Rabu, 27 Februari 2013

You've Got Me From Hello Part 2


Ponsel Sani berbunyi sore itu, dan dia langsung mengangkatnya ketika mengetahui bahwa yang menelepon adalah mamanya,

“Sani?” mamanya langsung berbicara seperti kebiasaannya, “Mama harus memperingatkanmu.”

“Memperingatkan apa mama?” Dahi Sani mengeryit dan langsung waspada, mamanya tidak pernah berucap dengan nada seserius ini sebelumnya.

 
 
“Jeremy.” Suara sang mama setengah berbisik, “Dia datang kemari pagi ini dan memohon kepada mama untuk memberikan informasi di mana dirimu.”

“Mama tidak memberitahukannya kepadanya kan?” Sani langsung panik. Percuma dia pindah ke lain kota kalau pada akhirnya Jeremy mengetahui dia ada di mana.

“Tentu saja tidak sayang.” Sang mama menghela napas panjang, “Tetapi sepertinya dia tidak menyerah, dia bilang pada akhirnya kalau mama tidak mau mengatakan dimana dirimupun, dia akan tetap tahu karena dia akan menghubungi kantor penerbitmu.”

Sani mengernyit kesal. Kalau Jeremy menghubungi kantor penerbitnya, tentu saja Jeremy akan tahu dimana dia berada. Dia mendesah kesal tetapi tidak bisa berbuat apa-apa, Sani hanya tidak menyangka kenapa Jeremy sekeras kepala ini mengejarnya. Apakah lelaki itu tidak bisa menerima bahwa Sani tidak bisa memaafkannya?

“Terimakasih sudah memperingatkanku mama, ada kemungkinan bahwa dia sudah tahu dimana aku berada, aku menginformasikan kepindahanku dan alamat baruku kepada penerbit. Aku akan bersiap kalau Jeremy nekat dan mendatangiku.”

“Kau tidak apa-apa Sani?” suara mamanya tampak cemas di seberang sana, membuat Sani tersenyum haru.

“Tidak apa-apa, mama, aku bisa bertahan.” Jawabnya mencoba sekuat mungkin meskipun dalam hatinya dia meragu.

***

                Perempuan itu datang lagi malam ini, dan memesan segelas anggur untuk teman menulisnya. Azka mengernyit, dari info yang didapatnya dari Albert, Sani adalah seorang penulis novel romance. Tetapi sepertinya Sani sedang murung karena beberapa kali perempuan itu hanya menghela napasnya di depan laptopnya, lalu mengawasi layar laptop itu dengan tatapan mata kosong.

    Azka merasa seperti pengintip yang memalukan ketika berdiri di depan kaca balkon atas dan mengamati Sani seperti ini, tetapi dia tidak bisa menahan diri. Sudah beberapa hari ini Sani selalu datang, dan setiap pukul sembilan lalu akan menulis sampai dini harin sebelum kemudian pulang ketika terang tanag menyentuh langi. Azka tidak bisa menahan ketertarikannya untuk mengintip ke bawah, menanti kedatangan Sani, dan sejauh ini, perempuan itu tetap datang.

Ada keinginan tertahannya untuk mendekati perempuan itu, tetapi dia menahan diri, dia takut kalau dia terlalu mengganggu, Sani akan merasa segan dan kemudian tidak akan datang lagi.

“Perempuan itu datang lagi.” Albert yang tiba-tiba sudah ada di ambang pintu ruang kerja Azka bergumam sambil tersenyum penuh pengertian, mengamati Azka. “Kau sepertinya sangat tertarik kepadanya.”

“Kenapa kau bisa berpikiran begitu?” Azka mundur dari kaca itu dan melangkah menuju kursi kerjanya. Albert adalah tangan kanannya, orang kepercayaannya, lelaki itu dulu adalah pegawai setia ayahnya, dan orang yang paling dipercaya oleh ayahnya. Setelah ayah Azka meninggal dan dia mewarinya jaringan kerajaan bisnis hotel dan restoran ini, Albertlah yang selalu membantunya, memberinya pendapat dari sisi pengalaman, melengkapi apa yang tidak dimiliki oleh Azka.

Karena itulah Azka menghadiahi Albert cafe ini, tetapi lelaki setengah baya itu menolaknya, dia hanya ingin tinggal di sebuah apartemen mini di bagian atas cafe dan tetap ingin bekerja menjadi pelayan meskipun Azka sudah melarangnya. Tetapi Albert bilang bahwa menjadi pelayan cafe ini bisa membantunya tetap hidup, dia kesepian dan bercakap-cakap dengan para pelanggan bisa menyembuhkan sepinya, karena itulah Azka mengizinkan Albert menjadi pelayan di Garden Cafe ini.

Albert meletakkan kopi panas untuk Azka dan tersenyum, “Kau menyapanya malam itu, kau bahkan tidak pernah menyapa pelanggan lain sebelumnya.”

Azka tersenyum kecut, rupanya dia terlalu mudah terbaca oleh Albert, “Tetapi bukan berarti aku tertarik kepadanya.”

“oh ya?” Albert mengangkat alisnya, “Sebelumnya kau tidak pernah menginap di cafe ini.” Seperti halnya Albert, Azka mempunyai apartemen sendiri di sisi lain di bagian atas cafe ini,  tetapi dia memang jarang memakainya, karena dia selalu pulang ke rumahnya, kawasan hijau dan sejuk di perbukitan pinggiran kota, dekat dengan area resor hotelnya. “Dan aku hitung, sejak kau menyapa perempuan itu, kau selalu datang kemari setiap malam, tanpa absen.”

Azka terkekeh mendengar perkataan Albert, “Aku memang tidak bisa membohongimu ya.”

“Aku sudah mengenalmu sejak kecil.” Albert tertawa, “Kau tidak pernah bertingkah seperti ini sebelumnya dengan perempuan manapun.” Albert berdehem, “Begitu juga ketika dengan Celia.”

Azka tertegun ketika nama Celia disebut, wajahnya sedikit memucat, dia lalu memalingkan muka dengan murung.

“Tetapi pada akhirnya semua akan tetap sama bukan?” gumamnya sedih, “Seberapa besarpun aku tertarik kepada perempuan itu, aku tidak akan pernah bisa memilikinya.”

“Anda bisa memilikinya kalau anda mampu mengambil keputusan tegas.”

“Tidak.” Azka mengernyit seolah kesakitan, “Aku memang bukan orang baik. Tetapi aku masih punya hati.”

Tuhan tahu dia sudah tidak mencintai Celia, tunangannya. Tetapi dia masih punya hati. Kesalahannya harus dibayar, meskipun perasaannya yang dikorbankan.

