Selasa, 23 April 2013

Suatu Hari di Tengah Hujan Deras


"Jangan sampai terlambat lagi." Nayla menatap Rendy dengan tatapan mata merajuk, "Kemarin aku bengong lama di halte dan sudah hampir digoda preman."

Rendy menatap Nayla menyesal, "Maafkan aku Nayla. Suer tidak akan telat jemput lagi." Dengan lucu lelaki itu menyilangkan jarinya di depan Nayla, meluruhkan seluruh kejengkelan Nayla dan membuatnya tidak bisa menahan senyum.

Rendy tersenyum juga ketika menyadari kemarahan Nayla sudah reda, "Sudah tidak marah lagi kan?"

Nayla menggelengkan kepalanya meskipun jengkel, siapa pula yang bisa marah lama-lama kepada Rendy? kekasihnya yang begitu baik hati dan lembut? Nayla tidak akan tega marah kepada Rendy lama-lama. Meskipun semalam Rendy sudah begitu keterlaluan kepadanya. Bayangkan, lelaki itu terlambat menjemputnya dua jam! Hampir dua jam Nayla menunggu sepulang dari tempat kerjanya di sebuah departement store yang buka sampai jam sembilan malam. Sebenarnya setelah satu jam menunggu, Nayla sudah hendak menghentikan taxi, tetapi kemudian dia merasa ragu dan takut, sudah jam sepuluh lebih dan dia sendirian, berita-berita tentang berbagai tindakan kriminal di atas taxi yang menimpa perempuan yang sedang sendirian terasa menakutkannya. Pada akhirnya, Nayla memutuskan untuk menunggu, sambil berusaha menghubungi telepon Randy yang tidak aktif. 

Dan kemudian Randy baru muncul pukul setengah sebelas malam, dengan wajah pucat dan cemas luar biasa.

Lelaki itu bilang dia ketiduran. Ketiduran! ya ampun, Nayla benar-benar kesal malam itu sampai-sampai dia tidak mampu berkata apa-apa hanya menatap Rendy dengan marah, dan tidak membalas ucapan-ucapan permintaan maaf dari lelaki itu.

Tetapi kemudian lelaki itu datang pagi-pagi sekali keesokan harinya, dan seperti biasanya berhasil mengambil hati mamanya untuk membujuknya supaya turun dan menemui Rendy. Dan seperti biasanya, Rendy berhasil meluluhkan hatinya, mereka berbaikan lagi.

Dan pagi itu ketika Rendy mengantarkannya ke tempat kerjanya seperti biasanya, Nayla berkali-kali berpesan kepada Rendy supaya jangan terlambat datang.

"Kalau sampai kau terlambat datang, lebih baik kita tidak usah bertemu lagi selamanya!" gumam Nayla dengan tatapan mengancam.

Rendy mengangkat alisnya lagi dengan gerakan khasnya, "Selamanya?" dia terkekeh, seperti biasa menganggap remeh ancaman Nayla karena tidak pernah terwujud.  Nayla tidak mungkin marah lama-lama kepada Rendy. Cinta Nayla begitu besar kepada lelaki itu, begitupun sebaliknya, meskipun Rendy kadang teledor dan terlalu cuek karena pembawaannya memang begitu.

"Selamanya." Nayla berusaha serius, menatap Rendy dengan tatapan tajam, "Malam ini kesempatan terakhirmu."

Rendy menganggukkan kepalanya sambil tersenyum meluluhkan hati, "Oke tuan puteri, aku akan menunggu di sini nanti malam, bahkan sebelum kau keluar dari tempat kerjamu."

***

Ternyata omongan lelaki memang tidak bisa dipegang. Nayla menggigit bibirnya yang gemetar, menahankan tangisannya. Hujan  turun dengan derasnya mengguyur tubuhnya, tetapi Nayla tidak peduli. Dia tetap berdiri di pinggir jalan, menatap ujung jalan yang lengang karena orang yang dinantinya tak kunjung datang. Dan Nayla terlalu marah untuk berteduh, pikiran bawah sadarnya menyuruhnya untuk membiarkan dirinya kehujanan, syukur-syukur dia sakit keesokan harinya, jadi dia bisa menyalahkan Rendy dan membuat lelaki itu benar-benar menyesal esok pagi.

Teganya Rendy! Malam ini dia membuat Nayla menunggu lagi, bahkan ini sudah lebih dari dua jam lamanya Nayla menunggu, hampir sama seperti kemarin. Nayla berusaha menghubungi ponsel Rendy, tetapi ponsel itu tidak aktif, hal itu benar-benar membuat Nayla marah, Rendy pasti ketiduran seperti semalam!

Oh astaga! Lama-lama kesabaran Nayla habis kalau harus terus-terusan menghadapi keteledoran dan ketidakpedulian lelaki itu. Nayla sudah berusaha bersabar selama ini, tetapi dia sudah tidak tahan lagi, apalagi sama sekali tidak tampak ada niat dari Rendy untuk berubah.

Dengan penuh emosi, dia menundukkan kepalanya, melindungi ponselnya dari guyuran hujan yang menerpa kepalanya,

== Kau memang jahat! Lelaki paling jahat dan paling tidak pedulian di dunia! Aku benci kamu! Benci sekali! Kita putus! Aku bahagia tidak usah bertemu denganmu lagi selamanya! ==

Kemudian Nayla menekan tombol sent dan menggeram kesal karena pesannya pending. Yah setidaknya lelaki itu akan membacanya ketika bangun nanti, dan Nayla bertekad tidak akan menyerah kepada permintaan maaf Rendy lagi. Cukup sudah! Kesabaran manusia ada batasnya!

Setelah mengirimkan sms itu, Nayla berjalan menembus hujan berusaha mencari taxi. Sampai kemudian dia melihat sebuah mobil mendekat, dia mengenali mobil itu. Itu mobil orangtua Rendy, kenapa Rendy datang memakai mobil? biasanya lelaki itu akan menjemputnya dengan motor kesayangannya.

Tetapi bagaimanapun juga, tidak akan ada maaf untuk lelaki itu. Enak saja datang menjemputnya setelah terlambat dua jam dan membiarkannya kehujanan!

Nayla sudah bersiap untuk menyemprot Rendy dengan kemarahannya, ketika mobil itu berhenti di depannya,  pintu terbuka dan yang keluar bukanlah Rendy melainkan Kak Aldo, kakak Rendy.

"Kak Aldo?" semua kata-kata yang hendak tertumpah dari mulut Nayla terhenti seketika, dia menatap kak Aldo dengan kebingungan, kenapa malahan kak Aldo yang datang kemari? dimana Rendy?

"Nayla." Kak Aldo menatap Nayla dengan tatapan sedih, matanya berkaca-kaca, "Maafkan aku baru menjemputmu, aku... aku baru tahu kalau kau menunggu Rendy di sini."

"Maksud kakak?" Nayla kebingungan, tiba-tiba sebuah firasat menyergapnya, "Dimana Rendy?"

"Rendy mengalami kecelakaan tiga jam lalu Nayla... kami semua menungguinya di rumah sakit, dia sempat sadar sejenak dan kata-kata terakhirnya adalah  "Menjemput Nayla.", aku baru menyadari bahwa sebelum kecelakaan, dia sedang dalam perjalanan menjemputmu."

Kaki Nayla berusaha bergetar, dia mencoba menelaah penjelasan kak Aldo, "Maksud kak Aldo?" Apa maksud kak Aldo dengan 'kata-kata terakhir'? apakah.....tidak! Nayla menggelengkan kepalanya, "Apakah Rendy ada di rumah sakit?"

