ke bumi. Reno melempar pandangannya kepada Nana, perempuan itu tampak berdiri bingung ketika hujan juga mulai menimpanya, lalu dia memasuki cafe itu. Cafe tua dengan sebutan Warung Kopi Purnama di papan namanya.
Sementara itu Reno tetap berdiri di sana, entah berapa lama dia tidak tahu. dia berdiri bagaikan orang idiot, bingung harus bagaimana. Hujan makin membesar, dan tetesannya mulai membasahi rambut dan mengalir turun ke bahunya, membasahi pakaiannya. Lalu dia menelan ludah, menyeberang jalan dan melangkah memasuki cafe itu. Sejenak berdiri meragu di depan pintu, kemudian melangkah masuk.
Nana duduk di sudut sana, matanya mencuri pandang. Tepat saat Nana mengangkat kepalanya dan mengadu tatapan dengannya. Dengan gugup Reno memalingkan muka, mencoba bersikap acuh, lalu memilih tempat di sudut yang lain memesan kopi, lalu duduk kebingungan memikirkan bagaimana dia bisa mendekati Nana.
Dan rupanya dia terlalu lama berpikir, karena sejenak setelah hujan sedikit mereda, Nana berdiri dan meninggalkan cafe itu. Meninggalkan Reno dalam kekosongan. Jantungnya yang tadinya berdebar penuh semangat kini terasa hampa.
***
Sejak itu Reno selalu datang. Di jam yang sama, memilih tempat duduk yang sama sambil menatap cemas ke arah pintu dengan setia. Hanya satu hari dia terlambat datang, dan di satu hari itu, entah kenapa Tuhan membuat Nana datang kesana, meninggalkan bukunya.
lalu perkenalan itu terjadilah, mengalir begitu saja. Pun ketika Nana tidak kunjung datang lagi ke cafe itu sesuai janjinya, Reno tetap menunggu.
Dan ternyata penantiannya tidak sia-sia. Nana akhirnya datang menemuinya, membuat Reno yakin bahwa sadar atau tidak Nana merasakan panggilan dari jantung ini untuknya.
Mereka terus bertemu dan semakin dekat. Tetapi kemudian pertemuan-pertemuan mereka diisi oleh kisah kenangan Nana bersama Rangga. Membuat Reno merasakan sesuatu yang membakar di dalam dadanya. Sebuah perasaan yang bisa dideskripsikan sebagai : Cemburu.
Ya. Reno cemburu. Sangat cemburu kepada Rangga. Pria sempurna di mata Nana, yang kini jantungnya berdegup di dalam rongga dadanya. Reno mencintai Nana, itu pasti. Perasaan cintanya tidak bisa dideskripsikan dengan logika, tidak bisa dianalisa dengan kata-kata. Perasaan cintanya ada begitu saja, memenuhi rongga dadanya, menjajah hatinya. Sementara yang dicintai Nana adalah Rangga. Selalu Rangga.
Dan dengan bodohnya Reno memicu pertengkaran itu. Membuat Nana makin menjauh darinya.
Disesapnya kopinya dengan sedih. Dia masih duduk di sini., di sudut yang sama, tempat yang sama, waktu yang sama, menunggu dengan setia seperti yang selalu dia lakukan. Tapi kali ini Nana tak kunjung datang, dan Reno meragu apakah Nana akan datang kali ini.
Kalau Nana tak mau datang, aku akan hancur oleh patah hati. Reno merasakan jantungnya berdenyit menimbulkan rasa nyeri di rongga dadanya.
***
Nana melangkah dengan ragu di depan cafe itu. Masih cafe yang sama, bangunan tua yang sederhana tetapi menyimpan banyak sejarah di dalamnya, konon cafe ini adalah warung kopi tertua di Bandung, yang berdiri tahun 1920, tahun demi tahun berlalu, dan cafe ini masih menyajikan menu yang sama, seluruh hidangan kopinya berasal dari bahan kopi pilihan khas Bandung, Kopi Aroma yang pabriknya terletak di sudut lain kota lama Bandung, kopi yang sangat terkenal dengan proses pembuatannya yang juga tidak berubah dari tahun ke tahun, mempertahankan rasanya. Dan juga mempertahankan kenangannya, bagi beberapa orang.