***

“Azka?” Suara lembut Celia menggugah Azka dari lamunannya, membuat Azka menoleh dan langsung tersenyum lembut,

“Iya sayang?”

Celia menyelipkan rambut panjangnya yang indah di belakang telinganya, dan tersenyum lembut,

“Ada apa? Kau tampak begitu murung.”

Azka mendesah, “Ah..iya... mungkin aku sedikit tidak enak badan.” Itu yang sesungguhnya. Dia sungguh merasa tidak enak badan, dia tidak suka berada di sini. Tetapi dia harus, setiap akhir pekan setelah kesibukan kantornya berakhir, dia harus berada di sini, menghabiskan waktunya bersama Celia, tunangannya. Tetapi pikirannya mengembara, ke cafe itu, tempat perempuan bernama Sani itu pasti sudah datang dan menulis di sana sampai dini hari.

Azka tidak sabar untuk segera pergi dari sini dan menuju Garden cafe, mengamati Sani dari kejauhan.

“Pulanglah.” Bisik Celia lembut, penuh pengertian, “Mungkin kau kelelahan dan butuh istirahat.”

Celia selalu seperti itu, begitu lembut dan penuh pengertian. Apapun yang dilakukan Azka dia selalu mengerti. Apalagi yang sebenarnya Azka cari? Dia seharusnya berusaha keras untuk memaafkan dan kembali mencintai. Tetapi setiap melihat Celia, dia teringat akan pengkhianatan itu lalu merasa begitu getir.
 
Ada beberapa hal yang bisa dimaafkan dalam hubungan percintaan, tetapi pengkhianatan bukanlah salah satunya....

Ditatapnya Celia dengan senyuman lembut, kemudian dia menarik Celia mendekat dan mengecup keningnya,

“Kau mau kuantar masuk?”

“Tidak Azka, pulanglah, aku bisa masuk sendiri.” Jawab Celia tanpa kehilangan senyumnya.

Azka menghela napas, lalu menyentuhkan jemarinya di rambut Celia dengan lembut, “Terimakasih Celia, sampai ketemu lagi besok ya.”

Celia mengangguk, memundurkan kursi rodanya dan memutarnya memasuki rumah, Azka menunggu sampai pintu rumah itu tertutup, lalu melangkah pergi, tanpa menoleh lagi.

***

Dalam perjalanannya pulang dari rumah Celia, Azka merenung. Dulu semuanya baik-baik saja. Azka melabuhkan cintanya kepada Celia, dan memutuskan untuk melamarnya. Tetapi kemudian dia larut, sibuk dalam pekerjaannya dan lupa untuk memberikan perhatiannya kepada perempuan itu.

Celia yang kehilangan cintanya, akhirnya memutuskan untuk mencari perhatian dari lelaki lain, dan dia mendapatkannya dari sosok lelaki bernama Edo, yang ternyata adalah seorang bajingan.

Bajingan itu merenggut kegadisan Celia yang sedang rapuh karena diabaikan oleh Azka, lalu kemudian meninggalkannya begitu saja dalam kondisi hamil.

Masa-masa itu sangat menyakitkan bagi Azka, ketika Celia datang kepadanya dan mengakui semuanya, tentu saja Azka marah besar, mereka sedang berkendara di mobil, di tengah hujan deras ketika Celia mengakui semuanya kepada Azka, Azka marah, menginjak gas begitu kencang untuk meluapkan emosinya hingga kehilangan kewaspadaannya,  mereka lalu mengalami kecelakaan fatal, kecelakaan yang membuat Celia keguguran anak hasil hubungannya dengan Edo,  dan tidak bisa berjalan lagi selamanya.

Azka sendiri hanya mengalami lecet-lecet, dia mendengar kenyataan bahwa Celia akan lumpuh dan merasakan penyesalan yang luar biasa. Dialah penyebab semua ini, Celia menjadi lumpuh seumur hidup karena dirinya, karena dialah mereka mengalami kecelakaan parah itu. Padahal perselingkuhan Celia kalau ditelaah adalah karena kesalahannya, Azka terlalu sibuk dengan bisnisnya sehingga melupakan Celia, bahkan dia hampir tidak punya waktu untuk tunangannya itu, jadi wajar kalau Celia sampai mengais perhatian dari lelaki lain.

Lalu Azka memutuskan bahwa dia harus bertanggung jawab, dan pagi itu pula ketika Celia sadarkan diri dari kecelakaan, menangis ketika mengetahui bahwa dia tidak bisa berjalan lagi, Azka memeluknya dan mengatakan bahwa dia akan selalu mendampingi Celia selamanya, dia memaafkan kekhilafan Celia dan bertekad untuk melangkah ke depan, meninggalkan yang lalu.

Azka mengira itu akan mudah. Toh dia mencintai Celia sebelum kejadian itu, dipikirnya dia hanya perlu memaafkan dan kemudian menjalani keadaan mereka seperti sebelumnya. Tetapi kemudian dia merasakan perasaannya mulai terkikis dan musnah, setiap menatap perempuan cantik itu, lalu menyadari kenyataan bahwa Celia telah mengkhianatinya dan membiarkan dirinya disentuh oleh lelaki lain sampai sedemikian jauhnya.

Hari demi hari berlalu, sampai di titik cintanya musnah begitu saja, dia menjalani harinya dengan Celia hanya karena dia merasa harus melakukannya. Azka yakin dia bisa melakukannya, toh hatinya sudah mati rasa.

Sampai kemudian dia melihat Sani, dan terpesona lalu tertarik kepadanya.

Albert memang benar, Azka tidak pernah tertarik kepada perempuan lain sebelumnya. Begitu kuat, begitu memabukkan, membuatnya tak bisa memikirkan yang lain, membuatnya ingin mencoba mendekat bahkan meskipun dia sadar bahwa dia tidak bisa memiliki perempuan itu.

Sejenak Azka ragu, dia berada di persimpangan jalan, satu menuju ke arah rumahnya dan yang lain menuju ke arah Garden Cafe.Pada akhirnya Azka mengarahkan mobilnya ke arah Garden Cafe. Dia ingin melihat Sani.

***

Ketika dia memasuki pintu cafe itu, matanya mencari di sudut yang biasa, dan menemukan Sani. Perempuan itu sedang mengetik seperti biasa ditemani segelas anggur merah yang tinggal tersisa setengahnya.

Sejenak Azka ragu, tetapi kemudian dia mendekat,

“Aku heran kenapa kau belum tidur jam segini dan memilih untuk menulis.”

