Jumat, 31 Mei 2013

Embrace The Chord Part 4



Rachel membelalakkan matanya, tangannya yang sedang menyuap sarapannya terhenti begitu saja di udara, dia terperangah,

"Apa?"

"Itu Jason..." Mamanya masih memasang ekspresi takjub yang sama, "Dia menelepon sendiri tadi dan..." lalu mamanya seolah tersadar, "Cepat Rachel, selesaikan sarapanmu, kita berangkat sekarang."

Lalu tanpa menunggunya, mamanya bangkit dari kursi, merapikan riasannya, meraih tas dan kunci mobil. Setelah sampai di pintu, mamanya menoleh dan mengernyit melihat Rachel yang masih bengong melihat tingkah sang mama.

"Kenapa kau masih di situ Rachel? Ayo cepat kita berangkat."


Rachel hanya mengangkat bahu, meletakkan makanannya dan meneguk susu cokelat di depannya. Matanya melirik sayang kepada sarapannya itu... yah padahal masih banyak... gumamnya dalam hati, mengutuk Jason yang menelepon pagi-pagi.

Tetapi baru kali ini mamanya bersikap terburu-buru dan panik seperti itu. Sepertinya terpilihnya Rachel menjadi murid khusus Jason benar-benar berarti baginya. Tiba-tiba saja Rachel teringat akan papanya, papanya adalah pemain biola..... mungkin jauh di dalam hatinya, sang mama ingin agar Rachel mengikuti jejak ayahnya.

*** 

Mereka sampai di halaman parkiran akademi musik itu, setelah sang mama memarkir mobil di area khusus pengajar, dia berjalan bersama Rachel melalui koridor, menuju ruangan direktur tempat janji temu mereka.

"Ini kesempatan besar, Rachel, dan mama tidak mau kau menyia-nyiakannya. Jason tidak pernah mengambil murid khusus sebelumnya, jadi kau adalah pertama dan yang terbaik."

Rachel cuma mangut-mangut, meskipun dalam benaknya dia kebingungan. Kenapa Jason memilihnya? Sekarang hal itu baru terpikir olehnya... bukankah di audisi kemarin banyak sekali anak-anak dengan teknik dan kemampuan yang lebih tinggi darinya? Apa yang istimewa dari Rachel yang hanya memiliki kemampuan musik standar?

Dan juga, Calvin pasti akan terkejut dengan berita ini..... ah Calvin! Tiba-tiba saja Rachel merasa bersalah.... harusnya Calvin yang mendapatkan kesempatan ini. Kemampuan teknik bermain biola Calvin tentu saja ada di atas Rachel, dan juga hasrat Calvin bermain biola lebih besar darinya, juga kekaguman Calvin terhadap Jason.

Rachel menggelengkan kepalanya, dia tidak bisa melakukan ini kepada Calvin. Lelaki itu begitu baik hati, dan begitu mendengar kabar ini dia pasti akan menyalami Rachel dan mengucapkan selamat. tetapi Rachel tahu Calvin pasti menyimpan kekecewaan yang disembunyikan.

"Aku tidak bisa menerimanya, mama." Rachel bergumam keras, berusaha menarik perhatian mamanya yang berjalan terburu-buru di depannya.

Langkah mamanya terhenti, perempuan itu menoleh dan menatap Rachel terkejut, 

"Apa?? Apa maksud perkataanmu itu?"

Rachel menggelengkan kepalanya sekali lagi, "Entah apa pertimbangan Jason memintaku menjadi murid khususnya, tetapi aku tidak bisa menerimanya mama, karena ini tidak adil terhadap mereka yang mempunyai hasrat bermain biola yang lebih murni dariku... aku...aku..."

"Kau memikirkan Calvin?" sang mama mengangkat alisnya, "Dia pasti akan mengerti, dia pemuda yang baik dan berjiwa besar, jadi dia akan mendukungmu dan ikut senang denganmu. Jangan sampai itu menghalangimu untuk maju, Rachel." mamanya menggandeng Rachel lalu mengajaknya berjalan lebih cepat menuju ruangan itu.

Mereka sampai di depan pintu ruang temu, dan mama Rachel mengetuknya,. dalam sekejap pintu terbuka dan Mr. Isaac yang membukakan pintu.

"Silahkan masuk." Lelaki itu membuka pintunya lebar, mempersilahkan Mama Rachel dan Rachel masuk.

Di sana, duduk di atas sofa dengan wajah dinginnya yang begitu sempurna, ada Jason yang menatap mereka semua dengan tatapan mata datar. Lelaki itu sedikit mengangguk sopan kepada mama Rachel yang duduk di depannya.

Mr. Isaac menyusul duduk di seberang sofa, menatap semuanya,

"Saya rasa kita sudah tahu tujuan pertemuan ini. Jason menawarkan Rachel menjadi murid pribadinya. Dan saya rasa kita sepakat dengan itu bukan?"

Rachel mengerutkan kening, menatap Jason yang hanya terdiam dengan wajah datar, kenapa lelaki itu tidak bicara? kenapa dia mewakilkan pembicaraan kepada Mr. Isaac?

"Tentu saja kita sepakat. Saya sungguh merasa terhormat, anak saya yang terpilih menjadi murid khusus." gumam Mama Rachel cepat.

Mr. Isaac mengangguk, "Kami melihat bahwa permainan biolanya istimewa, bukan begitu Rachel? Mulai sekarang kau akan berada di bawah bimbingan Jason."

"Tidak." Tiba-tiba saja Rachel mempunyai keberanian untuk berbicara, dan kalimatnya itu membuat semua orang yang ada di ruangan itu tertegun.

Jason yang pertama kali bergumam pada akhirnya, matanya menatap tajam ke arah Rachel,

"Apa?" desis lelaki itu setengah marah setengah tak percaya.