Aldo menatap Nayla dengan pedih, menyadari bahwa dia akan menghancurkan hati Nayla... kekasih adiknya.

"Rendy sudah meninggal Nayla.... kami sudah mengambil jenazahnya dari rumah sakit, untuk diistirahatkan di rumah sebelum dimakamkan besok." Lelaki itu dengan sigap menahan pundak Nayla yang mulai limbung, hujan deras masih mengguyur tubuh mereka, tetapi mereka berdua bahkan tidak memperhatikannya, "Ayo Nayla." Aldo bergumam lembut sekali lagi ketika Nayla hanya berdiri di sana dengan wajah shock dan pucat pasi, "Kita pulang ke rumah. Aku sudah menghubungi ayah dan ibumu, mereka juga ada di sana, ayo kita mendoakan Rendy sama-sama."

Seketika itu juga, Nayla kehilangan ketegarannya dan air matanya mengalir, jebol bagaikan air bah. Hatinya hancur berkeping-keping dan penyesalan menyeruak ke dalam jiwanya yang perih, Nayla mengingat sms kasar yang barusan dikirimkannya di saat mungkin kekasihnya sedang meregang nyawa....di saat kata-kata terakhir kekasihnya adalah ingin menjemputnya.....

Rendy tidak terlambat menjemputnya malam ini, kekasihnya menepati janji.

Oh Astaga... Rendy... Rendynya... kekasihnya yang baik hati telah tiada untuk selamanya.....

Tubuh Nayla langsung limbung jatuh tak sadarkan diri.

Masih teringat jelas di benak Nayla percakapan mereka tadi pagi....


"Kalau sampai kau terlambat datang, lebih baik kita tidak usah bertemu lagi selamanya!" gumam Nayla dengan tatapan mengancam.

Rendy mengangkat alisnya lagi dengan gerakan khasnya, "Selamanya?"


Ternyata memang selamanya...... 


END




Senin, 22 April 2013

Permohonan Terakhir


Malam mengalun lembut dan kegelapan mulai merasuki mimpi setiap orang. Aku mulai keluar dari persembunyianku dan berjalan dalam keheningan, menjaga langkahku sehalus mungkin hingga seolah melayang. Tatapanku menerawang, mengintip wajah-wajah polos yang tenggelam dalam tidurnya, lelah setelah menikmati cahaya terang. 

Duniaku tentu saja berbeda dengan mereka, duniaku gelap dan pekat, tak ada cahaya. Kadangkala dalam kesepianku aku merindukan masa-masa itu, dimana aku bisa menikmati indahnya surga, yang penuh dengan alunan musik lembut menenangkan hati. Bahkan kadangkala jika aku memejamkan mata dan berusaha, masih bisa kunikmati aroma manis dan harum itu, aroma nirwana, tempat mereka yang beruntung bisa menari dan berbahagia selamanya.

Sekarang.... yang selalu kudengarkan hanyalah jeritan roh yang tercabik-cabik, dan kesakitan jiwa-jiwa yang dihukum.....mereka semua kotor... sekotor aku.

Malam ini tugasku menemui anak perempuan itu. Akhirnya. Hanya satu kata itu yang terucap dalam benakku ketika membaca daftar itu, hari ini jadwalku cuma satu nama. Malam ini aku harus berusaha cepat dan rapi seperti biasanya. Mungkin hal ini tidak sesulit yang kubayangkan.

Aku menelusuri lorong rumah sakit yang dingin dan senyap, dan kemudian aku melihat anak perempuan itu, dia terbaring dengan pucat dan membisu di atas ranjang rumah sakit. Penyakit kanker telah menggerogotinya begitu lama hingga dia menjadi terlalu rapuh untuk hidup. 

Aku berdiri di ambang pintu, sejenak meragu. Tetapi entah karena aku bersuara, atau karena hembusan angin, anak perempuan itu tiba-tiba membuka matanya, dan menoleh, tatapannya terpaku kepadaku, dan tiba-tiba senyuman manis muncul di bibirnya.

Apakah senyuman itu untukku? Aku meragu, Meskipun tiba-tiba kurasakan semangat meluap-luap mengaliri tubuhku, semangat yang telah lama kukira hilang dan meninggalkanku.

"Hai... akhirnya kau datang juga." Sapanya ramah

Aku mengernyit, lalu melangkah masuk tanpa suara, berdiri di tepi ranjangnya,

"Kau tahu aku akan datang?"

Anak perempuan itu menganggukkan kepalanya,

"Aku sudah lama menunggu-nunggumu." lalu dia tercenung dengan sedih, "Aku sudah berusaha kuat begitu lama, demi mama dan papa, tetapi ternyata ragaku tidak sekuat tekadku, ragaku sudah ingin menyerah...." suaranya bergetar, "Mungkin memang sudah saatnya aku menyerah."

"Apakah kau sudah siap menyerah?"

"Tidak pernah ada yang siap bukan?" tatapanya semakin sedih dibalik senyumannya, lalu dia memejamkan matanya, pasrah.

Aku termenung menatapnya. Tertahan. Kubayangkan masa dulu ketika aku menunggunya terlahir ke dunia ini. Betapa bahagianya aku dulu ketika Sang Maha Bijaksana menugaskan aku menjadi malaikat pelindungnya. Aku dengan sayapku yang putih dan lebar ini menjaganya dengan sekuat hati.... Sampai kemudian aku melakukan hal terlarang yang tidak boleh dilakukan oleh seorang malaikat pelindung. Aku jatuh cinta kepada anak perempuan itu.

Konsekuensi harus diterima, sayapku dilepas dan ketampananku dihapuskan, seluruh kesempurnaan ragawiku dicabut, berganti dengan wajah tengkorak, jubah hitam panjang yang kelam, dan sebuah tongkat sabit yang mengerikan. Kekelaman selalu mengikutiku sejak saat itu, menggerogoti hatiku sampai aku merasa sudah tak punya hati.

Dan ternyata hukumanku belum cukup. Aku tersenyum sinis. Apakah ini sebuah ujian bagiku? Kenapa aku ditugaskan mencabut nyawanya, lalu melemparkan rohnya ke dalam dunia gelap yang tak tertahankan? ini tidak adil baginya. Dia tidak berdosa. 

Aku letakkan sabitku, dan benda itu tiba-tiba melebur, berubah menjadi asap dan menghilang. Kutundukkan tubuhku dan kukecup keningnya lembut, matanya masih terpejam dan aku senang seperti itu. Tak sedetikpun aku tega membiarkannya menatap wajah tengkorakku yang mengerikan terlalu dekat.

"Kau akan diselamatkan." bisikku parau. Lalu tanpa melihat reaksinya lagi, aku berbalik arah, melanggar tugasku dan menerima konsekuensi kedua yang sudah pasti akan kuterima. Seorang malaikat pencabut nyawa tidak boleh gagal, karena ketika dia gagal, maka seluruh suratan takdir akan berubah. Hukumannya berat, api akan membakar tubuhku. Neraka selamanya.

"Tak apa, asal Kau selamatkan dia." bisikku sebelum ragaku habis ditelan api. Memohonkan sebuah permohonan terakhir kepada Sang Maha Bijaksana yang aku tahu sedang mengamatiku dari atas.

...Dan kubayangkan betapa bahagianya orang tua anak perempuan itu ketika menemukan bahwa besok pagi, anak perempuan itu sudah sembuh sempurna. Kubuang kesedihanku karena tak sempat melihat anak perempuan itu menemukan cinta sejatinya, menimang buah hatinya yang aku yakin akan secantik dirinya, dan kemudian hidup bahagia selama-lamanya.....