Sani langsung mendongak mendengar sapaannya, ada tatapan terkejut di sana ketika melihat Azka berdiri di depannya, tetapi kemudian dia tersenyum lembut.

“Aku punya penyakit susah tidur akhir-akhir ini"

Azka tersenyum, “Kalau kau ingin mengantuk, minumlah susu putih  aku dengar itu bisa membuat kita nyaman dan terlelap.”

“Susu putih?” Sani mengeryit, “Aku tidak suka susu putih, rasanya terlalu gurih dan menguarkan aroma yang aneh di hidung, membuatku mual.”

Kali ini Azka benar-benar terkekeh geli, “Aku baru kali ini mendengarkan deskripsi yang begitu menarik tentang susu putih.” Godanya, “Apa yang sedang kau tulis?” tanpa sadar Azka menarik kursi dan duduk di depan Sani.

“Roman percintaan.” Pipi Sani memerah, menyadari bahwa dia ditatap oleh lelaki yang begitu tampan, dengan mata cokelat muda dan rambut berantakan yang tampak sangat menggoda. Tetapi kemudian dia mengeraskan hati.

Semakin tampan seorang lelaki berarti semakin berbahaya dirinya. Gumamnya dalam hati.

“Roman percintaan? Dan sepertinya kau sedang kehabisan ide?”

Bagaimana lelaki ini tahu?

Sani mengangkat bahunya, “Tokoh utama di ceritaku saling membenci, dan aku merasakan dorongan kuat untuk membiarkannya seperti itu.”

Azka terkekeh, “Tetapi kau tidak bisa membiarkannya seperti itu?”

“Tidak bisa.” Gumam Sani penuh penyesalan, “Karena ini cerita roman, dan cerita roman karanganku harus berujung Happy Ending.”

“Kenapa?”

“Apanya?”

“Kenapa harus Happy Ending?” Azka menatap ke arah Sani dengan tajam, membuat Sani sedikit salah tingkah.

“Karena di kehidupan nyata kadangkala Happy Ending bukanlah milik kita.” Ingatan Sani langsung melayang kepada Jeremy dan dia tersenyum pahit, “Karena itulah setidaknya novelku bisa menjadi pengobat luka hati.”

“Kau benar-benar penulis novel yang baik dan memikirkan perasaan pembacanya.” Gumam Azka sambil tersenyum, yang ditanggapi Sani dengan mengangkat bahunya.

“Aku hanya ingin menyajikan kisah yang indah untuk pembacaku.”

“Misi yang luar biasa baik, dan aku yakin itu bisa membantu semua orang, karena kadang di dunia nyata ini kita tidak selalu berakhir indah. Tetapi kau harus selalu mengingat, akan ada pelangi sehabis badai.” Azka bangkit dari duduknya dan menganggukkan kepala sopan, “Silahkan lanjutkan menulis, maaf atas gangguanku.”

***

Azka sedang mengenakan dasinya untuk berangkat ke kantor pusatnya di area resor hotelnya ketika pintu apartement pribadinya di lantai dua cafe itu diketuk. Dia mengernyitkan keningnya, hari masih pagi. Cafe di bawah memang buka duapuluh empat jam, tetapi yang pasti tidak akan ada yang berani mengetuk pintunya sepagi ini, bahkan Albertpun tidak akan melakukannya.

Dengan jengkel sekaligus ingin tahu, Azka membuka pintu ruang kerjanya dan menemukan Keenan berdiri di sana. Saudara kembarnya.

“Kenapa kau kemari pagi sekali?” Azka mengernyit, menatap adiknya ingin tahu. Meski mereka kembar tetapi Azka lebih dulu lahir 3 menit sebelum adiknya, karena itulah dia selalu menganggap dirinya sebagai kakak. Lagipula, secara kepribadian, dia memang lebih dewasa dibandingkan Keenan. Keenan terlalu berpikiran bebas, dia bahkan tidak mau memegang perusahaan warisan ayah mereka dan memilih mengejar impiannya menjadi seorang pelukis. Kadang Azka merasa iri kepada Keenan karena kemampuannya untuk merasa bebas dan lepas dari tanggung jawab.

Azka sendiri tidak bisa. Perusahaan ayahnya harus dikendalikan, dan karena Keenan tidak bisa diandalkan, maka dia mengambil alih seluruh tanggung jawab itu di pundaknya.

Mungkin dia memang ditakdirkan untuk selalu memikul tanggung jawab terhadap orang lain di pundaknya, pikirnya pahit.

Sementara itu Keenan tampak tidak peduli, dia melangkah masuk ke apartemen Azka dan membanting tubuhnya di sofa,

“Aku sedang menerima proyek melukis untuk desain kantor di dekat resor kita. Pekerjaan itu baru beres tadi pagi dan memutuskan untuk berkunjung ke rumahmu pagi ini sekaligus menumpang tidur, tetapi kata pealayan sudah berhari-hari kau tidak ada di sana dan tidur di Garden Cafe.” Keenan merengut, “Jadi aku terpaksa menyusul kemari.”

Azka meraih jasnya dan melirik adiknya tanpa ekspresi, “Kau bisa menumpang tidur di kamar.” Gumamnya tenang, “Aku harus bekerja.”

“Kau tampak tidak sehat.” Gumam Keenan ketika mengamatinya, “Dan kurus. Apakah memimpin perusahaan ini membuatmu begitu sibuk sampai lupa mengurus dirimu?”

Mereka berdua memang sudah lama tidak bertemu, hampir enam bulan lebih, itu karena Keenan memutuskan ke belanda, untuk mengunjungi guru melukisnya di sana. Adik kembarnya itu baru pulang sebulan yang lalu, tetapi mereka sama-sama sibuk hingga sekaranglah pertemuan mereka yang pertama setelah enam bulan berlalu.

Azka sendiri mengamati adiknya yang tampak begitu segar dan tanpa beban, lalu mengernyit,

“Salah satu dari kita harus menjalankan perusahaan ini.”

“Kau tidak perlu melakukannya, kau tahu itu.” Keenan memundurkan tubuhnya dan menyandarkan dirinya di sofa, “Perusahaan itu bisa saja kau serahkan kepada para tangan kanan ayah, selama ini bukankah mereka juga yang menjalankannya?”

“Tetapi perusahaan ini tetap butuh seseorang yang mengendalikannya, Keenan.” Azka bergumam tajam. “Aku bukan orang bebas yang bisa melepaskan tanggung jawab seperti dirmu.” Sindirnya.

Keenan malahan tertawa, “Dan kaupun memikul tanggung jawab itu, ciri khas seorang Azka.” Wajahnya berubah serius, “Sama halnya seperti yang kaulakukan kepada Celia.”