"Maafkan saya." Rachel berdiri, membungkukkan badannya setengah meminta maaf kepada semua yang ada di ruangan itu, "Itu benar-benar kehormatan yang luar biasa untuk saya, tetapi saya tidak bisa menerimanya, karena itu terasa tidak benar, masih banyak siswa lain yang lebih berhak daripada saya. Sekali lagi terimakasih, tetapi saya tidak bisa menerimanya. Permisi." Rachel membungkukkan badannya sekali lagi lalu berbalik dan melangkah pergi.

"Rachel!" mamanya memanggilnya gusar, "Mama sudah bilang jangan lakukan ini demi Calvin!" sang mama berdiri hendak mengejar Rachel, tetapi Jason sudah berdiri duluan, menoleh dingin ke arah mama Rachel.

"Biarkan saya yang berbicara kepadanya." gumam Jason cepat, lalu melangkah keluar mengejar Rachel.

*** 

Rachel berjalan melalui koridor itu, hendak menuju area parkir. 

Mamanya pasti akan marah besar kepadanya. Mungkin nanti dia akan diomeli habis-habisan di rumah, dan mungkin mamanya akan terus-menerus jengkel kepadanya selama beberapa lama karena menyia-nyiakan kesempatan ini, tetapi bagaimanapun juga Rachel merasa bahwa ini adalah hal yang benar. Demi Calvin... dia tidak akan melangkahi ataupun mengkhianati Calvin.

"Apakah kau pikir ini sepadan?" suara Jason yang tenang membuat Rachel terperanjat dan hampir menjerit. 

Entah kapan, Jason ternyata sudah melangkah di sebelahnya, Rachel mungkin terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri hingga tidak menyadari Jason mendekat.

"Maksudmu?" Rachel mengerutkan keningnya, sedikit mendongak menatap Jason yang melangkah di sebelahnya. Yah, Jason cukup tinggi sementara Rachel mungil dan pendek.

"Mengorbankan kesempatan besarmu hanya demi pacarmu?"

Rachel mengerutkan keningnya, Pacarnya?

"Mamamu bilang kau melakukan ini demi Calvin, dia pacarmu bukan? Apakah kau pikir sepadan mengorbankan kesempatan besarmu untuk menguasai biola dengan baik hanya demi menjaga perasaan pacarmu?"

"Bukan hanya demi Calvin." Rachel membantah meskipun dalam hati dia mengakui bahwa sebagian besar alasannya adalah Calvin. "Juga demi anak-anak lain yang saya rasa lebih pantas dengan kemampuan yang lebih tinggi daripada aku."

Langkah Jason terhenti seketika, membuat Rachel juga menghentikan langkahnya, dia menoleh dan melihat Jason berdiri di sana, menatapnya dengan tatapan mata tersinggung,

Lelaki itu lalu berjalan mendekat, melangkah di depan Rachel yang terpaku karena mata tajamnya, jemarinya terulur dan menyentuh dagu Rachel, mendongakkannya.

"Dengarkan aku baik-baik." bibir Jason menipis, tampak marah ketika berkata, "Aku tidak pernah main-main dalam memilih murid. Jangan pernah mempertanyakan keputusanku. Aku memilihmu karena aku melihat kau seperti berlian yang belum diasah." Jason menundukkan kepalanya, dan kemudian mengecup bibir Rachel dengan kecupan tipis dan singkat, "Hanya aku yang bisa mengasahmu sehingga cemerlang. Jadi aku akan tetap mempertahankan tawaranku, kapanpun kau berubah pikiran, datanglah kepadaku." bisiknya pelan di telinga Rachel , dan kemudian tanpa kata lelaki itu membalikkan badan, meninggalkan Rachel yang membeku karena ciuman itu. Tak bisa berkata-kata, hanya menatap tertegun ke arah punggung Jason yang makin menjauh.

*** 

"Mama sangat kecewa kepadamu, Rachel." sang mama berkata kemudian ketika mereka sudah berada di mobil dalam perjalanan pulang, "Kenapa kau lakukan itu?"

Rachel hanya terdiam, menatap lurus ke depan, dia bahkan hampir-hampir tidak mendengar perkataan mamanya. Bibirnya masih terasa panas.... Jason.. lelaki itu, kenapa lelaki itu mengecup bibirnya? Apakah itu pelecehan? Kenapa Jason melakukannya? Apa jangan-jangan Jason memang biasa melakukannya kepada siapapun? Tetapi kenapa dia? Rachel tahu bahwa Jason terkenal sebagai penakluk perempuan, tetapi korbannya selalu perempuan-perempuan yang lebih tua....bukankah itu memang selera jason? tetapi kenapa dia? kenapa Jason menciumnya?

Pertanyaan itu terngiang-ngiang terus di benaknya, membuat Rachel mengerutkan keningnya. 

"Rachel!" sang mama memanggilnya, membawa pikirannya kembali ke dunia nyata, "Apakah kau mendengar perkataan mama?"

Rachel mengehela napas panjang, "Maafkan aku mama... aku rasa ini keputusan yang terbaik."

Mamanya melirik sedikit kepadanya dari balik kemudia, "Segera setelah kau memikirkannya baik-baik, kau pasti akan menyesali keputusan ini, Rachel."

*** 

Ketika masih merenung di kamarnya, terdengar suara ketukan di sana, Rachel mengerutkan keningnya.

Siapa yang datang malam-malam begini?

Rachel melangkah ke pintu kamarnya dan membukanya, Calvin berdiri di sana, tersenyum lebar.

"Mamamu menyuruhku langsung ke sini, bolehkah aku masuk?"

Sebenarnya Rachel merasa agak canggung, sejak kecil mereka memang berteman akrab dan Calvin sering sekali bermain di kamarnya, tetapi menjelang mereka remaja sampai sekarang, Calvin hampir tidak pernah masuk ke kamarnya lagi.

"Aku akan membiarkan pintunya terbuka." Calvin tampak geli membaca keraguan Rachel,  dan kemudian tanpa permisi dia masuk ke kamar Rachel, dan duduk di  kursi belajar Rachel.