END

Sabtu, 20 April 2013

OPEN PO FOR NEW BOOK

deaar untuk 3 buku terbaru sudah mulai open PO yah :))
dear bisa pesen di onlineshop FB, di Fanpage Santhy Agatha di Facebook, atau pesen langsung via emailku : demondevile@gmail.com 

Sertakan format Po :
Nama : .............
Alamat : .............
No HP : .............
Pesanan : ...........

Ada diskon khusus untuk 30 orang yang PO pertama ^____^V

Waktu PO dibuka tanggal 20 April sd 30 April 10 Hari
Buku akan dinaikkan PO tanggal 1 Mei 2013
Proses buku 10 hari kerja ( hari libur, sabtu dan minggu tidak dihitung karena kantor percetakan libur)




Dating With The Dark
harga resmi nulisbuku : Rp. 60.000
+- 255 halaman








Andrea mempunyai trauma masa lalu, kecelakaan yang dialaminya yang menewaskan ayahnya membuatnya selalu dibayangi oleh ketakutan dan teror. Tetapi dengan bantuan psikiaternya dia berhasil melewati rasa trauma itu dan melanjutkan hidupnya dengan bahagia. Andrea ingin hidup normal, mengalami kisah cinta romantis seperti dalam novel, dan harapan itu mulai nyata dengan hadirnya Eric dalam kehidupannya.
Tetapi ternyata semuanya tidak bisa diraihnya semudah itu.
Lilin-lilin berwarna biru, dengan susunan rapi dan jumlah yang spesifik, sembilan buah. Mengirimkan pesan kepadanya, pesan yang tak mampu dicerna oleh logikanya, tetapi mampu menohok alam bawah sadarnya, mengirimkan teror yang lebih menakutkan daripada apa yang pernah dialami Andrea sebelumnya
Dan kemudian... akankah Andrea mampu memberanikan diri menerima pesan dari sang kegelapan yang ternyata selalu mengintainya?




Crush In Rush
harga resmi nulisbuku : Rp. 45.000
+180 halaman







dua anak manusia yang seharusnya tidak pernah bersinggungan dalam perputaran dunia ini, dipertemukan oleh suratan takdir yan penuh sandiwara dan rencana.
Kiara dan Joshua seharusnya tidak pernah bertemu, mereka ada di dua dunia yang berbeda sebelumnya
Joshua merasa nyaman dengan kesendiriannya dan Kiara sibuk dengan masa lalunya yang kelam.
Tetapi ketika takdir berkehendak, mereka tidak bisa menghindar
dan kemudian, Joshua mengambil kesempatannya bersama Kiara untuk menyusun sebuah sandiwara kejam, demi membalas dendam kepada orang-orang yang pernah menyakitinya





Menghitung Hujan
Harga resmi nulisbuku : 45.000
+- 180 halaman







Bagaimana jika jantungmu berdetak hanya untuk satu perempuan? Bagaimana jika jantungmu tetap setia bahkan ketika raga berganti?
Reno tidak pernah menduga bahwa Nana akan hadir dalam kehidupannya, bahwa dia akan mencintai Nana sedalam itu, bahwa jantungnya akan terus memanggil-manggil nama Nana...
Jadi, apa yang akan Reno lakukan? Melanjutkan masa depan indahnya yang sudah terencana bersama Diandra, ataukah berbalik arah dan mengejar Nana, sosok yang selalu dipuja oleh debaran jantungnya?
Menghitung hujan akan membuatmu berpuisi juga merenungkan makna cinta sejati

PS :untuk PO passionate of love (Arsas,swtd,uh ftds ) dan Colorful of Love juga masih dibuka yah dear
ada diskon khusus juga ^__^ cara POnya sama email aja ke demondevile@gmail.com



Jumat, 19 April 2013

Menghitung Hujan part 10

mendung itu yang mengeruhkan hati, tak cukup gelap
hati masih sendu, dan pertanyaan itu masih kelam
tak bisa dekat dengan sempurna, tetapi bisa dekat dengan hatimu
sesederhana itu mimpiku tentangmu
dan kalaupun itu tidaklah mungkin
akan kutunggu sampai hari berakhir
atau sampai kita lahir lagi di waktu lain, saat mimpi yang tak mungkin, menjadi mungkin


PS : Untuk Dilla, Admin FP di facebook yang saat ini sedang menunggui sang papa yang sedang sakit di rumah sakit, tetap semangat sayang, tabah dan semoga Allah memberikan kesembuhan, kudoakan selalu.


"Tentang Reno dan Diandra?" Nana mengernyitkan keningnya. Siapa itu Diandra? Nana berusaha mengorek-korek ingatannya tetapi dia tetap tidak menemukan ingatannya tentang seseorang bernama Diandra.

Axel menjawab dengan cepat, "Diandra... yang kemarin kita bertemu di depan Cascade."

Nana mengedipkan matanya, "Diandra.. maksudmu Dian?"
Axel langsung sadar kalau Diandra memperkenalkan dirinya sebagai Dian kepada Nana, "Ya, maksudku Dian."

"Kalau begitu, Reno dan Diandra..... apakah maksudmu Reno mengenal Diandra?" Nana mengernyitkan keningnya. Kalau begitu kenapa kemarin Dian dan Reno bersikap tidak saling kenal? bahkan sepanjang ingatan Nana, mereka bukan hanya tidak saling menatap, tetapi juga tidak saling menyapa. Sampai kemudian setelah mereka pergipun, Reno sama sekali tidak mengindikasikan bahwa dia mengenal Diandra.....

Nana mengalihkan pandangannya dan menatap Axel dengan bingung. Lelaki ini tidak dikenalnya, datang menemuinya ingin menjelaskan tentang Reno dan Diandra, dari kesimpulan cepat Nana, mungkinkah lelaki ini adalah kekasih Diandra?

"Ceritanya sedikit kompleks dan panjang, bisa aku minta waktu Nana? mungkin kita bisa duduk di suatu tempat?"

Nana menatap Axel, penampilan lelaki ini tampaknya tidak mencurigakan, tetapi bagaimanapun juga Nana tidak kenal dengan Alex, apalagi penjahat-penjahat sekarang malahan kebanyakan berpenampilan meyakinkan agar tidak dicurigai.'

"Nana?" teguran Axel itu mengagetkan Nana dari lamunan liarnya, membuat pipinya memerah malu ketika menyadari bahwa dia melamun di depan Axel.

Dengan cepat, Nana mengambil keputusan paling aman.

"Kita bisa berbicara sambil duduk di kantin kampus."

*** 

Kantin kampus sebenarnya bukan tempat yang tepat untuk melakukan pembicaraan serius karena suasananya biasanya ramai. Tetapi untunglah, karena menjelang jam pulang kampus, suasana kantin agak sedikit lengang. Hanya ada beberapa mahasiswa yang duduk mengobrol dengan tenang di berbagai sudut. Dan tempat ini merupakan tempat ideal bagi Nana karena tempat umum yang banyak orang merupakan tempat yang paling aman ketika berbicara dengan orang yang baru dikenalnya ini.

Mereka memilih duduk di sebuah sudut yang nyaman, cukup ada privasi untuk bercakap-cakap tapi tetap bisa dilihat dan melihat orang banyak. Pelayan menawarkan menu dan Axel memesan minuman jeruk sementara Nana memesan kopi kesukaannya. Axel mengangkat alis melihat pesanan Nana,

"Kopi siang-siang?" tanyanya penuh arti sambil tersenyum.

Nana membalas senyuman Axel. "Aku belum minum kopi hari ini. Biasanya sehari satu mug."

