Jumat, 30 Agustus 2013

Another 5% Part 21



“Apa?” Rolan langsung berdiri dari tempat duduknya, menatap Marco dengan tatapan mata terkejut, “Selly diculik oleh Gabriel?”

Marco menghela napas dengan cemas. “Saya mengkhawatirkan hal ini terjadi sejak dulu tuan Rolan. Nona Selly adalah pemegang kunci kemenangan anda. Dan mungkin Gabriel menculiknya untuk membunuhnya.”

Wajah Rolan pucat pasi. Dia sudah bertemu dengan Gabriel di tengah kebakaran itu. Sudah jelas bahwa Gabriel adalah manusia yang kejam dan tidak punya belas kasihan. Lelaki itu mungkin sudah menyiksa dan membunuh Selly. Rolan memejamkan matanya, berusaha melacak Selly, tetapi tidak bisa. Dia menghela napas frustrasi dan menatap Marco. “Kau tahu kemana Gabriel membawa Selly?”

Marco begidik, “Ke rumahnya, sebuah mansion besar di pinggiran kota.” Ditatapnya Rolan dengan ragu. “Anda akan mendatangi Gabriel?”

Mata Rolan menyala marah. “Dia menginginkan perang bukan? Dan karena dia telah menculik serta mungkin melukai Selly, maka aku akan memberikan perang itu kepadanya.”

***

“Anda seharusnya tidak menantang tuan Gabriel.” Carlos pada akhirnya membuka mulut di malam yang semakin gelap itu ketika dia datang ke kamar untuk memeriksa Selly.

Selly menoleh ke arah Carlos dan mengernyit. “Lelaki itu jahat, dan kalau semua yang dikatakannya benar, maka aku berhak membencinya.”

Carlos menghela napas dengan sedih. “Semua orang selalu menganggap tuan Gabriel jahat, hanya karena dia adalah pemegang kekuatan kegelapan yang mewakili kejahatan. Ya. Memang hati tuan Gabriel begitu kelam, tetapi semua dendam yang ditumbuhkannya, hal itu karena dia sangat mencintai ibunya yang meninggal dan menimbulkan sebentuk kekecewaan serta kebencian pada sang pemegang kekuatan terang.” Carlos tampak sedih. “Saya berpikir bahwa anda mungkin telah merubah tuan Gabriel.”

“Apa?” Selly mendongakkan kepalanya, menatap lelaki tua misterius yang berdiri di depannya itu, “Apa maksudmu?”

Carlos tampak serius dengan apa yang dikatakannya. “Saya mengikuti tuan Gabriel sudah sejak awal beliau menerima kekuatan besar ini. Beliau bisa dikatakan tidak punya hati dan belas kasihan, apalagi sejak kematian ibunya, tidak ada apapun yang bisa memberikan setitik cahaya untuk hatinya yang pekat. Sampai dia bertemu dengan anda. Tuan Gabriel memang mendekati anda demi menjauhkan anda dengan Rolan. Tetapi di tengah usahanya, saya bisa melihat bahwa tuan Gabriel mulai melenceng dari apa yang sudah dia rencanakan sebelumnya.” 

Selly menatap Carlos dengan tatapan penuh perhatian ketika lelaki tua itu melanjutkan.

“Beliau langsung datang menemani anda ke acara ulang tahun makan malam anda begitu beliau tahu bahwa anda sendirian dan menunggu di rumah sakit... itu semua dilakukannya tanpa rencana.” Sambung Carlos.

Selly tentu saja ingat dengan kejadian itu. Malam yang berhujan dan kesedihannya karena Rolan membatalkan acara makan malam itu begitu saja. Demikian juga dengan rasa malunya karena menunggu sekian lama di restoran untuk kemudian batal memesan makan malam. Pada saat itu Gabriel datang bagaikan malaikat penyelamat., memberikan kue ulang tahun berwarna putih yang indah untuknya, dan membuat malamnya tidak begitu buruk.

“Begitu juga pada saat berikutnya, ketika sekali lagi tuan Rolan membatalkan janji, membuat anda menunggu di tengah hujan deras. Tidak ada untungnya bagi tuan Gabriel menolong anda, tetapi dia datang, mengejar anda menembus hujan deras dan menyelamatkan anda yang tergeletak pingsan di jalan.”

Carlos memiliki kekuatan yang sama seperti Marco, dia bisa melacak tuannya dimanapun dia berada. Karena itulah dia bisa tahu bahwa Gabriel mengejar Selly dan menyelamatkan serta merawatnya. Informasi itu membuat Selly ternganga. Kebingungan. Carlos bilang Gabriel yang menyelamatkannya ketika pingsan di tengah jalan saat hujan badai itu? Tapi... ketika dia membuka matanya dan sudah terbaring nyaman di ranjang ketika itu.. bukankah Rolan yang ada di depannya?