"Wow, sudah lama aku tidak kesini, dan kamarmu tidak berubah, seperti kamar anak sepuluh tahun." Calvin terkekeh, matanya memandang ke sekeliling ruangan Rachel yang didominasi warna pink dan boneka-boneka kelinci dengan warna senada.

Rachel mendengus, pura-pura kesal, "Jangan mengomentari kamarku. Dan katakan kepadaku, kenapa kau datang ke sini malam-malam begini. Mama yang menyuruhmu ya?" Rachel melangkah di depan Calvin dan duduk di tepi ranjang,

Calvin mengangkat bahunya, 

"Ya, mamamu menghubungiku dan menceritakan semua kejadiannya."

Rachel memalingkan muka, "Aku tidak akan berubah pikiran meskipun kau membujukku."

"Rachel." suara Calvin tampak sabar, seperti suara yang selalu digunakannya ketika Rachel merajuk di waktu mereka kecil, "Itu kesempatan besar, dan mendengar kau menolaknya hanya karena aku, itu membuatku sangat sedih."

Rachel memasang wajah datar, "Bukan hanya karenamu kok, aku hanya merasa aku tak pantas menerima kesempatan itu."

"Kau pantas." Calvin menyela. "Penilaian Jason bukan main-main, Rachel. Ingat dia adalah seorang pemain biola jenius, dia bisa melihat kemampuan tersembunyi yang orang lain tidak bisa melihat, Rachel." Calvin tersenyum lembut, "Dan lagipula, menurut penilaianku, permainan biolamu sangat indah."

Ketika Rachel hanya terdiam, Calvin bangkit dari kursi dan berlutut di tepi ranjang, tepat di depan Rachel, wajah mereka berhadapan sangat dekat, membuat Rachel tersipu.

"Terimalah tawaran itu Rachel, demi aku. Oke?"

Rachel memalingkan wajahnya yang terasa panas, "Aku akan memikirkannya, tapi aku tidak janji."

Calvin terkekeh, "Oke. Dasar anak keras kepala, aku akan menunggu kabar baik darimu." Lelaki itu menghela napas panjang,  "Dan juga aku harus menyiapkan waktu untuk kelas tiga bulan yang akan di ajarkan oleh Jason, kau tahu Anna mungkin sedikit sedih karena aku tidak bisa menyediakan banyak waktu untuknya, padahal aku sudah berjanji."

"Anna?" Rachel menyambar, sedikit bingung ketika Calvin menyebut nama Anna, Anna adalah teman seangkatan Calvin di akademi musik dulu, dia seorang pemain piano, sangat cantik dengan penampilan yang sangat feminim dan lembut, begitu bertolak belakang kalau dibandingkan dengan Rachel.

"Iya, Anna, kau masih mengingatnya bukan? Saking sibuknya dengan persiapan audisi aku sampai lupa menceritakannya kepadamu." Senyum Calvin melebar, "Kami tidak sengaja bertemu ketika aku mengikuti sebuah pesta bersama papa, dia sibuk dengan pendidikan musiknya di Italia.... tetapi sekarang, untuk beberapa lama dia akan berada di Indonesia karena liburan semester, dan kemudian aku berjanji kepadanya untuk menemaninya selama di sini." Lelaki itu mengedipkan sebelah matanya, "Siapa yang tahu kalau hubungan kami bisa lebih dari pertemanan, kau tahu bukan dulu aku naksir kepadanya. Dan sekarang dia sedang tidak terikat dengan siapapun."

Rachel tahu, dan ketika itu, di masa lalu, masa-masa Calvin begitu memuja Anna membuatnya menyimpan perih yang dalam, yang disembunyikan jauh di dalam hatinya. Tetapi waktu itu Anna sudah punya pacar, dan Calvin tidak punya kesempatan, jadi Rachel bisa tenang. Setelah Calvin dan Anna lulus dari akademi, dan Anna melanjutkan pendidikannya di luar negeri, Rachel merasa tenang... apalagi setelah itu Calvin tampaknya tidak dekat dengan perempuan manapun.

Dan sekarang Anna kembali? .... tidak sedang terikat dengan siapapun... begitu kata Calvin tadi. 

Rachel langsung merasakan dadanya diremas oleh perasaan pedih yang sama, perasaan yang sudah hampir dilupakannya bertahun lalu.

"Kalau begitu aku pulang dulu Rachel, sudah malam." Calvin melirik jam tangannya, lalu melempar senyum manis kepada Rachel sebelum pergi, "Ingat, aku akan menjadi orang pertama yang sangat bahagia kalau kau menerima kesempatan itu."

*** 

Kenapa dia mencium Rachel? Kenapa dia mencium anak perempuan ingusan itu?

Jason merenung di tengah hingar bingar pesta itu, merasa marah kepada dirinya sendiri. Oh Astaga, Jason yang begitu berpengalaman kepada perempuan, tidak bisa menahan diri dan mencium Rachel, anak ingusan yang lebih muda delapan tahun darinya, yang mungkin bahkan belum pernah berciuman sebelumnya!

Dan kenapa pula Rachel berani-beraninya menolak tawarannya? Tawaran istimewa yang mungkin tidak akan pernah diberikannya kepada orang lain?

Hati Jason dipenuhi kemarahan. Dia akan membuat Rachel memohon-mohon untuk menjadi muridnya. Dia pasti bisa melakukannya.

Rachel mungkin jenis perempuan yang suka membuat lelaki mengejarnya, pura-pura menolak sebelum meminta bagian yang lebih besar.... mungkin saja Rachel sengaja memanipulasi Jason. Mungkin saja Rachel seculas perempuan-perempuan lain yang dikenalnya selama ini, seculas ibunya....

Dan Jason tidak akan membiarkan Rachel melakukan itu kepadanya, dia akan memberi Rachel pelajaran karena berani-beraninya menolaknya.