“Aku tidak mau membicarakannya.” Azka langsung memalingkan muka, berusaha memutus percakapan. Mereka pasti akan berakhir dengan adu argumentasi ketika membicarakan Celia.

Keenan adalah salah satu orang yang menentang keras ketika Azka melanjutkan pertunangannya dengan Celia, dia tahu tentu saja tentang pengkhianatan Celia dan menganggap Azka bodoh karena memikul tanggung jawab terhadap Celia, padahal kecelakaan yang dialami Celia seharusnya bukanlah kesalahan Azka.

“Tidakkah kau bertanya-tanya bahwa sebenarnya ada jodohmu di luar sana?” Keenan terus mengejar, tidak peduli akan ekspresi membunuh yang dilemparkan Azka kepadanya, “Tidakkah kau ingin tahu bahwa pasangan jiwamu sedang menunggu jauh di sana? menanti untuk kau temukan? Kalau kau terus terpaku pada Celia, yang jelas-jelas tidak kau cintai, kau akan kehilangan kesempatanmu untuk menemukan jodohmu yang sesungguhnya.”

“Aku tidak menyangka kau bisa begitu puitus.” Azka berusaha menghindar dari bahasan tentang Celia. Dia sedang tidak mau memikirkannya.

“Aku seorang seniman, meskipun aku pelukis, tetap saja aku bisa puitis.” Keenan tertawa, “Berbeda dengan dirimu yang begitu kaku.” Wajahnya melembut, “Aku hanya ingin kau berhenti menyiksa dirimu, kak.”

Apakah sejelas itu?

Azka berusaha memasang wajah datar, “Kalau kau ingin aku sedikit lebih baik, bantulah aku di perusahaan.”

‘Tidak.” Keenan langsung menjawab cepat, “Berkemeja rapi, memakai jas dan dasi bukanlah gayaku, aku bisa mati bosan kalau bekerja di kantor.” Dengan santai dia melangkah berdiri dan menuju kamar Azka, “Selamat menikmati harimu.” Gumamnya santai lalu menghilang ke dalam kamar.

***

Sani sedang melangkah keluar dari pintu putar apartemennya, hendak menuju ke supermarket terdekat untuk membeli bahan makanan sebagai pengisi kulkasnya ketika langkahnya membeku di trotoar.

Mobil warna biru itu dengan pelat nomor yang sangat dikenalnya.

Itu mobil Jeremy...

Dan benar saja, lelaki itu melangkah keluar dari mobilnya dan berdiri tepat di depan Sani,

“Hai Sani.” Sapanya seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa di antara mereka, “Apa kabarmu? Aku kemari untuk mengunjungimu, aku merindukanmu.” Bisiknya lembut.

Bisikan itu dulu pernah membuat hati Sani hangat, tetapi sekarang tidak lagi, dia menggertakkan giginya dengan marah,

“Apa yang kau lakukan di sini?”

Jeremy mengangkat bahunya, “Mengunjungimu tentu saja, kau pikir apa? Aku harap setelah kau puas dengan tingkah kekanak-kanakanmu kita bisa bercakap-cakap dengan kepala dingin.”

Tingkah kekanak-kanakannya, katanya?

Sani menahan dirinya untuk maju dan menampar Jeremy. Berani-beraninya lelaki itu muncul di depannya seolah tidak bersalah dan mengganggu ketenangan hidupnya lagi.

“Aku tidak mau bercakap-cakap denganmu. Minggir.” Gumam Sani marah, ketika Jeremy dengan sengaja menghalangi jalannya di trotoar yang sempit itu.

Tetapi Jeremy tidak bergeming, dia malahan semakin sengaja menghalangi Sani lewat,’

“Kita harus bicara Sani, ayolah hentikan sikap kekanak-kanakanmu itu dan berbicaralah dengan dewasa.”

“Aku rasa aku sudah mengambil keputusan dewasa dengan mengakhiri pertunangan kita, menyingkirlah Jeremy dan biarkan aku lewat.”

Sani berusaha mencari jalan melewati Jeremy, tetapi karena lelaki itu menghalangi jalannya, dia merengut kepada Jeremy dengan tatapann menghina, “Ah sudahlah!” gumamnya marah lalu membalikkan tubuhnya, hendak berbalik dan meninggalkan Jeremy.

Sayangnya gerakannya kurang cepat, Jeremy sudah meraih lengannya dan mencekalnya,

“Dengarkan aku dulu Sani, kau harus mendengarkan aku!” seru Jeremy mulai emosi, lelaki itu bahkan tidak peduli akan lirikan orang-orang di sekitar.

Sani malu, sungguh-sunggu malu, dengan sekuat tenaga dia berusaha melepaskan cekalan tangan Jeremy di lengannya, berusaha melepaskan diri dari Jeremy, dia jijik, dia benci, dan dia sangat muak dengan laki-laki ini.

Di tengah usahanya melepaskan diri, sebuah mobil berwarna merah menyala menepi ke trotoar di dekat mereka. Azka turun dari mobil dan mengernyit, dari kejauhan dia sudah melihat lelaki itu mencengkeram lengan Sani dan Sani yang berusaha melepaskan diri. Pada akhirnya dia tidak bisa menahan diri untuk mendekat,

“Bisakah kau lepaskan perempuan itu? Tampaknya dia tidak mau berurusan denganmu.” Gumamnya dingin.

Membuat Sani dan Jeremy menoleh bersamaan.

BERSAMBUNG KE PART 3

Senin, 25 Februari 2013

You've Got Me From Hello Prolog-Part 1


Prolog

Ingatan akan kejadian itu masih terasa begitu menyakitkan baginya. Melihat dengan mata kepalanya sendiri akan pengkhianatan Jeremy, kekasih yang sangat dicintainya. Lelaki yang dia kira akan menjadi pasangan hidupnya, selama-lamanya sampai mereka menua. Apa yang dia lihat itu merupakan kehancuran bagi seluruh rencana masa depannya, pernikahan mereka, kehancuran bagi segalanya, bagi hati Sani, dan bagi kepercayaannya kepada semua laki-laki di dunia ini. 




Teganya Jeremy!! Tak henti-hentinya Sani meneriakkan umpatan kepada mantan tunangannya itu di dalam hatinya.


Semula diawali dari telepon itu, sebuah telepon dari nomor tidak dikenal, yang entah kenapa Sani angkat. Telepon itu dari seorang perempuan, yang menangis, mengatakan bahwa dia juga kekasih Jeremy dan mengatakan bahwa Jeremy telah meninggalkannya tanpa mau bertanggungjawab. 