Axel terkekeh mendengarnya. Dia menatap Nana dan menyadari bahwa perempuan di depannya ini adalah perempuan yang menyenangkan. Seandainya tidak ada konlik  yang melibatkan Diandra yang sangat disayanginya, mungkin mereka bisa berteman. Sekarang Axel didera perasaan bersalah karena harus mengungkapkan kenyataan.... kenyataan yang mungkin akan menyakiti hati Nana.

"Jadi?" Nana memandang Axel karena tampaknya lelaki itu malahan tercenung dan tampak ragu, "Ingin bicara tentang apa?"

Axel tergeragap, lalu menghela napas panjang.

"Sebelumnya aku minta maaf karena membahas kehidupan personal. Tetapi karena ini menyangkut Diandra... dia sepupuku dan aku sangat menyayanginya..."

Jadi Diandra adalah sepupunya. Nana mengerutkan keningnya, sayang sekali, karena ketika mereka berjalan bersama kemarin, mereka tampak sangat serasi.

"Mungkin hal yang kuberitahukan kepadamu ini akan mengejutkanmu. Tetapi aku harus mengatakannya. Ini tentang Reno.... kulihat kau akrab dengannya."

Pipi Nana memerah, dia tidak menjawab, tapi Axel tahu ada tatapan berbinar penuh cinta di sana ketika Axel menyebut nama Reno.

"Apakah kau tahu bahwa Reno pernah punya tunangan sebelumnya?" Axel bertanya hati-hati.

Nana mengerutkan kening, langsung teringat akan telepon aneh dari perempuan yang mengatakan bahwa dirinya adalah ibu Reno dan mengajak bertemu, mengatakan tentang Reno dan tunangannya... perempuan itu tidak muncul pada janji temu mereka, dan Reno mengatakan supaya Nana tidak usah memikirkannya lagi....

"Aku tahu, Reno menceritakan kepadaku bahwa dia sudah putus dengan tunangannya sebelum dia pindah ke Bandung."

Tatapan Axel makin intens, "Apakah kau tahu apa alasan Reno meninggalkan tunangannya?"

"Itu bukan urusanku kan?" Nana mulai merasa tidak nyaman. Apa yang menjadi permasalahan Reno sebelumnya dengan tunangannya bukanlah urusan Nana.... apalagi Nana baru bertemu dengan Reno setelah lelaki itu putus dengan tunangannya - seperti yang dijelaskan Reno kepadanya. Reno tampak enggan mengungkit-ungkit masa lalunya itu, dan Nana merasa tahu diri serta tidak mau bertanya-tanya.

"Mungkin kau merasa bahwa itu bukan urusanmu, tetapi sebenarnya itu terkait erat denganmu Nana, amat sangat terkait."

Apa maksudmu?" Nana semakin bingung, "Reno mengenalku setelah dia pindah ke Bandung, jauh setelah dia putus dengan tunangannya, aku tidak ada hubungannya dengan permasalahan Reno dan tunangannya."

"Ada hubungannya. Reno memutuskan pertunangannya karena dirimu, Nana."

"Karena aku? Tidak mungkin, bagaimana bisa...." Nana mulai membantah.

"Dengarkan aku dulu, biarkan aku menjelaskan..." Axel menyela sebelum Nana sempat berkata lain. Setelah Nana terdiam dan tampaknya mau menjelaskan, Axel memulai, "Tunangan Reno.... atau mungkin mantan tunangan Reno adalah Diandra."

Nana terperanjat, "Apa?"

"Ya..." Axel tersenyum tipis, "Dia sepupuku, aku sangat menyayanginya, bahkan ketika aku tidak setuju akan keputusan yang diambilnya untuk datang ke Bandung dan mengejar Reno."

"Mengejar Reno?" Nana mulai membeo setiap perkataan Axel, semua informasi ini terlalu mendadak dan bertumpuk-tumpuk di benaknya, membuat dadanya sesak.

"Aku mengerti kau bingung, aku akan menjelaskannya dari awal." Axel menghela napas panjang, "Dulu kondisi Reno sangat lemah... sejak kecil dia menderita kelainan katup jantung... hidupnya hampir sebagian besar dihabiskan di rumah sakit...... melalui operasi demi operasi, sampai akhinya dokter mengatakan bahwa tidak ada harapan lagi, Reno harus melakukan operasi cangkok jantung untuk menyelamatkan hidupnya." tatapan Axel tampak sedih, "Diandra adalah teman masa kecil Reno... mereka... mereka saling mencintai. Hanya Diandra tempat Reno menyandarkan diri, dan semenjak dulu Diandra menempatkan dirinya sebagai penopang Reno...dia bahkan tidak peduli bahwa umur Reno dinyatakan tidak akan lama, bahwa seluruh penantian dan pengorbanannya akan sia-sia. dia tetap setia mendampingi Reno, mereka bahkan sudah merencanakan pernikahan....." Mata Axel tampak berkaca-kaca, "Kalau kau melihat mereka berdua saat itu, kau pasti juga akan menitikkan air mata... dua pasangan yang begitu saling mencintai, mencoba untuk berbahagia di waktu mereka yang sempit....."

Dada Nana bergemuruh, ini benar-benar informasi yang sangat mengejutkannya. Reno pernah menjelaskan bahwa dia pernah sakit, tetapi lelaki itu mengatakan bahwa dia tidak mau membahasnya lebih lanjut... Nana tidak pernah menyangka bahwa hubungan Reno dengan tuangannya begitu eratnya. Perempuan bernama Diandra itu... benak Nana melayang, tungan Reno itu sangat cantik, lembut dan feminim.... tetapi kalau memang cinta mereka berdua sedemikian besarnya... kenapa pertunangan mereka putus? Kenapa Reno semudah itu jatuh cinta kepadanya? Dan kondisi Reno saat ini bisa dikatakan sangat sehat bukan? Tidak selemah seperti yang diceritakan oleh Axel....atau apakah...

"Apakah Reno berhasil mendapatkan donor jantung dan berhasil dalam proses operasi cangkok jantungnya?" Nana mengungkapkan kesimpulan paling logis yang bisa diungkapnya, hanya itulah satu-satunya alasan Reno bisa sesehat ini.

"Ya." Axel menganggukkan kepalanya, bibirnya menipis, menatap Nana lekat-lekat, "Dia mendapatkan donor jantung yang sangat pas dengannya, jantung itu menyelamatkan hidupnya.... jantung itu berasal dari kekasihmu, Rangga."

Kalau semua informasi tadi terasa begitu mengejutkannya, informasi Axel yang terakhir ini bagaikan sambaran petir ke seluruh diri Nana, membuat tubuhnya gemetar tiba-tiba. Kenyataan ini terlalu.... terlalu tak tertahankan untuk dibayangkan..

"Apa?" Nana berseru lemah, matanya menyipit, mulai berkaca-kaca.

"Aku tidak tahu bagaimana detailnya, tetapi kekasihmu... Rangga... dia terdaftar sebagai donor jantung, jadi ketika dia meninggal karena kecelakaan itu, dokter mengambil jantungnya... dan Reno menerimanya sebagai donor yang paling cocok untuknya..."

"Aku... aku..." Jemari Nana, seluruh tubuh Nana gemetaran, "Aku harus pergi dari sini." Nana tidak bisa mendengar lagi penjelasan Axel. Membayangkan bahwa Rangga dikuburkan tanpa jantung, bahwa jantung itu sekarang berdetak di dalam dada Reno amat sangat tak tertahankan oleh batinnya, dia tidak kuat membayangkannya, dia harus pergi dan menenangkan diri kalau tidak dia akan pingsan.