Nana mendesah. Kenapa dia ada di sini? apakah itu berarti memberi kesempatan kepada Reno untuk mengalihkan perhatiannya dari Rangga? Tetapi Nirina bilang, dengan menerima Reno bukan berarti dia membuang Rangga. Rangga akan selalu ada dan akan selalu hidup di dalam hatinya.
Tetapi tidak terbantahkan, Nana juga menyayangi Reno. Perasaan itu tumbuh entah kapan. Mungkin sejak Reno memperkenalkan dirinya, mungkin juga sejak pertemuan rutin mereka di cafe itu dari waktu ke waktu. Nana tidak tahu. Yang pasti sekarang dia ingin mencari jawaban. Mencari jawaban atas semua pertanyaan yang menggelayuti benaknya.
Nana lalu melangkah masuk ke cafe itu. Dan mendapati Reno duduk di sana, di sudut yang sama tempat mereka biasanya duduk berdua. Lelaki itu tampak merenung, tidak melihat ke arah pintu, tetapi kemudian entah kenapa dia langsung menyadari kedatangan Nana. Kepalanya langsung tegak dan dia setengah berdiri ketika melihat Nana,
"Nana..."
Nana melangkah mendekati Reno, berdiri dengan ragu.
"Aku... aku mau minta maaf karena membentakmu di pertemuan kita terakhir waktu itu."
Reno tersenyum lalu duduk kembali,
"Duduklah Nana, aku akan memesankan pesananmu yang biasa."
***
Kopi dan roti pun dihidangkan, menu tetap mereka selama pertemuan mereka di sana. Reno menatap Nana dengan senyumnya yang tulus,
"Aku minta maaf, aku yang terlalu memaksamu. Percayalah Nana, mulai sekarang aku tidak akan mendesakmu lagi. Aku akan selalu ada, entah sebagai sahabatmu, entah sebagai saudaramu, entah sebagai apapun. Aku akan selalu ada untukmu."
Nana menundukkan kepalanya, lalu menatap Reno dengan senyum sedihnya, "Terimakasih Reno... aku.. aku tidak bisa menjanjikanmu apa-apa, tetapi kau masih begitu baik untukmu."
"Karena aku mencintaimu." suara Reno tercekat menahan rasa, menahan debaran jantungnya yang makin mendera, Tidak apa-apa kalau ternyata Nana tidak bisa membalas cintanya. Ternyata tidak apa-apa, ternyata cukup baginya bisa duduk di sini dan menatap perempuan itu. Ada, dan menghirup napas yang sama dengan dirinya.
Tidak apa-apa ternyata mencintai, dan hanya ingin mencintai, entah cintanya itu berbalas atau tidak....
***
Reno baru saja pulang dan membaringkan badannya di ranjang, matanya menatap nanar ke langit-langit kamar, membayangkan Nana.
Hanya membayangkan perempuan itu, senyumannya, tawanya, caranya berbicara saja bisa membuatnya tersenyum, dipenuhi oleh perasaan cinta,
Kemudian ponselnya berkedip, sekali. dua kali. Akhirnya Reno meraihnya.
Nama yang tertera di layar ponsel itu membuatnya menegang.
"Ya Diandra?"
Sejak perpisahan di rumah sakit itu Diandra memutuskan kontak dengannya. Sama sekali. Dan Reno terima, karena dia memang tidak pantas memohon maaf dari Diandra. Dan mungkin Diandra lebih baik dalam kondisi seperti ini. Reno terima kalau Diandra membencinya dan dia berharap dengan begitu Diandra akan mudah membuka hatinya untuk yang lain.
Suara di seberang sana penuh dengan isak tertahan.
"Reno... Reno... Aku sangat membutuhkanmu... aku tak kuat tanpamu.... " Diandra menangis tersedu-sedu di seberang sana, penuh dengan kesakitan tanpa ampun, membuat hati Reno terasa nyeri, "Pulanglah Reno.... aku mohon pulanglah kemari...."
***
Bersambung ke Part 4
Langganan:
Komentar (Atom)