Bersambung ke part 5


Another 5% Part 5

PS : untuk yang menanti Embrace The Chord, InsyaAllah nanti malam yah,  ini daku sedikit meriang dan pusing hehehe...   Kalau naskah another 5% sudah siap dari kmrin2, jadi diposting duluan, kalau naskah Embrace The Chord baru 50%nya jd harus dikerjain dulu :)




Rolan menggendong Sabrina yang lunglai dan berjalan menuju sayap rumah sakit tempat penderita kanker di rawat intensif.

Suster yang berjaga di sana. Suster yang sangat dikenalnya karena Rolan juga lama di sini langsung berdiri dari tempat duduknya. Menyongsong mereka dengan panik,

"Astaga. Tuan Rolan. Bagaimana... Kenapa bisa nona Sabrina??" Lalu suster itu menyadari bahwa Rolan tampak begitu sehat dan kuat, "Anda tidak apa-apa Tuan Rolan? Anda menggendong Sabrina?"

"Aku tidak apa-apa." Rolan tersenyum penuh keyakinan, "Aku baik-baik saja suster, jangan cemaskan aku, dimana kamar Sabrina? Aku akan menidurkannya di sana."



"Di lorong itu lurus. Kamar sebelah kanan  yang paling ujung di seberang kamar anda.... Astaga dia tampak pucat sekali, seharusnya dia tidak boleh berjalan-jalan keluar, dia pasti menyelinap tadi." Wajah suster itu memucat, " saya akan memanggil dokter."

Rolan menganggukkan kepalanya, dan membawa Sabrina yang lunglai digendongannya ke kamar yang ditunjukkan suster itu.

Kamar itu berada jauh di ujung. Lokasinya berseberangan dengan kamar Rolan - yang sebentar lagi akan menjadi bekas kamarnya - Selama sakit Rolan hampir tidak pernah keluar kamar, kecuali saat dia harus melakukan pemeriksaan di luar. Pantas saja dia tidak pernah melihat Sabrina sebelumnya meskipun sebenarnya kamar mereka hanya berseberangan.

Kamar Sabrina lengang seperti kamarnya di rumah sakit, tetapi terkesan feminim karena sprei dan bed covernya berwarna pink, sepertinya dibawa sendiri dari rumah.

Dengan lembut dan hati-hati, Rolan membaringkan Sabrina ke atas ranjang. Dia memperhatikan betapa pucatnya perempuan ini. Tiba-tiba hatinya terasa sedih membayangkan betapa perempuan semuda dan serapuh ini mengalami kesakitan sama seperti yang pernah dirasakannya dulu. Seandainya Sabrina tidak sakit, dia pasti akan menjadi perempuan yang ceria....

Bulu mata Sabrina yang panjang dan tebal bergerak-gerak, lalu mata hijau bening itu terbuka, tampak bingung dan menatap ke sekeliling. Sabrina mencoba bangun dan duduk, tapi Rolan segera mencegahnya,

"Jangan bangun dulu, kau baru saja pingsan, kau pasti pusing."

Sabrina mendongakkan kepalanya dan menatap Rolan seakan baru menyadari kehadirannya.

"Ah...kau... Kau yang menolongku di lorong tadi." Perempuan itu mengernyit seakan kesakitan.

"Dokter akan segera datang, apakah kau pusing?" Rolan tahu bagaimana rasanya, bagaimana sakitnya kepalanya dulu...

Sabrina menganggukkan kepalanya, tersenyum lemah. "Aku selalu merasa pusing dan mual setiap saat..... Lama-lama aku terbiasa." Sabrina menatap Rolan lagi, "apakah kau sedang membesuk seseorang di sini?"

Rolan tersenyum dan menggelengkan kepalanya, "Bukan. Aku pasien di sayap rumah sakit ini, kamarku ada di ujung sebelah sana."

"Pasien di sayap Rumah sakit ini?" Sabrina mengerutkan keningnya, "Kau tampak terlalu sehat untuk seorang penderita kanker."

Rolan terkekeh, "Aku sudah sembuh."

"Sembuh?" Mata hijau Sabrina yang indah membelalak lebar, "Bagaimana bisa?"

"Aku sembuh begitu saja." Rolan tersenyum, mengangkat bahunya.

Sabrina membuka mulutnya tampak hendak berbicara. Tapi kemudian dokter Beni masuk. Dia tersenyum menatap Rolan yang juga ada di ruangan itu,

"Di sini anda rupanya Tuan Rolan, saya menunggu anda di ruangan saya untuk membicarakan hasil test anda."

Rolan tersenyum meminta maaf,

"Maafkan saya, saya sudah dalam perjalanan ke sana ketika saya menemukan Sabrina hampir pingsan di lorong."

"Ah ya, Sabrina." Dokter Beni menoleh ke arah Sabrina yang setengah duduk di ranjang dengan pipi memerah, "Kau rupanya memutuskan untuk berjalan-jalan lagi sendirian. Untung tadi ada Rolan menolongmu, kalau tidak kau akan terbaring di lorong sana beberapa lama sampai ada orang lain lewat. Bukankah sudah kubilang kalau kau hendak jalan-jalan kau bisa memanggil suster perawat untuk menemanimu?"

Pipi Sabrina semakin merah, memberikan rona di kulitnya yang putih pucat.

"Maafkan saya dokter." Gumamnya lemah, penuh penyesalan, "Saya sungguh tidak bermaksud keluar sendirian. Tadi saya memanggil suster. Tetapi tidak ada yang datang. Jadi saya mencoba berjalan ke luar dan ternyata di pos perawat tidak ada orang. Akhirnya saya keluar menuju lorong mencari perawat...."

Dokter Beni menganggukkan kepalanya. "Nanti jangan diulang lagi ya." Gumamnya. Lalu mulai memeriksa Sabrina, "Kepalamu pusing?"

"Berdentam-dentam seperti biasa." Jawab Sabrina sambil tersenyum lemah.

Dokter Beni mengangguk, "Nanti akan reda setelah minum obat. Oke, saya akan mengontrol pasien yang lain dulu." Dia menoleh ke arah Rolan dan tersenyum, "Mengenai hasil test..."

"Saya sebenarnya tidak perlu tahu apa hasilnya. Saya yakin hasilnya sama seperti yang kemarin." Sela Rolan yakin.