Ketika Nana hendak berdiri, Axek meraih tangannya dengan tatapan meminta maaf

"Maafkan aku Nana karena menceritakan ini semua aku tahu ini menyakitkan tapi percayalah aku tidak bermaksud begitu, aku hanya ingin kau tahu semua kenyataan yang ada. Jantung itu membuat Reno berubah, dia mengatakan bahwa jantungnya tidak berdebar untuk Diandra lagi, dia meninggalkan Diandra dengan kejam, lalu pindah ke Bandung untuk mengejar perempuan yang katanya didebarkan oleh jantungnya, untuk mengejarmu....."

Nana menghempaskan tangan Axel dengan sedikit kasar, dia melirik Axel dan bergumam pedih, "Maafkan aku, tapi aku harus pergi."

Setengah berlari Nana meninggalkan kantin kampus itu. Meninggalkan Axel yang masih duduk terpaku di sana, menatap Nana sampai perempuan itu menghilang dari pandangannya.

Lalu Axel menghela napas panjang,

Dia sudah menanam benihnya......sekarang entah bagaimana akan ada yang menuai hasilnya.

*** 

Reno menunggu sampai tiga jam lamanya, tetapi Nana tidak juga muncul di cafe kopi tempat mereka suka duduk bersama, menghitung hujan. Dia sudah beberapa kali mencoba menghubungi ponsel Nana, tetapi ponselnya tidak aktif.

Langit semakin menggelap dan mendung, Reno mulai cemas. Akhirnya setelah menimbang-nimbang, Reno menelepon Nirina, mungkin Nirina tahu kenapa Nana  tidak datang ke pertemuan mereka - yang tidak pernah terjadi sebelumnya.

"Halo?" suara Nirina tampak ceria di seberang sana. Syukurlah. Reno tersenyum, sepertinya Nana tidak apa-apa.

"Nirina? Kau tahu dimana Nana?"

Hening. Nirina tampak tercenung di seberang sana. "Lho.. bukannya Nana sedang bersamamu Reno? Tadi di kampus Nana bilang ingin segera ke cafe tempat kalian berjanji bertemu."

Jantung Reno langsung berdebar. "Nirina... Nana tidak datang ke tempat pertemuan. Aku sudah tiga jam menunggu di sini."

"Apa?" Nirina tampak benar-benar kaget, dia lalu tampak teringat sesuatu, "Oh ya, aku ingat.... sebelum aku pulang tadi, sebelum aku berpisah dengan Nana di kampus, ada seorang lelaki yang mencari-cari Nana... lelaki itu sempat memperkenalkan diri kepadaku yang baru keluar dari ruang kuliah dan mengatakan dia ingin menemui Nana... Nana lalu menemuinya di lobby kampus."

"Seorang lelaki? Apakah kau tahu ciri-cirinya, apakah kau pernah melihatnya? Apakah dia menyebutkan namanya?" Reno mulai panik.

Nirinya menghela napas panjang, "Aku tidak pernah melihatnya sebelumnya... tetapi dia menyebutkan namanya kepadaku... kalau tidak salah namanya Axel..."

Axel! Sepupu Diandra! Oh Ya Tuhan! Apa maksud Axel menemui Nana? Apakah lelaki itu disuruh Diandra menceritakan semuanya kepada Nana? Oh ya Ampun... Nana! Apa yang dirasakan Nana ketika menerima kenyataan ini?

Reno mengernyitkan keningnya, mulai merasakan sakit menyerang kepalanya, "Terimakasih Nirina, kurasa aku mengenal pria bernama Axel itu."

"Kau mengenalnya? Jadi sekarang dimana Nana?"

"Aku tidak tahu." Reno mendesah, "Tetapi Axel priba baik-baik, yang pasti Nana menghilang bukan karena Axel, atau mungkin  Nana sudah pulang ke rumah?" Reno berpikir kalau Axel benar-benar mengungkapkan semuanya pada Nana, sudah pasti Nana tidak akan mau menemuinya dulu. Mungkin Nana langsung pulang ke rumah untuk menenangkan pikirannya?

"Nana belum pulang ke rumah...." Nirina mengernyitkan keningnya, "Aku... sebelum kau menelepon aku menelepon rumah Nana, karena kalau dia sudah pulang, aku akan main ke sana, rencananya aku menginap di rumah Nana malam ini... tetapi kata mamanya, Nana belum pulang...." Nirina terengah, "Aku akan ke rumah Nana sekarang, menunggu di sana kalau-kalau Nana pulang, aku akan mengabarimu."

"Terimakasih Nirina..." Reno memejamkan matanya. Kalau begitu kau dimana Nana?

"Reno?" Nirina rupanya menangkap nada panik di dalam suara Reno, "Apakah semua baik-baik saja? Ada apa?"

Reno meringis, "Ceritanya sangat panjang dan kompleks, aku akan menceritakannya kepadamu nanti. Sementara ini aku akan mencari Axel dan juga mencari Nana."

"Oke. Kabari aku terus ya."

Setelah Nirina menutup telepon. Reno langsung membayar pesanan kopinya dan melesat pergi.

***

Diandra sedang duduk dan membaca buku-bukunya di sofa rumah neneknya yang damai dan tenang itu, langit yang gelap sudah terpecahkan, menjadi titik-titik hujan yang berhamburan menimbulkan suara gemericik dan aroma hujan yang khas.

Suasana ini sangat pas dengan suasana hatinya yang sedang pilu, senada juga dengan kisah novel yang dibacanya, Jane Eyre - meski dalam hatinya berniat tidak akan membaca buku itu, karena buku itu sangat direkomendasikan oleh Nana, perempuan yang merupakan duri dalam kisah cintanya, tetapi Diandra tidak bisa menahan diri, dia membaca dan tidak bisa berhenti, sampai sekarang dia tiba di bagian dimana tokoh utama dalam kisahnya gagal dari sebuah upacara pernikahan yang sudah di depan mata, yang hanya tinggal mengucapkan janji pernikahan, dan dihancurkan oleh kenyataan yang tidak disangka...

Jadi itulah sebuah rahasia yang merupakan jawaban dari semua misteri yang tersirat dari awal novel. Inilah kejutan yang diceritakan Nana untuk diantisipasinya. Diandra meletakkan novel itu di pangkuannya dan tersenyum tipis, mendadak merasa kagum pada novel dalam pegangan tangannya. Ini adalah novel buatan abad ke delapan belas, tetapi kisahnya benar-benar luar biasa....

Tiba-tiba ponselnya berbunyi, Diandra melirik dan mengernyit, ada nama Reno berkedip-kedip di sana lengkap dengan foto mereka berdua saling berpelukan menghadap kamera dalam tawa yang sepertinya akan tersimpan selamanya. Diandra mendesah, dia bahkan belum mampu mengganti foto profil Reno di phonebook ponselnya, tetap berpura-pura bahwa mereka akan selalu baik-baik saja. Tetap tersenyum seperti yang ditampilkan dalam foto itu..

Sejenak Diandra ragu, telepon Reno yang kemarin sungguh sangat tidak menyenangkan, membuatnya menangis semalaman dan begitu murung setelahnya. sekarang kenapa Reno meneleponnya lagi? Apakah lelaki itu akan menyakitinya lagi?

Ponsel itu berkedip-kedip tanpa menyerah meskipun Diandra mengabaikannya, akhirnya dia menguatkan hati dan mengangkatnya,

"Reno?"

"Kenapa kau lakukan itu Diandra?"

Diandra mengerutkan keningnya, "Apa maksudmu Reno?"

"Jangan pura-pura. Kau menyuruh Axel menemui Nana hari ini kan? Apa maksudmu? Apakah kau menyuruh Axel menceritakan semuanya kepada Nana? Setega itukah kau kepada Nana, Diandra? Selama ini aku menjaganya supaya dia tidak tahu apa-apa, dan kau dengan rencanamu yang keji itu menghancurkan semuanya!"