Oh, tentu saja Sani pada awalnya tak percaya, tetapi perempuan itu mengajaknya bertemu, dan meskipun saat itu Sani sangat yakin bahwa Jeremy tidak mungkin mengkhianatinya, Jeremy tidak mungkin melakukan semua itu kepadanya. 

Sani mau bertemu dengan perempuan yang menelepon itu, dengan tujuan awal ingin mengata-ngatai perempuan itu agar jangan memfitnah Jeremy, tunangannya yang sangat setia dan tampan. 

Tetapi kemudian, siang itu di sebuah cafĂ© di ujung jalan, seluruh keyakinan Sani dijungkirbalikkan. Perempuan itu, Ana namanya, sudah mempersiapkan segalanya. Semua bukti yang diperlukan terhampar di hadapan Sani, seolah menamparnya keras-keras. 

Di sana ada foto-foto mesra Jeremy dan Ana, yang menunjukkan bahwa mereka adalah sepasang kekasih. Tentu saja! Seorang yang bukan kekasih tidak mungkin mencium pipi, berangkulan begitu erat dan saling memeluk seperti yang tergambar di dalam foto itu. Ana juga menunjukkan pesan pesan mesra mereka, dari nomor Jeremy. Bahkan Jeremy tidak pernah seromantis itu dengannya, pesan-pesan mereka penuh dengan kata-kata cinta dan janji-janji muluk yang menyakitkan. Lalu seakan semua bukti belum cukup menghancurkan hari Sani, Ana dengan tenang mengatakan bahwa kegadisannya sudah diserahkan kepada Jeremy, dan bahwa sekarang keluarganya akan menuntut kepada keluarga Jeremy. 

Hati Sani seakan dihancurkan oleh pengkhianatan yang begitu parah, bukan hanya karena Jeremy berselingkuh di belakangnya, tetapi juga karena Jeremy telah begitu saja menghancurkan seluruh keyakinan Sani tentang lelaki yang baik. 

Sani selalu menjaga dirinya sampai dengan usianya yang sekarang, duapuluh lima tahun dan masih perawan. Meskipun kadang dia membiarkan Jeremy mencium bibirnya, tetapi hanya sebatas itu. Tidak pernah lebih. 

Jeremy pernah suatu kali meminta lebih, tetapi Sani mengangkat alis dan mengatakan apa yang diyakininya, nasehat ibunya, bahwa seorang lelaki yang baik, akan menjaga perempuan yang dicintainya. Bukannya memaksa untuk merusaknya. Jeremy saat itu menerima penjelasan Sani dengan lembut, dan bersumpah bahwa dia benar-benar mencintai Sani, jadi tidak akan pernah merusaknya. Dan Sani sangat bersyukur mempunyai tunangan seorang lelaki yang bisa menjaga moralnya, seorang lelaki yang baik dan tidak berorientasi kepada hasrat duniawi semata. 

Semua pandangannya tentang Jeremy – dan semua laki-laki lainnya hancur seketika itu juga. Jeremy telah tidur dengan Ana, lebih dari pada yang seharusnya. Bagaimana mungkin Sani bisa memaafkan Jeremy? 

Malam itu Sani bertemu dengan Jeremy, dan memaparkan semuanya, bukti-bukti yang ada. Jeremy tampak sangat marah, kepada Ana, bukan kepada Sani. 

“Dan kau percaya apa yang dikatakan perempuan itu?”, tanya Jeremy waktu itu. 

Sani menatap lelaki itu. Yang dulu dicintainya, bahkan mungkin sekarang masih dicintainya meskipun cinta itu terasa menggores seluruh hatinya hingga terasa nyeri. 

“Dia menunjukkan semua bukti-bukti itu, foto-foto mesra kalian berdua, pesan-pesan mesra kalian, masihkah kau membantah semuanya?” 

Jeremy tercenung tampak ragu, lama kemudian, dia menatap Sani dengan pandangan memohon, 

“Maafkan aku sayang” 

Air mata pecah dari dasar hati Sani, sejak siang tadi Ana menemuinya, Sani bahkan tidak bisa menangis, dia terlalu marah. Tetapi sekarang, berdiri di sini, berhadapan dengan Jeremy yang mengakui segalanya membuatnya tak bisa menahan diri lagi, 

“Teganya kau melakukan itu kepadaku Jeremy, setelah pertunangan kita yang delapan tahun lamanya. Aku percaya padamu! Aku menghormatimu… aku…”, suara Sani tertahan oleh napasnya yang mulai sesak oleh luapan perasaannya. 

Jeremy memijit keningnya tampak kesakitan. 

“Maafkan aku Sani, aku… aku khilaf, tidakkah kau mengerti? Aku tidak pernah menginginkan berselingkuh dengan Ana dibelakangmu. Tetapi Ana… Ana, dia mengejarku, kau tahu dia juniorku di perusahaanku dan aku bertugas membimbingnya, dia… dia sangat tergila-gila dan terobsesi denganku, aku sudah berusaha menolaknya dengan berbagai cara, tetapi dia…. Dia tidak menyerah. Suatu malam, ketika hujan, dia mengetuk pintu apartementku, berkata bahwa mobilnya mogok di dekat situ dan dia kehujanan. Aku tidak punya kesempatan untuk menolaknya, dia… dia kemudian merayuku… dan aku….”, suara Jeremy terhenti ketika melihat ekspresi Sani, “Jangan… jangan sayang, jangan merasa jijik kepadaku… aku hanya laki-laki biasa, aku menyesali semuanya, aku memang tidak tahan godaan, aku harap kau mengerti semuanya….,” Jeremy mendekat, berusaha menyentuh tangan Sani, tetapi Sani menepiskannya dengan kasar. 

“Jangan sentuh aku”, desis Sani geram, “Kau bisa saja bilang itu ketidak sengajaan untuk kejadian pertama, tetapi kalian melakukannya lagi dan lagi….dan aku yakin itu bukanlah suatu ketidak sengajaan…” 

“Itu semua terjadi begitu saja!” seru Jeremy frustrasi, “Dia… dia selalu menyediakan diri, dan kupikir, semua tanpa komitmen, aku tidak tahu dia akan berbuat sejauh ini, menyakiti kau dan aku, berusaha menghancurkan hubungan kita, kau tahu? Aku sebenarnya sudah akan meninggalkannya” 

“Aku sangat kecewa Jeremy.” Sani menyusut air matanya, semua kesedihannya berubah menjadi kemarahan, “Kau meniduri seorang perempuan dan menganggap itu hanya selingan sambil lalumu, pemenuhan kebutuhanmu…. Itu sangat tidak bermoral..” 