Carlos melihat keraguan Selly, dan kemudian menghela napas panjang. “Anda boleh saja meragukan kata-kata saya, tapi hati anda sendiri pasti mengetahuinya. Tuan Gabriel telah melakukan banyak hal di luar kebiasannnya untuk menyelamatkan anda. Dan sekarang, beliau mengurung anda di sini untuk menyelamatkan anda.”

Selly langsung membantah. “Dia mengurungku di sini karena aku adalah kunci kekuatan bagi Rolan. Untuk memenangkan pertarungan, tentu saja dia harus mengurung atau bahkan nanti membunuhku.”
Carlos menatap Selly dengan tatapan mata skeptis.  “Anda benar-benar berpikir seperti itu?” lelaki tua itu menggelengkan kepalanya. “Apakah anda tidak tahu? Bahwa untuk memberikan kekuatan lima persen kepada cinta sejati anda, kemungkinan besar anda harus mati?”

Selly benar-benar terkejut dengan perkataan Carlos. “Apa?”

‘Ya. Kami memiliki buku aturan semesta, sebuah buku kuno pegangan bagi sang pemegang kekuatan, mengatur apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh sang pemegang kekuatan. Di dalam buku itu juga tercantum berbagai kutukan atas pelanggaran, ataupun ramalan akan masa depan.” Mata Carlos menjadi muram. “Dalam buku itu ada ramalan, ketika dua kekuatan saling bertarung, maka pengorbanan cinta sejatilah yang akan menentukan siapa yang memenangkan pertarungan. Sayangnya pengorbanan itu kemungkinan besar adalah pengorbanan nyawa. Kalau tuan Gabriel menantang tuan Rolan dan anda melakukan pengorbanan untuk kemenangan tuan Rolan. Maka kemungkinan besar anda akan mati.”

Selly tidak pernah menduga bahwa pengorbanan yang dimaksud adalah pengorbanan nyawa... dia... dia kebingungan. “Itulah yang ingin dihindari oleh Tuan Gabriel Beliau meskipun sikapnya dingin dan kejam, beliau mengutamakan keselamatan anda. Karena itulah beliau mengurung anda di sini untuk menyelamatkan nyawa anda.”

***

Kata-kata pelayan setia Gabriel tadi masih terngiang di benak Selly bahkan setelah lelaki itu pergi. 

Benarkah apa yang dikatakan oleh Carlos itu?  Bahwa Gabriel melakukan ini semua untuk menyelamatkan nyawanya? 

Ingatannya melayang ke waktu itu, ketika dia pingsan di tengah hujan badai. Selly tidak ingat apa-apa waktu itu, yang dia ingat hanyalah ketika dia dibaringkan di atas ranjang yang hangat dan nyaman. Saat itu, hatinya terasa sakit, sedih karena Rolan tidak datang. 

Dan kemudian, seorang lelaki mengecup bibirnya, mengatakan dengan lembut bahwa dia akan selalu ada. Bukankah lelaki itu Rolan? Rolan ada ketika dia membuka matanya bukan? Tetapi... Carlos bilang bahwa yang menolongnya adalah Gabriel... Rolan sendiri kalau diingat-ingat membantah kalau dia menolong Selly dari tengah hujan. Dan satpam perusahaan itu... dia bilang waktu itu Gabriel mengejarnya ke tengah badai... Selly menelan ludahnya. 

Kalau begitu... mungkinkah lelaki yang menciumnya dan membisikkan kata-kata penuh sayang kepadanya waktu itu adalah Gabriel?

***

Sabrina membuka matanya, dan langsung berhadapan dengan Rolan. Tetapi ekspresi wajah Rolan berbeda, lelaki itu tampak... marah.

“Rolan?” Tiba-tiba Sabrina teringat akan kemarahan Gabriel dan api yang membakar tubuhnya, terasa sangat panas dan menyakitkan. Dia beringsut terperanjat, dan kemudian melihat ke seluruh tubuhnya... tidak ada luka bakar di sana. Dipegangnya rambutnya dan menyadari bahwa rambutnya sudah dipotong pendek. Rambutnya pasti tidak bisa diselamatkan karena terbakar waktu itu.

Sabrina mengangkat wajahnya dan menatap Rolan, lalu bergumam dengan suara lemah. “Kau menyelamatkanku.” Suaranya bergetar, “Terimakasih Rolan.”