Dokter Beni tertegun. Lalu menganggukkan kepalanya. "Well memang hasilnya sama, sungguh suatu keajaiban." Matanya menatap Rolan sungguh-sungguh, "Bagaimanapun juga kami memerlukan anda untuk pemeriksaan lebih lanjut. Kami harus mencari tahu apa yang terjadi."

Rolan menganggukkan kepalanya, tersenyum lebar, "aku akan berusaha membantu sebisanya dokter."

Setelah dokter Beni pergi. Tinggalah Rolan bersama Sabrina yang menatapnya malu-malu.

"Sekali lagi terimakasih atas bantuannya tadi, aku benar-benar ceroboh dan jadi merepotkanmu." gumam Sabrina akhirnya

Rolan menganggukkan kepalanya. "Sama-sama, senang bisa membantu." Dia lalu mengulurkan tangannya, "Kita malahan belum berkenalan secara resmi, kenalkan aku Rolan."

Sabrina menyambut uluran tangan Rolan, tersenyum hangat.

"Aku Sabrina."

***

Selesai!

Selly menutup berkas laporannya dengan puas dan menghela napas panjang. Lebih lama dari waktu yang dijanjikannya kepada Rolan, ternyata Selly membutuhkan waktu lebih dari empat puluh lima menit untuk menyelesaikan semuanya. Semoga Rolan tidak marah kepadanya, semoga Rolan mau mengerti keadannya.

Dia sudah benar-benar terlambat, jadi dia memutuskan untuk naik taxi demi menghemat waktu.

Selly lalu berdiri, meletakkan berkas setumpuk yang tebal itu di meja besar Gabriel, lalu setengah berlari keluar. 

Dia harus bergegas!

Seketika itu dia bertubrukan dengan tubuh besar yang kokoh, beraroma parfum cendana. Tubrukan itu sangat keras hingga Selly hampir saja terlontar jatuh seandainya saja Gabriel tidak menahannya dengan kedua tangannya yang ramping dan kuat di pundaknya.

"Hei..hei.. Maafkan aku." Gabriel meluruskan Selly yang terhuyung, lalu melepaskan pegangannya, "Mau kemana terburu-buru?"

Selly menghela napas panjang, menatap Gabriel yang sekarang sudah mengenakan pakaian santai dan tampak luar biasa tampan, sepertinya lelaki itu sempat pulang ke rumah tadi dan berganti pakaian, atau bahkan mungkin sudah mandi mengingat wanginya yang begitu segar. Tiba-tiba Selly membandingkannya dengan kondisinya sendiri, dia belum mandi dan akan segera bertemu Rolan, Selly langsung bertekad menyemprotkan parfum ke sekujur pakaiannya nanti di taxi agar dia tetap harum dan segar ketika bertemu Rolan.

"Maafkan saya. Saya harus segera ke rumah sakit..."

"Rumah sakit lagi? kemarin kita pertama kali bertemu di dekat rumah sakit." Gabriel mengangkat alisnya, "Apakah ada saudaramu yang sakit?"

"Bukan saudara." Selly menggumam cepat, "Dia calon suami saya."

"Oh." Gabriel menatap Selly lembut, "Aku ikut prihatin Selly, semoga calon suamimu lekas sembuh ya." Lelaki itu melirik ke berkas yang diletakkan Selly di mejanya, "Pekerjaannya sudah selesai?"

"Sudah." Jawab Selly bersemangat, "Saya sudah membuat laporan se-informatif mungkin. Semoga anda puas dengan semua informasi yang dimuat di sana."

"Oke." Gabriel menganggukkan kepalanya, "Pergilah. Maafkan aku karena menahanmu.... Hati-hatilah."

"Baik, terimakasih Sir." Selly membungkukkan badan hormat, lalu buru-buru melangkah setengah berlari menuju lift,

"Oh, Selly?" Tiba-tiba saja Gabriel memanggil, membuat langkah Selly terhenti dan menoleh lagi.

"Ya Sir?"

"Kau bisa memakai supirku, dia ada di bawah di depan lift. Dia akan mengantarmu ke rumah sakit..."

"Tidak Sir! Tidak perlu! Saya bisa naik taxi..." dengan segera Selly menggelengkan kepalanya.

"Di luar hujan dan menunggu taxi membutuhkan waktu lama, kasihan calon suamimu menunggu di sana. Pakai saja supirku, hitung-hitung sebagai permintaan maafku karena membuatmu kerja lembur dan terlambat menemui calon suamimu." Gabriel bergumam dengan tenang, matanya menatap Selly tajam, tak terbantahkan.

Sejenak Selly terpana, tapi kemudian dia sadarkan diri, mungkin Gabriel benar, akan lebih praktis kalau diantar oleh supir Gabriel, dan tadi katanya di luar hujan pula.

"Terimakasih Sir." Gumamnya bersemangat dan pintu lift-pun terbuka. Sebelum Selly masuk ke dalam lift dia sempat melirik ke arah Gabriel berdiri tadi, tetapi lelaki itu sudah tidak ada, dan pintu ruang besar tertutup rapat.

***

Mobil besar berwarna hitam itu berhenti tepat di depan rumah sakit, setelah mengucapkan terimakasih pada supir Gabriel yang dari tadi hanya diam saja, hanya mengangguk dan tak bersuara sedikitpun, Selly lalu keluar dari mobil dan setengah berlari memasuki lobby rumah sakit itu.

Dia benar-benar terlambat! Meski supir Gabriel berusaha melaju secepat mungkin, tetapi kemacetan jalan raya menghalangi mereka untuk segera sampai. Rolan pasti sudah menemui doktrer Beny sendirian.

Dengan rasa menyesal, Selly berjalan menuju ruangan dokter Rolan, tempat mereka sering berkonsultasi mengenai kesehatan Rolan. Tetapi lorong itu lengang, dan pintu ruangan tertutup rapat.