Diandra terperangah mendengar rentetan tuduhan Reno itu, "Aku tidak menyuruh Axel melakukan apapun!" Diandra setengah berteriak menyela Reno, karena tampaknya lelaki itu masih akan melanjutkan semua tuduhannya.

Reno terdiam, lalu menghela napas dengan keras. "Kalau begitu sepupumu sudah bertindak di luar batas, mencampuri urusan kita." Suara Reno berubah dingin, "Sekarang Nana menghilang, tidak mau menemuiku. Dan kalau sampai terjadi sesuatu pada Nana.... aku akan mengucapkan selamat kepadamu Diandra, impianmu akan tercapai, kau ingin aku mati saja bukan daripada hidup dengan jantung yang tidak bisa mencintaimu? Maka kau akan mendapatkan keinginanmu. Kalau sampai terjadi sesuatu kepada Nana akibat tindakan ceroboh sepupumu... aku akan mati sesuai keinginanmu!"

Lalu telepon ditutup dengan kasar. Meninggalkan Diandra terperangah tak bisa berkata-kata.

***
Begitu Axel datang, Diandra langsung menyemburnya dengan kemarahan,

"Apa yang kau lakukan Axel?"

Axel menatap Diandra yang penuh airmata, perempuan itu menangis habis-habisan, membuatnya mengernyit, "Apa Diandra?"

"Nana! Kau menemui Nana  bukan? Kau menceritakan semua kepadanya? Sekarang Nana menghilang dan Reno melemparkan semua kebenciannya kepadaku!!" Apa maksudmu Axel? Kenapa kau lakukan itu? Aku tidak mau dibenci oleh Reno! Aku tidak mau!"

"Aku memang melakukannya Diandra, tetapi semua itu kulakukan demi dirimu, Nana juga harus tahu kenyataan yang ada. Selama ini dia buta karena Reno menyembunyikan semuanya darinya."

"Tetapi aku tidak mau kau melakukan itu! Itu tidak akan membuat Reno kembali kepadaku! Dia akan semakin membenciku!" Diandra berteriak histeris menghambur ke arah Axel dan mulai memukulinya.

Axel menangkis pukulan-pukulan feminim Diandra dengan tenang, "Aku memang tidak bermaksud membuat Reno kembali kepadamu."

Tiba-tiba Axel mencengkeram pergelangan tangan Diandra, menarik perempuan itu mendekat, dan mencium bibirnya.

Kejadiannya begitu mengejutkan hingga Diandra yang masih berlinangan air mata dan berseru histeris hanya bisa membelalakkan matanya kaget ketika dicium oleh Axel.

*** 
Bersambung ke part 11

Selasa, 16 April 2013

Crush In Rush Part 1



PS : Untuk yang sedang berulang tahun dan merequest kisah ini, Happy Birthday dear! ^__^




Kiara terlambat datang bekerja!

Dengan napas terengah Kiara setengah berlari menuruni bus kota itu sambil menyumpah-nyumpah mengutuki dirinya sendiri. Kalau saja tubuhnya tidak terasa begitu lelah, Kiara pasti tidak akan memutuskan tidur lagi siang tadi. Dia berpikir hanya tidur satu jam saja karena rasa mengantuk menderanya begitu kuat. Tetapi bodohnya dia lupa menyalakan alarm.

Ketika terbangun, matahari sudah menyembunyikan diri di balik cakrawala, membiarkan bulan menggantikan tugasnya. Kiara terlambat bekerja hampir satu jam.

Sambil mengerutkan keningnya cemas, Kiara membayangkan bagaimana marahnya sang manager cafe kepadanya. Manager cafe itu tidak pernah menyukainya, entah kenapa. Mungkin karena Kiara bertubuh kecil dan dianggapnya lemah, sama sejali tidakj bisa membantu jika ada pekerjaan berat. Selama ini dia selalu mencari-cari kesalahan Kiara, mencoba membuktikan bahwa seorang perempuan tidak cocok bekerja shift malam di sebuah cafe.


Napasnya makin terengah karena berlari makin kencang, jarak dari halte bus ke cafe memang biasanya dia tempuh sambil berjalan kaki ketika waktunya panjang, tetapi sekarang dia harus sesegera mungkin tiba di cafe itu.

Setengah melompat Kiara terburu-buru menyeberangi jalan itu, tempat cafe itu terletak diseberangnya, sampai suara rem yang berdecit kencang dekat sekali dengannya membuatnya memejamkan mata, kaget dan panik.

Aku akan mati....

Desahnya di detik-detik terakhir, tetapi ketika dia tetap memejamkan matanya, tidak terjadi apapapun. Tidak ada rasa sakit di badannya, dan bahkan dia tidak terguling jatuh tertabrak entah apapun itu. Dengan hati-hati, Kiara membuka matanya,

Kumpulan orang berkerumun melihatnya. Kiara mengernyit, orang-orang memang selalu tertarik dengan kecelakaan, dan berkerumun. Dia menatap ke samping tubuhnya dan menemukan sebuah mobil warna hitam, dekat sekali dengan tubuhnya, tampaknya mobil itu di rem tepat pada waktunya sehingga tidak menyentuhnya meskipun hanya berjarak beberapa centi dari tubuhnya.

Pintu mobil terbuka, dan seorang lelaki tampan bertubuh tinggi dengan kacamata hitam turun dari balik kemudi. Lelaki itu cemberut, dan ketika dia membuka kacamatanya, Kiara menyadari bahwa lelaki itu adalah lelaki yang sama yang membantunya semalam, salah satu pelanggan tetap cafe tempatnya bekerja.

"Dimana otakmu sehingga menyeberang terburu-buru seperti itu dan melupakan keselamatan dirimu?" Dahinya mengernyit, "Oh jangan lupa, keselamatan diriku juga, aku bisa saja membanting stir dan menabrak trotoar tadi kalau aku tidak bisa mengerem tepat pada waktunya."

Pipi Kiara memerah, malu dan gugup dimarahi di depan banyak orang begitu, meskipun banyak orang-orang yang berkerumun memutuskan pergi ketika menyadari bahwa Kiara baik-baik saja.

"Maafkan saya." Kiara bergumam lemah, sedikit gemetar tak tahan dengan tatapan tajam lelaki itu.

"Kau terluka?" tanya lelaki itu cepat, matanya menelusuri seluruh tubuh mungil Kiara.

Kiara menggelengkan kepalanya, "Tidak. Saya tidak apa-apa."

"Baguslah." Lelaki itu mendengus kesal, "Lain kali hati-hati!" dengan ucapan penutup yang sinis itu, lelaki itu membalikkan tubuhnya dan memasuki mobilnya kembali, lalu melajukan mobilnya meninggalkan Kiara yang mundur kembali ke trotoar sambil menatap mobil hitam itu melaju meninggalkannya hingga tertelan keramaian jalan raya.

Kiara menyeberang lagi, kali ini memutuskan untuk berhati-hati supaya kejadian mengerikan dan memalukan tadi tidak terulang kepadanya, lagipula dia sudah benar-benar terlambat sekarang. Kiara berdecak, manager cafenya akan berpesta pora dengan kesalahannya ini.

*** 

Ketika Kiara memasuki pintu belakang cafe itu, dia langsung berhadapan dengan Irvan, salah satu pelayan pria di cafe, lelaki itu mengangkat alisnya ketika melihat Kiara datang,

"Kami kira kau tidak datang hari ini." gumamnya dalam senyuman, Irvan memang termasuk salah satu pelayan cafe yang baik kepadanya, sementara pelayan yang lain bersikap datar dan tak peduli, "Pak manager sudah mengomel-ngomel dari tadi."