“Maafkan aku Sani, aku harap kau mau mengerti, lagipula pernikahan kita tinggal lima bulan lagi, kau tidak akan membiarkan ini menghancurkan semua rencana masa depan kita bukan? Aku akan membereskan semua masalah ini dan kita bisa melanjutkan semuanya.” 

“Tidak!”, Sani mundur selangkah, “Aku tidak mau melanjutkan apapun! Dan kurasa aku tidak akan pernah bisa! Kau… kau bukanlah lelaki yang kuinginkan untuk bersamaku sampai akhir hidupku. Ternyata aku salah selama ini Jeremy,” dengan kasar Sani melepas cincin emas itu dari jemarinya, cincin yang dipasangkan secara resmi oleh Jeremy di depan seluruh keluarga mereka ketika mereka baru lulus dari SMU, delapan tahun yang lalu. “Kukembalikan cincin ini dan kuminta hatiku kembali, silahkan jelaskan semuanya kepada orang tua kita, karena aku sudah muak kalau harus mengulang semua ini lagi.,” diletakkannya cincin itu ke telapak tangan Jeremy, “Selamat tinggal Jeremy.” 

Sani membalikkan tubuhnya, dan tidak menoleh lagi ke belakang. Meskipun Jeremy masih memanggilnya dengan lembut, mencoba membuatnya berubah pikiran. 

Kemudian Sani menjelaskan secara singkat keputusan bulatnya kepada kedua orang tuanya, menolak telepon-telepon dari orang tua Jeremy agar dia mau memaafkan Jeremy. Semua sudah selesai, babak hidupnya yang ini sudah musnah, bersama dengan cintanya, seluruh masa depannya dan rencana pernikahan mereka setahun lagi. Sani menghadapi segalanya dengan kepala tegak meskipun hatinya hancur bukan kepalang. 

Malam itu juga, Sani mengepak segalanya dan mengambil keputusan untuk pindah ke kota lain. Sani seorang penulis novel, dia bisa tinggal dimanapun dia mau, tidak terikat pada perusahaan manapun. 

Maka Sani memilih kota itu, kota yang menjanjikan penyembuhan, kota yang jauh, kota yang tak punya keterikatan apapun dengan masa lalunya. Sani sudah bertekad, persetan dengan semua laki-laki. Dia tidak membutuhkannya. Akan dia tunjukkan kepada dunia yang kejam ini, bahwa seorang Sani, bisa hidup tanpa harus meletakkan hatinya ke dalam genggaman mahluk jahat yang bernama Laki-laki. 

*** 

PART 1

Apartementnya masih berantakan, dia belum sempat merapikan pakaian dan beberapa barang pribadi yang baru dibelinya, sebuah televisi dan dispenser kecil. Untunglah apartement ini sudah menyediakan perabotan dasar seperti tempat tidur, sofa dan dapur. Shani memutar bola matanya ketika menatap dapur itu, dia mungkin butuh berkunjung ke supermarket terdekat, mengisi bahan makanan di kulkas dan membeli beberapa peralatan memasak. 

Tubuhnya lelah setelah perjalanan yang panjang dan dilanjutkan dengan mengurus surat-surat kontrak apartementnya, Keisha, editornya yang kebetulan tinggal di kota ini sudah berbaik hati membantu mencarikan apartement yang siap pakai untuknya. Ya, Sani memang berangkat ke sini karena usul dari Keysha, selain sebagai editornya, Keisha adalah sahabatnya, meskipun mereka kebanyakan berkorespondensi melalui email semata. Jadi, begitu Sani menceritakan pengkhianatan Jeremy dan rasa sakitnya, Keisha mengusulkan agar Sani pindah sementara ke kotanya sampai hatinya tenang. 

Dia hanya berpamitan kepada kedua orang tuanya, dan tidak mengatakan kepergiannya kepada siapapun. Tetapi lambat laun Jeremy pasti akan mengetahuinya juga. Sani mendesah pahit. Sekarang ingatannya akan Jeremy dipenuhi rasa muak dan sakit hati. 

Ah ya ampun. Lelaki. Sani tidak akan pernah percaya laki kepada lelaki. Mereka semua adalah mahluk lemah yang tidak tahan godaan. 

Ponselnya berkedip-kedip dan Sani mengernyit, dia mengangkatnya ketika melihat nama Kesha di sana. 

“Halo?” 

“Aku sudah sampai rumah dan baru teringat.” Kesha berkata, “Naskah bab tujuhmu sudah selesai dikoreksi, ada beberapa catatan kecil di sana, mungkin kau ingin melihatnya.” 

“Aku akan melihatnya nanti.” Gumam Sani lemah, menyandarkan tubuhnya di sofa, “Saat ini aku lelah sekali.” 

“Istirahatlah dulu. Kau tidak akan bisa menyelesaikan tulisanmu kalau kau sakit.” 

“Kenapa kau memikirkan tulisanku? Bukan aku?” Sani tersenyum 

“Karena sudah mendekati deadline dan kau baru sampai di bab tujuh, Sani, novelmu banyak ditunggu-tunggu oleh penggemarmu, penerbit sudah mengejarku untuk kepastian penyelesaian novelmu.” Kesha tergelak, “Tetapi bukan berarti aku tidak mempedulikanmu, sebagai sahabat aku mencemaskanmu, jangan banyak pikiran ya. Lepaskan semuanya dan biarkan hatimu tenang.” 

Mata Sani berkaca-kaca. Menyadari bahwa hatinya sama sekali tidak tenang, “Terimakasih Keisha.” Gumamnya serak sebelum menutup pembicaraan. 

Matanya nyalang menatap langit-langit kamar. Mencoba melupakan rasa yang menyesakkan dada. Dia tidak akan bisa tidur malam ini, sambil menghela napas panjang, Sani meraih jaketnya dan melangkah keluar dari apartementnya. 

*** 

Setelah berjalan tanpa tujuan di sekitar kompleks apartemennya yang cukup ramai karena terletak di area pusat perbelanjaan, Sani begitu saja memasuki cafe itu. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, tetapi suasana tetap saja ramai. 

Cafe itu terletak di pinggir jalan, di area yang dipadati pejalan kaki yang lalu lalang, suasananya sangat sejuk dan menyenangkan, karena dipenuhi oleh tanaman hijau yang ditata dengan indahnya, dengan dinding-dinding dari kaca yang memantulkan lampu jalan. Cafe itu buka duapulu empat jam. Dan Sani langsung menemukan tempat yang cocok untuk duduk dan menulis. Dia duduk di sebuah sudut yang nyaman dan membuka buku menu yang ada di meja. Suasana cafe cukup ramai meskipun sudah malam, seakan-akan kehidupan terus berjalan di dalam sini. 