Yah dia memang benar-benar terlambat, Rolan pasti sudah kembali ke kamarnya.

Dengan langkah tergesa, Selly menuju sayap rumah sakit tempat pasien kanker ditempatkan, menganggukkan kepala pada suster jaga yang sudah sangat mengenalnya, lalu setengah berlari menuju kamar Rolan.

Kamar itu kosong....Dimana Rolan?

Selly melangkah keluar kamar, kebingungan...apakah Rolan menjalani pemeriksaan lagi? Atau Rolan menjalani perawatan intensif di tempat lain? tetapi bukankah Rolan sudah sembuh? Atau jangan-jangan.... hasil test kemarin salah?

Pikiran-pikiran buruk memenuhi benak Selly membuatnya semakin cemas. Dia hendak berjalan ke tempat suster jaga untuk menanyakan tentang Rolan ketika suara tawa itu terdengar. Suara tawa yang amat sangat dikenalnya.

Itu suara tawa Rolan!

Dan datangnya dari kamar seberang..... dengan hat--hati, takut salah dengar, Selly mengintip ke pintu di kamar seberang yang terbuka. 

Di sana Rolan duduk di tepi ranjang, sedang menjelaskan sesuatu dengan bersemangat pada seorang pasien lain yang terbaring setengah duduk di tempat tidur, kemudian mereka tertawa bersama.

Tanpa sadar, Selly mendorong pintu itu, menimbulkan bunyi geseran pintu dan membuat Rolan menoleh. Mata Rolan langsung melebar, begitu juga senyumnya ketika melihat Selly,

"Ah, Selly, Sayang, akhirnya kau datang juga." Rolan mengulurkan tangannya, "Sini, kemari kukenalkan dengan Sabrina, dia pasien di sini juga sejak lama."

Rolan memiringkan tubuhnya, dan kemudian, pasien itu... pasien bernama Sabrina yang tadi tertutup punggung Rolan terlihat jelas di mata Selly, 

Oh astaga... cantiknya.... sungguh kecantikan yang sangat rapuh, kulit Sabrina begitu pucatnya tetapi matanya hijau dan besar, terlihat begitu mencolok dengan bulu mata yang indah dan panjang. Kecantikan yang rapuh, kecantikan yang bagaikan dewi peri hutan yang transparan ketika disentuh...

Dengan langkah hati-hati, Selly menerima uluran tangan Rolan, dan Sabrina yang berada di atas ranjang tersenyum kepadanya, sambil mengulurkan tangan,

"Hai, aku Sabrina, Rolan menolongku ketika pingsan di lorong tadi." Mata hijaunya bercahaya dan tampak cantik, "Kau pasti Selly, Rolan banyak bercerita tentangmu tadi."

Selly menyambut uluran tangan Sabrina, merasakan jemari itu dingin dan rapuh dalam genggamannya,

"Hai juga, aku Selly."

Rolan tersenyum lebar, "Bayangkan Selly, aku dan Sabrina hanya berseberangan kamar dan kami ada di rumah sakit ini sangat lama, tetapi tidak pernah bertemu sebelumnya." Rolan lalu berdiri dan menatap Sabrina lembut, "Baiklah, aku tidak mau mengganggu istirahatmu Sabrina, kau pasti lelah, jadi kami akan pergi." dengan posesif, lelaki itu merangkul pinggang Selly.

Sabrina menganggukkan kepalanya, "Terimakasih Rolan, menyenangkan sekali menghabiskan waktu bersama seseorang." Sabrina lalu menoleh ke arah Selly dan tersenyum lembut, "Kau sungguh beruntung memiliki seseorang yang bersedia menemani dan mengisi hari-harimu ketika kau sakit..... sedangkan aku, aku selalu di sini sendirian... keluargaku hanya papaku, dan dia sangat sibuk dengan bisnisnya... " mata Sabrina tampak sedih, berkaca-kaca.

Tiba-tiba saja Selly merasa iba melihatnya, gadis ini sakit, tampak begitu rapuh dan kesepian, mengingatkannya pada Rolan di masa-masa sakit parahnya dahulu,

"Jangan kuatir Sabrina, aku dan Rolan pasti akan sering kemari untuk menemanimu ngobrol." gumamnya impulsif seketika.

Mata Sabrina langsung melebar, kesedihan di sana lenyap berganti dengan harapan,

"Benarkah?" dia tersenyum lebar dan tampak cantik sekali, "Terimakasih. terimakasih.. itu amat sangat berarti bagiku." gumamnya ceria.

*** 

Rolan dan Selly berjalan keluar dari kamar Sabrina dan menuju ke seberang, ke arah kamar Rolan, 

"Maafkan aku... aku terlambat datang karena pekerjaanku..." Selly bergumam penuh penyesalan ke arah Rolan.

Kekasihnya itu menoleh, menatap Selly dan kemudian memeluknya erat, mengecup dahinya lembut,

"Tidak apa-apa sayang, aku mengerti kok. Lagipula aku juga tidak melihat hasil test itu." gumam Rolan riang, menagap Selly di pelukannya.

Mata Selly melebar, "Tidak melihat hasil testnya? jadi...?"

"Tadi aku sempat bertemu dokter Beni ketika dia memeriksa Sabrina, katanya hasil testnya sama, aku sudah sembuh."

"Sudah sembuh?" Selly menatap Rolan, melihat senyum Rolan yang lebar. Rolan bersungguh-sungguh, mukjizat ini benar adanya!

Air mata mengalir di sudut mata Selly, mengalir ke pipinya, membuatnya sesenggukan, 

"Ya Tuhan Rolan... aku amat sangat bersyukur... amat sangat bersyukur..." Selly menangis, perasaannya meluap-luap, antara rasa syukur dan bahagia, terharu dan semua perasaan indah itu bercampur aduk di benaknya, membuatnya sesenggukan.

Rolan mengecup air mata di pipi Selly dengan lembut, kemudian menenggelamkan tubuh Selly yang mungil di pelukannya, memeluknya kuat-kuat,

"Aku mencintaimu Selly, amat sangat mencintaimu. Sekarang kau bisa memilikiku, diriku yang sehat, seutuhnya."