Kiara melongok ke balik punggung Irvan, mencari-cari sosok pak Sony, Manager cafe yang galak itu. Irvan tergelak melihat tingkah Kiara,

"Dia tidak ada, dia sedang di depan. Cepat ganti pakaianmu dan bekerja, berharap saja dia sudah lupa akan kemarahannya." Lelaki itu menepuk punggung mungil Kiara, memberi semangat, lalu melangkah pergi.

Kiara segera merangkapi kemejanya dengan baju pelayan, mengikat rambutnya dan kemudian melangkah dengan hati-hati ke depan. Dia sedikit mengintip dan berdebar ketika mendapati Pak Sony sedang berdiri di dekat meja kasir, sambil menghela napas panjang Kiara melangkah keluar.

Ya sudahlah... apa yang terjadi, terjadilah...

Baru beberapa langkah saja, rupanya mata pak Sony yang awas sudah langsung menangkapnya. Lelaki itu mengangkat alisnya dengan galak dan menghampiri Kiara,

"Kau pikir jam berapa ini? Kenapa kau baru menampakkan batang hidungmu heh?"

Kiara hampir saja terlompat mendengar bentakan pak Sony di belakangnya, dia membalikkan tubuhnya dengan hati-hati dan menatap takut-takut,

"Maafkan pak... saya... saya kesiangan." Kiara sendiri merasa tak enak ketika mengucapkan alasan yang paling tidak bertanggung jawab itu.

Sementara seperti yang sudah diduganya, pak Sony malahan semakin marah mendengar alasannya,

"Kau pikir perusahaan ini milik ayahmu sehingga kau bisa seenaknya datang terlambat dengan alasan kesiangan? Aku sebenarnya sudah tidak suka dengan kehadiranmu di bagian pelayan cafe ini, kau harusnya tetap berada di bagian belakang menjadi pencuci piring!"

Dan kemudian, Pak Sony memberinya hukuman mencuci piring sendirian, seluruhnya tanpa bantuan dari siapapun.

*** 

Setelah selesai mencuci entah ratusan piring dan panci, wajan serta peralatan masak lain yang berukuran besar dan lengket, Kiara menyandarkan tubuhnya di dinding belakangnya dan menghela napas panjang.

Entah berapa jam dia berkutat dengan kegiatan itu, ditatapnya kedua telapak tangannya dan mengernyit, kulit telapak tangannya sudah keriput karena terus-terusan terkena air dan di beberapa sisi mulai terasa pedih akibat kontak terlalu intens dengan sabun cuci.

Kiara menghela napas panjang, berusaha menyemangati dirinya sendiri dan menegakkan tubuhnya. Pekerjaannya masih banyak, dan dia harus semangat. Dia membutuhkan pekerjaan ini untuk hidupnya, Yang harus dia lakukan adalah bekerja lebih giat sambil berusaha mencari jalan untuk menemukan kesempatan yang lebih baik.

*** 
Ketika melihat tulisan di layar ponselnya, Joshua mengernyitkan keningnya. Itu telepon internasional, dari nomor yang sangat dikenalnya, pengacara ayahnya di London.

Joshua mendengus kesal, pengacara ayahnya sudah berkali-kali meneleponnya, membujuknya supaya mau berkunjung ke London, mengunjungi ayahnya yang katanya kondisi kesehatannya semakin memburuk.

Joshua sama sekali tidak tertarik menemui ayahnya, lelaki itu dulu membuangnya dan ibunya hanya karena mereka dianggap tidak sederajat dengan darah biru yang mengaliri tubuh ayahnya, apalagi mengingat ibunya seorang asia yang hanyalah seorang murid pertukaran beasiswa di kampus anaknya.

Kesalahan masa muda. .Begitu dulu komentar kakeknya..... Joshua tidak mau menyebut lelaki itu sebagai kakeknya, dia hanyalah lelaki tua aristrokat yang sombong dan tidak punya hati. Lelaki tua itu, begitu mengetahui 'kelalaian' ayahnya yang menghamili gadis asia yang dianggapnya tidak sederajat, langsung mengirimkan ayahnya bersekolah ke Amerika, dan kemudian memberi uang kepada ibunya dan mengatur kepulangan ibunya dengan paksa ke Indonesia. Ironisnya, ibunya hanyalah seorang wanita muda yang  tidak punya siapa-siapa di London yang bisa membantunya melawan ketidakadilan itu, hingga pada akhirnya dengan pasrah, membawa bayi dalam kandungannya pulang ke Indonesia.

Pada masa itu, di tempat tinggalnya, hamil sebelum menikah merupakan aib tersendiri. Orangtua ibunya marah besar ketika ibunya pulang ke Indonesia dalam keadaaan hamil, dikeluarkan dari beasiswanya karena pengaruh kalangan atas di London, dan mempermalukan keluarga. 

Beruntunglah seorang lelaki, sahabat ibunya di masa lalu yang sangat menyayangi ibunya memutuskan untuk bertanggung jawab kepada ibunya. Lelaki itu kemudian menikahi ibunya, menyelamatkannya dari aib keluarga dan dengan tegar tetap menopang ibunya ketika banyak pandangan mencemooh ketika ibunya melahirkan Joshua, anak lelaki dengan rambut cokelat keemasan dan mata berwarna biru.

Joshua lebih mengakui Nathan sebagai ayahnya, lelaki itu menyokong kehidupan ibunya, memperlakukan Joshua seperti anaknya sendiri, membiayai sekolahnya hingga menjadi arsitek yang sukses seperti sekarang. Sayangnya, sepertinya Tuhan terbiasa mengambil orang-orang berhati baik lebih cepat supaya bisa segera berada di sisinya. Lima tahun lalu, Nathan dan ibunya meninggal dalam sebuah kecelakaan, meninggalkan Joshua benar-benar sendirian di dunia ini.

Ya. Dia sendirian. Ayah kandungnya di London tidak masuk hitungan. Dua tahun yang lalu, nama Joshua sebagai arsitek jenius dimuat dalam sebuah artikel bisnis di London, kabar tentang dirinya sampai ke telinga ayah kandungnya yang saat ini sudah memegang kerajaan bisnis besar mewarisi kakeknya yang sudah meninggal, ternyata menyadari bahwa dia berhubungan dengan Joshua, sepertinya lelaki itu menyewa detektif swasta karena beberapa lama kemudian, pengacaranya menelepon Joshua, mengatakan bahwa ayah Joshua mengharapkan kedatangannya ke London,

Joshua meradang. Punya hak apa lelaki itu sehingga tiba-tiba memasuki kehidupannya dan memaksa Joshua menerimanya? Joshua sudah tentu tidak butuh ayahnya, dia lelaki yang sukses dengan kemampuannya sendiri, dan sama sekali tidak membutuhkan apapun dari ayahnya yang tidak bertanggungjawab kepadanya dan ibunya di masa lampau.

Tetapi ponselnya berdering terus. Pengacara ayahnya di seberang sana rupanya tidak mau menyerah, dia pasti menyadari keengganan Joshua, karena itulah dia terus menerus memaksa. Dengan jengkel Joshua mengangkat telephone itu.

"Ayah anda sekarat." Itulah kalimat pertama yang diucapkan oleh pengacara ayahnya dalam bahasa inggris berlogat kental  ketika mendengar Joshua mengucapkan "halo".

Josua mengeluarkan suara decakan tidak peduli bergumam dengan bahasa ayahnya, "Memang sudah saatnya."