Pada saat yang sama seorang pelayan, pria setengah baya mendekatinya dan tersenyum ramah kepadanya, 

“Selamat malam, apakah anda ingin memesan sesuatu?” 

Sani mendongak menatap wajah yang ramah itu dan tersenyum, “Saya ingin steak yang ada di menu ini gumamnya pelan, lalu menatap pelayan yang membungkukkan tubuhnya dengan sopan setelah mencatat pesanannya dan melangkah pergi. 

Sani membuka laptopnya dan mulai menulis, tetapi baru beberapa detik dia mendesah. Novel yang ditulisnya adalah kisah romansa antara dua anak manusia yang saling mencintai. Sani dulu sangat lancar menulis novel percintaan, kata-kata akan mengalir mudah dari jari-jarinya, membentuk rangkaian huruf yang membuaikan pembacanya, tetapi sekarang, setiap dia akan menulis kisah cinta, hatinya mencemooh, ingatan akan Jeremy menyerbunya, membuat jemarinya kaku dan tidak bisa mengetikkan kisah romantis apapun. Ternyata menulis itu dipengaruhi oleh hati. Ketika dia patah hati, jemarinya menolak untuk menuliskan kisah cinta yang menyentuh hati. Jiwanya tidak percaya akan keindahan romansa, semua terasa palsu baginya sejak pengkhianatan Jeremy kepadanya. 

“Biasanya kalau aku susah mendapatkan inspirasi aku akan mendengarkan musik.” 

Suara yang maskulin itu mengejutkan Sani dari lamunannya, dia mendongakkan kepalanya dan langsung bertatapan dengan sosok tampan yang begitu mendominasi ruangan, dengan pakaian serba hitam dan wajah klasik yang misterius. 

Sani mengernyitkan keningnya, menoleh ke belakangnya, tidak ada orang lain di dekatnya, jadi memang benar lelaki ini sedang menyapanya. Dia tidak mengenal lelaki ini, bagaimana lelaki ini bisa mengetahui bahwa dia sedang menulis? 

“Para penulis biasanya datang ke cafe ini di malam hari, memenuhi setiap sudutnya dan berusaha mencari inspirasi.” Lelaki itu tersenyum, “Maafkan aku tidak sopan menyapamu begitu saja.” Dia mengulurkan tangannya, “Hallo, Aku pemilik cafe ini namaku Azka.” 

Sani tetap ragu, meskipun begitu, demi kesopanan dia menyambut uluran tangan lelaki itu, 

“Hallo....” Sani masih bingung harus berkata apa, “Aku Sani.” Gumamnya pelan. Masih terpukau atas senyum ramah dan ketampanan lelaki di depannya. 

“Oke kalau begitu, aku harap kau tidak bosan berkunjung kemari.” Lelaki itu menganggukkan kepalanya lalu melangkah pergi. 

Sani masih terdiam, mengamati kepergian lelaki itu. Mungkin sudah budaya di cafe ini untuk ramah kepada para pelanggannya, pikirnya dalam hati. 

Lelaki itu tampak baik, ramah dan sopan.... tetapi kemudian ingatan akan Jeremy menyerangnya dan membuatnya merasa pahit. Semua laki-laki sama di dunia ini, meskipun yang berpenampilan paling sempurna sekalipun. 

*** 

“Dan dia sangat tampan.” Sani bercerita kepada Kesha sahabatnya, “Dia juga pemilik cafe yang indah itu.” 

Kesha mencomot roti bakar di piring Sani, mereka sedang menghabiskan minggu pagi di apartemen Sani, Kesha berkunjung untuk membantu Sani merapikan tempat barunya, 

“Cafe itu cukup terkenal di kota ini, sangat ramai karena menyediakan semua yang dibutuhkan. Di pagi hari kau bisa memesan menu sarapan yang lezat, dan di malam hari, barnya dibuka sehingga semua orang yang ingin bersantai bisa duduk-duduk di sana selama mungkin dan menikmati minumannya. Tapi dari ceritamu, pemilik cafe itu sepertinya masih muda.” 

“Masih muda.” Sani merenung, masih muda dan sangat tampan batinnya. 

“Apakah dia sudah menikah?” tanya Kesha tiba-tiba. 

Sani tergelak, “Kenapa aku harus memperhatikan apakah dia sudah menikah atau belum?’ 

“Karena kau harus belajar melepaskan diri dari Jeremy.” Kesha mengedipkan sebelah matanya, “Pemilik cafe itu menyapamu, dan dia masih muda, siapa tahu dia juga tampan.” 

“Dia tampan.” Gumam Sani akhirnya. 

“Nah! Mungkin dengan mencoba membuka lembaran baru kau bisa menyembuhkan lukamu.” 

“Tidak.” Sani mengernyitkan keningnya denga pedih, “Semua lelaki sama, Kesha. Mereka selalu bilang bahwa mereka adalah pecinta sejati. Tetapi di sisi lain mereka mudah berpindah hati.” 

“Kau tidak bisa terus-terusan seperti itu, Sani. Masih banyak lelaki di luar sana yang berjiwa baik dan setia.” Kesha menghela napas panjang, “Seperti pemilik cafe yang tampan itu, dia tampaknya baik, dan dia menyapamu, berarti dia ada perhatian kepadamu.” 

“Tidak.” Sani menggelengkan kepalanya sambil terkekeh, “Mungkin itu memang sudah menjadi ciri khas cafe itu, bersahabat dengan pelanggannya, bahkan pelayannya pun ramah-ramah.” Tatapan mata Sani lalu berubah serius, “Aku tidak ingin membuka hatiku untuk lelaki manapun, Kesha, aku sudah dikecewakan dan bagiku semua lelaki itu sama, mereka adalah pengkhianat.” 

Sani meyakini kata-katanya. Pengalamannnya dengan Jeremy sudah membuktikan semuanya. Dia tidak akan pernah percaya kepada laki-laki lagi, apalagi lelaki yang luar biasa tampannya seperti pemilik cafe itu kemarin. Lelaki setampan itu pastilah pemain perempuan, karena dengan ketampanannya dia bisa mendapatkan banyak perempuan yang dengan sukarela mau bertekuk lutut di bawah kakinya. 

*** 

Tetapi malam itu Sani tidak bisa tidur lagi, dia sudah mencoba berbaring tetapi hanya berguling bolak-balik di atas ranjang. Akhirnya dia memutuskan untuk berjalan keluar. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, tetapi kawasan tempat tinggalnya cukup aman dan ramai untuk keluar di malam hari. 

Lagipula Cafe itu terletak begitu dekat, di seberang kompleks apartemennya.... 