*** 

Sabrina sedang termenung sambil menatap ke arah jendela, memantulkan sinar senja yang menggelap. Ketika dia merasakan aura itu,

"Kau selalu datang tanpa permisi." gumamnya dan kemudian menoleh ke arah Gabriel yang tiba-tiba saja sudah berdiri di sana, bersandar malas di dekat jendela, berdiri di bawah bayang-bayang senja sehingga wajahnya tertutup siluet gelap.

"Perempuan jahat." Gabriel tersenyum sinis, "Kau menggunakan penampilan rapuhmu untuk memanipulasi hati manusia yang lemah." 

Sabrina membalas senyuman Gabriel, "Bukankah kau seharusnya berterima kasih kepadaku, Gabriel ? Secara tidak langsung aku membantumu bukan?"

"Aku tidak butuh bantuan." Mata Gabriel menggelap, "Apa sebenarnya rencanamu, Sabrina? Kenapa kau mendekati Rolan?"

Sabrina menghindari tatapan Gabriel yang tajam, berusaha membentengi diri. Dia tahu bahwa kalau mau, Gabriel bisa menggunakan kekuatannya untuk membaca pikiran, karena itulah dia berusaha membentengi dirinya kuat-kuat. Dia sudah terbiasa melakukan itu kalau berhadapan dengan Gabriel.

"Kau tidak perlu tahu rencanaku, Gabriel... yang perlu kau tahu, aku tidak akan mengganggu apapun rencanamu."

"Oh ya?" Gabriel memajukan tubuhnya, berdiri di tepi ranjang dan kemudian mengulurkan telunjuknya untuk mengangkat dagu Sabrina yang pucat dan rapuh, "Jangan main-main denganku Sabrina, apa yang kau lakukan tadi memang memuluskan rencanaku, tetapi bukan berarti aku menyetujuinya. Aku punya rencanaku sendiri yang sudah kususun dengan baik, dan aku tidak mau siapapun ikut campur, bahkan kau sekalipun." Gabriel tidak main-main, ekspresi kejam muncul di wajahnya, "Apakah kau mengerti, Sabrina?"

Tubuh Sabrina terasa panas, membakar. Oh Astaga! Gabriel menaikkan suhu ruangan ini, lelaki itu benar-benar marah, dan sekarang seluruh ruangan terasa panas membakar. Peluh Sabrina bercucuran sedangkan Gabriel tampaknya sama sekali tidak terpengaruh dengan suhu ruangan ini yang begitu membakar.

"Gabriel! Panas! Panas!" Sabrina menjerit, keringat bercucuran di seluruh tubuhnya dan rambutnya basah kuyup.

Mata Gabriel tetap dingin, "Jawab aku Sabrina, apakah kau mengerti? Dan kemudian katakan apa rencanamu."

"Aku mengerti! Aku mengerti!" Sabrina memekik, tidak tahan dengan suhu ruangan yang panas dan juga rasa panas yang membakar tubuhnya, "Gabriel! Kumohon, kumohon kakak! Aku akan menjelaskan semuanya kepadamu!"

Seketika itu juga panas yang membakar ruangan itu menghilang. Gabriel mundur dan menatap Sabrina dengan dingin,

"Jelaskan."

Mata Sabrina berkaca-kaca, menatap Gabriel, kakak tirinya yang sangat dicintainya, tetapi tidak pernah bisa membalas cintanya. Kenapa Gabriel bisa sekejam ini kepadanya? Tidak adakah sedikitpun rasa sayang Gabriel kepadanya? dia adik Gabriel bukan?

"Aku... aku sudah tahu semuanya, bahwa Rolan bisa mengancam keselamatanmu... bahwa mungkin saja kau terbunuh kalau Rolan bisa mendapatkan pengorbanan dari Selly dan mendapatkan 5% tambahan kekuatannya..." air mata Sabrina menetes, "Aku hanya tidak ingin kau mati..."

"Jadi kemudian kau menyamar dan mencoba merebut Rolan dari Sabrina demi menyelamatkanku?" Gabriel mendesis dingin, " Aku tidak akan kalah dari Rolan apapun yang terjadi, dia hanya anak ingusan yang tidak tahu bagaimana cara menggunakan kekuatannya." Mata Gabriel menyala, "Aku tidak peduli apapun yang kau lakukan Sabrina, kali ini kau kumaafkan. Tapi jangan sampai kau ikut campur lagi tanpa seizinku."

Dan kemudian Gabriel menghilang ditelan bayang-bayang gelap yang menyambut malam.

Sabrina menangis di atas ranjang, terisak-isak perih akan sikap dingin Gabriel. Seharusnya Gabriel bisa mencintainya! Kalau saja Gabriel bisa mencintainya, maka lelaki itu akan memiliki cinta sejati dan tidak perlu cemas akan dikalahkan oleh Rolan!

Gabriel adalah cinta sejati Sabrina, dan Sabrina tidak akan pernah menyerah sampai Gabriel mencintainya. Dan alasan sebenarnya berusaha mendekati Rolan bukan hanya demi menyelamatkan Gabriel, tetapi lebih karena Sabrina tidak rela Gabriel mendekati Selly dan menebarkan pesonanya kepada perempuan itu!

Sabrina tidak akan berhenti. Sebab jika Rolan sudah benar-benar terpesona kepadanya, maka Gabriel tidak akan perlu repot-repot mendekati Selly.

*** 

Ruangan itu sunyi, hanya ada Gabriel di sana, dahinya berkerut, Apa yang dilakukan Sabrina mungkin akan memberikan keuntungan kepadanya. Dengan merayu Rolan, mungkin saja hal itu akan membuat pekerjaan Gabriel lebih mudah.