Hening. Pengacara ayahnya di seberang sana mungkin sedang menggeleng-gelengkan kepalanya melihat betapa kejamnya Joshua kepada ayahnya. Dia lalu bergumam lagi tampaknya berusaha menyabarkan diri,

"Beliau tidak punya anak laki-laki, sementara itu warisan gelarnya harus diserahkan kepada anak laki-lakinya, kalau tidak warisan itu akan diambil oleh sepupu jauhnya. Ayah anda bersikeras untuk memberikan warisan gelar dan seluruh hartanya kepada anda."

"Aku tidak butuh gelar dan harta."

"Saya tahu itu." suara pengacara ayahnya melemah, "Yang perlu anda tahu, isteri ayah anda yang sekarang mempunyai dua orang anak perempuan yang dibawanya dari pernikahan sebelumnya, jadi anak itu selain perempuan, juga bukan merupakan darah daging ayah anda. Dan kalau anda mau tahu pendapat saya, lebih baik harta itu jatuh ke tangan anda daripada jatuh ke tangan nenek sihir itu. Dia akan menguras habis seluruh harta ayah anda begitu ada kesempatan, dan saya mohon kepada anda karena hanya andalah satu-satunya yang bisa menjaga warisan ayah anda."

*** 

Joshua memandang berkas-berkas yang pernah dikirimkan oleh pengacara ayahnya kepadanya. Berkas itu berisi inventarisir mengenai seluruh harta yang dimiliki ayahnya, mencakup saham mayoritasnya di perusahaan miliknya juga beberapa properti seperti rumah dan tanah. 

Joshua bisa saja mengabaikan itu semua dan menjalani hidupnya dengan tenang. Toh dia tidak ada hubungannya dengan semua orang itu. Kalau memang harta ayahnya akan jatuh ke tangan isterinya yang tamak, itu mungkin itu memang balasan yang setimpal untuk ayahnya.

Tetapi godaan untuk membalas dendam terasa begitu kuatnya. Ayahnya sekarang memohon agar dia mau menerima gelar dan warisannya, gelar yang dulu membuat dia dan ibunya ditendang dari kehidupan ayahnya. Ada kepuasan tersendiri ketika membiarkan lelaki tua itu memohon-mohon kepadanya.

Joshua tiba-tiba tersenyum sinis. Otaknya berputar mencari cara, menemukan jalan membalas dendam yang paling menyakitkan untuk ayahnya dan keluarga angkatnya di London.

***
Lelaki itu datang lagi. Kiara mengintip dari balik tirai yang membatasi areal dapur dengan bagian luar cafe. Lelaki itu tampak sangat misterius, selalu datang pada waktu dini hari, kadang hanya merokok dan menikmati secangkir kopi, kadang dia tampak sibuk berkutat dengan laptopnya, dan kemudian baru beranjak ketika pagi menjelang.

Apakah lelaki itu tidak pernah tidur?

"Mengintip apa?" tiba-tiba Irvan muncul di belakangnya, ikut melirik dari balik tirai dan membuat Kiara kaget setengah mati, dia hampir terlompat dan kemudian menatap Irvan dengan jengkel.

"Bisa tidak jangan muncul tiba-tiba di belakangku?" gumam Kiara setengah marah setengah tersenyum. Karena Irvan yang paling baik kepadanya di cafe ini, mereka cukup akrab untuk saling mengejek ataupun bercanda.

Irvan terkekeh dan mengedipkan matanya, menatap ke arah lelaki penyendiri itu,

"Kau mengintip lelaki itu ya?" bisiknya menggoda, "Karena dia sangat tampan?"

Kiara menggelengkan kepalanya kuat-kuat, "Aku hanya penasaran kenapa dia selalu duduk di situ sepanjang malam hingga pagi, apakah dia tidak tidur?"

Irfan mencibirkan bibirnya, "Kalau tida tidak tampan pasti kau juga tidak tertarik."

Pipi Kiara langsung merah padam, tidak bisa berkata-kata. Tidak bisa dipungkiri lelaki itu memang sangat tampan.....  tetapi ada sesuatu dalam dirinya yang tidak bisa dijelaskan, sesuatu yang tersimpan dalam dan kelam. Dan Kiara memahaminya, batinnya bertanya-tanya, apakah lelaki itu memiliki masa lalu yang tidak menyenangkan seperti dirinya?

"Jangan hanya berdiri di situ! Bersihkan meja-meja kotor itu!" 

Suara Pak Sony yang galak mengagetkan Kiara dan Irvan, mereka bergegas menuju area cafe dan melaksanakan tugas, menghindar dari semprotan lelaki pemarah itu.

Dengan ragu, Kiara membersihkan meja kotor yang terletak di sudut, dekat dengan lelaki itu. Lelaki itu mengalihkan tatapannya dari laptopnya dan ada sinar di matanya ketika menatap Kiara.

"Kenapa perempuan sepertimu bekerja di shift malam seperti ini?" gumam Joshua dengan suara datar, menatap Kiara dengan seksama dari ujung kaki ke ujung rambutnya. Mereka berada cukup dekat karena meja yang dibersihkan ioleh Kiara ada di dekat meja tempat Joshua duduk, karena itu Joshua bisa bergumam pelan dan bisa didengar oleh Kiara.

Kiara merasa tidak nyaman dengan tatapan yang menelanjangi itu, dan dia tidak menduga lelaki itu akan menyapanya,  dia memalingkan mukanya, 

"Karena memang hanya pekerjaan ini yang bisa saya lakukan."

Joshua kali ini benar-benar mengalihkan perhatiannya seluruhnya kepada Kiara, "Masih banyak pekerjaan lain yang bisa dilakukan perempuan sepertimu."

Apakah lelaki ini adalah jenis lelaki mesum yang menawarkan pekerjaan mesum kepada perempuan lugu seperti dirinya?

Kiara memandang Joshua dengan was-was, "Hanya pekerjaan ini yang mau menerima saya. Saya memang lulusan sebuah SMU di desa, Ketika pergi saya membawa ijazah SMU dan harapan untuk hidup yang lebih baik, tetapi rupanya banyak yang tidak menghargainya di kota ini karena banyak saingan dengan pendidikan lebih tinggi tetapi mau digaji sama.."

"Pergi dari mana?" lelaki itu bertopang dagu, tampak tertarik, mungkin baginya Kiara adalah selingan menarik di sela-sela kegiatan bersantainya.

Kiara mendongakkan dagunya, "Dari panti asuhan." dia melirik tidak nyaman kepada Joshua, karena sungguh tidak lazim seorang pelanggan bercakap-cakap dengan pelayan cafe seperti ini, bahkan pak Sony tampak menatap mereka tanpa malu-malu. "Saya harus pergi."

"Tunggu." Joshua meraih tangan Kiara, dan menggenggamkan sesuatu di tangannya, "Jangan kembalikan, karena aku cukup kaya dan aku tidak butuh ini."

Kiara segera melepaskan diri dari cekalan tangan Joshua dan melangkah memasuki area belakang dapur, karena pak Sony menatapnya dengan tatapan mencemooh yang tajam, mungkin lelaki itu mengiranya sedang merayu pelanggan.

Ketika sampai di area belakang dapur yang sepi, dekat tempat cuci piring, Kiara membuka kepalan tangannya dan menatap sesuatu yang dijejalkan lelaki itu dalam genggaman tangannya.

Selembar uang merah seratus ribuan....

Kiara bergegas melangkah ke depan untuk mengembalikan uang itu. Lalu dia tertegun.

Kursi tempat lelaki itu biasa duduk sudah kosong. Lelaki itu sudah tidak ada....


Bersambung ke Part 2