Tanpa terasa Sani sudah berjalan ke sana, memasuki cafe itu. Pelayan setengah baya yang sama yang menyambutnya, 

“Anda ingin pesan apa?” lelaki itu menyapa dengan ramah ketika Sani duduk di pojok yang rindang dengan dekorasi taman yang menyejukkan. 

Sani tersenyum, “Tidak, malam ini aku ingin kopi.” 

“Apakah anda akan bergadang untuk menyelesaikan pekerjaan anda?” pelayan itu melirik ke arah laptop yang diletakkan Sani di mejanya. 

Sani terkekeh, “Aku seorang penulis dan aku dikejar deadline.” 

“Penulis?” Pelayan itu tampak tertarik, “Penulis novel?” 

Sani menganggukkan kepalanya, “Ya. Novel percintaan.” 

“Ah.” Pelayan itu terenyum penuh arti, “Saya sudah menduganya, itu sesuai dengan penampilan anda yang lembut.” 

“Terimakasih atas pujiannya.” Gumam Sani sambil tertawa, mulai membuka laptopnya di atas meja itu, “Mungkin aku akan di sini sampai pagi.” 

“Anda tidak tidur?” 

“Pekerjaanku kan penulis, aku bisa begadangan semalam dan tidur besok pagi.” Sani tergelak, “Semoga di sini diperbolehkan duduk sampai malam.” 

“Tentu saja.” Pelayan itu mengedipkan sebelah matanya, “Asal anda terus mengisi cangkir kopi anda setiap dua jam, anda boleh duduk di sini selamanya.” Candanya sambil tertawa, “Saya akan mengambilkan pesanan anda, dan karena sepertinya anda akan menjadi pelanggan kami, anda boleh memanggil saya Albert.” 

Sani tersenyum menanggapi keramahan pelayan itu, “Terimakasih, Albert.” Gumamnya lembut. 

*** 

Hampir pukul tiga pagi dan Sani masih menulis di sudut yang sama, dia sedang menulis adegan sedih, perpisahan antara dua tokohnya karena kesalahpahaman, dan itu sesuai dengan perasaannya sekarang, karena itulah jemarinya mengalir lancar. 

Tiba-tiba ponselnya berkedip-kedip, membuanya mengernyitkan kening. 

Siapa yang meneleponnya pagi-pagi begini? 

Diambilnya ponselnya dan wajahnya memucat ketika melihat nama yang tertera di sana. 

Jeremy... 

Sani meletakkan ponsel itu di meja dan membiarkannya. Tetapi ponsel itu terus bergetar tanpa henti, begitu mengganggunya. Sani mendesah kesal, mood menulisnya langsung hilang begitu saja melihat nama Jeremy di layar itu. 

Dan meskipun dia sudah berusaha mengabaikannya, ponsel itu terus menerus bergetar tak tahu malu, seolah Jeremy tidak akan menyerah sebelum dia mengangkatnya. 

Akhirnya setelah menghela napas panjang, Sani mengangkat ponsel itu. 

“Ada apa Jeremy?” gumamnya kesal. 

“Sani, akhirnya.” Suara Jeremy terdengar lega di seberang sana, “Aku datang ke rumahmu dan orangtuamu bilang bahwa kau pergi keluar kota. Kau kemana?” 

“Sudah bukan urusanmu lagi kan?” jawab Sani dingin. 

“Astaga Sani. Sebegitu kejamnyakah kau padaku? Apakah kau pergi meninggalkan kota ini gara-gara aku?” 

Kenapa pula Jeremy harus bertanya? Tentu saja Sani melakukannya karena Jeremy, dia sudah muak bahkan untuk mengetahui bahwa dia menghirup udara yang sama dengan laki-laki itu, karena itulah dia pindah. 

“Aku rasa apapun alasanku adalah urusanku.” Sani bergumam, “Dan aku harap kau tidak menggangguku lagi.” 

“Sani... sayang... dengarkan aku... kau pindah kemana sayang? Orangtuamu tidak mau memberitahukan kepadaku, dan aku mencemaskanmu.” 

“Aku baik-baik saja.” Sani menguatkan hatinya, merasakan matanya berkaca-kaca, lalu langsung mematikan ponselnya. 

Dia terpekur cukup lama di depan laptopnya, menatap hampa kepada tulisannya yang masih setengah jadi. Saat ini yang dia lakukan adalah membuat kisah tragedi, dengan akhir yang tragis dan memilukan untuk tokoh-tokohnya, kisah menyedihkan yang sama seperti yang sekarang dia alami. 

*** 

Azka memperhatikan Sani dari dalam ruang kerjanya. Tentu saja Sani tidak menyadarinya, ruang kerja Azka terletak di lantai dua, di atas tangga dengan kaca yang gelap yang didisain satu sisi, dimana Azka bisa dengan leluasa mengawasi seluruh bagian cafe miliknya dan orang dari luar tidak akan bisa melihat menembus ke dalam. 

Azka tidak pernah merasakan ketertarikan seperti ini pada perempuan manapun. Tetapi semalam, ketika kebetulan dia sedang berdiri di tempat ini, tempat yang sama, mengawasi cafenya, dia melihat perempuan itu masuk, menatap keraguan perempuan itu, dan entah kenapa ada sesuatu yang mendorongnya untuk mendekati perempuan itu. 

Padahal penampilan perempuan itu sederhana, dia mengenakan rok panjang dan kemeja warna polos yang membungkus tubuhnya yang mungil. Tidak ada yang istimewa dan heboh dari penampilannya, rambutnya dikucil kuda sekenanya, dan perempuan itu tidak berdandan, tetapi Azka tetap saja tidak bisa melepaskan pandangannya dari perempuan itu. 

Bahkan kemudian dia tidak bisa menahan diri untuk menyapa perempuan ini, ingin melihat lebih dekat. Azka tidak pernah menampakkan dirinya di depan pelanggan. Dia selalu bersembunyi di balik dinding kaca gelap yang misterius, hanya Albertlah yang dipercayanya sebagai tangan kanannya. Azka memiliki jaringan cafe dan hotel di seluruh kota ini, tetapi Garden Cafe adalah favoritnya, tempat inilah satu-satunya dari seluruh tempat yang dimilikinya yang membuatnya merasa nyaman. 

Dan kemudian dia menemukan perempuan ini, perempuan yang langsung merenggut hatinya, ketika berucap halo dan menyambut uluran tangannya, lalu mengatakan namanya. Sani. Azka mencatat nama itu dengan penuh rahasia, jauh di dalam hatinya yang kelam.


BERSAMBUNG KE PART 2