Walaupun begitu ada rasa tidak suka di benak Gabriel, dia tidak suka Sabrina selalu berusaha mencampuri apapun rencananya. Sabrina adalah adik tirinya, mereka berhubungan darah, berbeda ayah tetapi satu ibu. Sabrina sangat mirip dengan ibu mereka yang rapuh dan sakit-sakitan sepanjang hidupnya. Dan Sayangnya adiknya itu menyimpan obsesi terpendam yang tidak pernah dimengertinya. Tidakkah Sabrina mengerti bahwa mereka berhubungan darah? selain itu apapun yang terjadi Gabriel tidak akan bisa membuka hatinya kepada perempuan manapun. Jiwanya terlalu kelam dan gelap untuk dirasuki penyakit bernama 'cinta'.

"Carlos!" lelaki itu memanggil pelayan setianya yang langsung muncul seketika.

"Ya Tuan."

"Kau sudah membawa apa yang aku minta?"

Carlos mengangguk tanpa kata, menyerahkan sebuah buku yang berat dan tebal dan meletakkannya di meja Gabriel. Gabriel menatap buku kuno yang usianya mungkin sudah ratusan tahun itu, dia bahkan tidak mau menyentuhnya. Buku itu penuh dengan aturan-aturan semesta yang mengikat sang pemegang kekuatan, diwariskan oleh pemilik kekuatan terdahulu turun temurun kepadanya. Matthias pasti juga mewariskan buku yang sama untuk Rolan entah bagaimana caranya nanti, meskipun Gabriel bisa memastikan bahwa sampai detik ini Rolan belum menerima buku itu. 

Gabriel sangat jarang membaca buku itu, bahkan hampir tidak pernah menyentuhnya, dia muak dengan segala aturan semesta yang mengikat sang pembawa kekuatan yang tercantum begitu banyak di dalam buku itu. Gabriel biasanya menyuruh Carlos mempelajarinya dan menjelaskan kepadanya.

"Apakah kau sudah menemukan bagian itu? bagian mengenai 'pengorbanan sang cinta sejati'?"

Carlos menganggukkan kepalanya, "Saya menemukan petunjuk tentang hal itu Tuan, meskipun bagian itu disamarkan dengan barisan puisi kuno yang penuh teka-teki."

"Disamarkan?" Kali ini Gabriel tertarik, "Tunjukkan padaku."

Carlos melangkah mendekat dan membuka buku itu dihadapan Gabriel dengan hati-hati, 

"Buku ini hampir tidak pernah membahas tentang pengorbanan cinta sejati, sepertinya hal itu memang dihindarkan untuk terjadi di antara kedua pembawa kekuatan." Carlos menjelaskan, "Yang dijelaskan secara gamblang hanyalah, ketika kedua pembawa kekuatan memutuskan saling bertarung, maka yang menjadi pemenang adalah yang mempunyai cinta sejati, yang akan memberikan pengorbanan sehingga bisa membangkitkan 5% kekuatan otak yang tersisa.......dan memang untuk pemegang kekuatan kegelapan, diberikan benteng penghalang khusus supaya tidak bisa menemukan cinta sejatinya. Hal ini dimaksudkan agar kekuatan kegelapan tidak tergoda untuk membunuh kekuatan cahaya."

Gabriel tersenyum sinis, "Jadi kekuatan semesta mengatur bahwa bagaimanapun juga, kekuatan kegelapan tidak akan pernah bisa memenangkan pertarungan? Hatiku dibentengi dengan kegelapan yang pekat sehingga tidak bisa jatuh cinta. Pada akhirnya selalu digariskan bahwa kekuatan terang yang menang."

Carlos menatap Gabriel hati-hati, "Itu semua diatur mengingat kekuatan terang adalah pecinta damai, meskipun dia menemukan cinta sejatinya, dia tidak akan mengobarkan perang karena tahu bahwa keseimbanganlah yang paling utama. Sedangkan kekuatan gelap, hampir bisa dipastikan merupakan pemicu terjadinya perang kekuatan...."

Mata Gabriel menggelap, "Ya. Kami para pemegang kekuatan kegelapan memang memiliki hati yang jahat dan hasrat untuk menghancurkan dunia, karena itulah kami dikutuk untuk tidak bisa jatuh cinta, supaya kami tidak bisa menemukan cinta sejati kami, dan supaya kami tidak bisa mengalahkan pemegang kekuatan terang." Mata Gabriel tampak muram, "Tetapi aku harus mengalahkan Rolan bagaimanapun juga, Matthias mencurangiku dengan memilih Rolan yang sudah memiliki cinta sejatinya. Dan karena sekarang sepertinya Rolan masih belum mendapatkan lima persen kekuatan itu - bahkan meskipun dia sudah memiliki Selly di sampingnya - itu membuatku bertanya-tanya, apakah ada ritual khusus dari Rolan untuk mendapatkan tambahan kekuatan lima persen itu."

"Semua ritualnya tersirat di puisi ini." Jemari Matthias menunjuk bagian di lembaran buku itu.

Mata Gabriel langsung mengarah kesana, membaca barisan puisi di buku kuno dengan kertas yang sudah menguning dan tua itu.

Ketika dua memecah belah semesta
Maka sang takdir akan memberikan sang pemenang
Hanya satu yang bisa meraihnya
Satu yang terpilih sang pembuka hati
Satu terpilih yang bisa merasakan cinta sejati
Darah dan air mata akan tertumpah
Pilihan akan diajukan
Darah yang tercinta ataukah keseimbangan semesta?
Semua pilihan akan memberi makna
Yang kalah dan yang menang muncul setelah pilihan diambil
Pengorbanan cinta sejati akan menentukan segalanya.

Mata Gabriel menggelap, dia menatap ke arah Carlos dan lelaki itu membalas tatapannya penuh makna, menyiratkan bahwa dia memiliki pemikiran yang sama.

Ya.... pengorbanan cinta sejati itu melibatkan pengorbanan nyawa....demi memberikan kekuatan kepada Rolan sebesar lima persen, Selly harus mengorbankan nyawanya. Entah bagaimana caranya, tetapi itulah yang tersirat di puisi kuno ini.


Bersambung ke part 6