Rolan hanya berdiri di sana, menatap Sabrina sambil menyipitkan matanya,  “Aku menolongmu karena aku tulus, Sabrina. Tetapi sekarang aku jadi bertanya-tanya apakah kau tulus selama ini, atau kau menyimpan rahasia keji di baliknya.”

Sabrina mengerutkan kening dan berusaha duduk, tubuhnya masih begitu lemah dan lemas.

“Apa maksudmu Rolan? Aku tidak mengerti...”

“Gabriel.” Rolan menyela, suaranya terdengar dingin, “Apakah itu berarti sesuatu bagimu?”

Seketika itu juga Sabrina membeku, matanya menyala dengan panik tetapi ketika akhirnya berkata-kata, dia menangis sesenggukkan.

“Kau akhirnya tahu...”

“Bahwa kau adalah adik tiri Gabriel? Sang pemegang kekuatan gelap yang sedang mengincar nyawaku? Kenapa kau tidak mengatakannya kepadaku, Sabrina? Apakah kau bekerjasama dengan Gabriel? Mempunyai niat jahat kepadaku dan Selly?”

“Tidak!” Sabrina hampir berteriak ketika membantah perkataan Rolan, “Bagaimana kau bisa menuduhku seperti itu Rolan? Setelah aku... setalah aku menyatakan cinta kepadamu.” Suara Sabrina menghilang di telan isakannya, “Aku tidak mengatakan kepadamu karena Gabriel mengancamku, dia begitu jahat, dia memaksaku mendekatimu kalau tidak dia akan membunuhku... tapi sungguh Rolan, aku ... aku sama sekali tidak punya niat jahat kepadamu, kau begitu baik dan perasaan cintaku benar-benar tulus kepadamu.... “ 

Sabrina mengusap air matanya mengangkat dagunya dan menatap Rolan, “Sebelum kebakaran itu, aku mengatakan kepada Gabriel bahwa aku akan jujur kepadamu tentang kebenarannya, aku juga bilang kepada Gabriel bahwa aku tidak mau membantunya lagi, karena itulah dia marah... dan kemudian mencoba membunuhku dengan membakarku... Aku tahu semuanya Rolan, aku tahu bahwa kau adalah pemegang kekuatan terang dan kau adalah orang yang baik, karena itulah aku membelamu.... kau begitu baik kepadaku....dan kaulah yang menyelamatkan nyawaku dari usaha pembunuhan Gabriel yang jahat...”

Rolan ternganga, menatap ke arah Sabrina yang tampak mulai terisak-isak kembali. Astaga. Sabrina tampak benar-benar ketakutan, dan dia melihat sendiri bagaimana Gabriel dengan kejamnya membiarkan adik tirinya ini berteriak-teriak kesakitan karena terbakar dikelilingi api. Gabriel memang benar-benar jahat! Rolan tidak pernah mencari permusuhan, tetapi kejahatan Gabriel harus segera dihentikan.

Dia duduk di tepi ranjang, menatap Sabrina dengan tatapan mata bersalah. Dengan kekuatannya, dia berusaha membaca pikiran Sabrina, mengetahui kejujurannya, meskipun dia sudah yakin bahwa Sabrina tidak bersalah, tetapi Marco berkata kepadanya tadi bahwa hal itu harus dicoba, sekedar untuk berhati-hati. 

Sayangnya, yang terbaca di benaknya hanyalah bayangan berkabut.... entah kekuatannya yang tidak mempan kepada Sabrina, atau memang Sabrina cukup ahli supaya pikirannya tidak bisa terbaca, bagaimanapun dia adik kandung Gabriel bukan? Sabrina pasti sudah terbiasa menutupi pikirannya dari Gabriel yang jahat.

Rolan mengawasi Sabrina yang tampak lemah dan pucat, dan dia memutuskan untuk mempercayai Sabrina. “Maafkan aku Sabrina, aku mencurigaimu.... Marco pelayanku mengatakan kau adalah adik tiri Gabriel, jadi aku...”

Sabrina mengusap air matanya, mencoba tersenyum kepada Rolan, “Aku mengerti Rolan, semua pasti juga akan berpikir sama, aku sendiri tidak suka menjadi adik dari lelaki jahat seperti Gabriel, dia sangat kejam dan menakutkan.” Sabrina begidik, “Aku senang kau menolongku bebas darinya, terimakasih Rolan.”

Rolan menganggukkan kepalanya, ‘Kau aman di sini Sabrina. Kau bebas beristirahat di sini sampai semuanya aman dan kau bisa kembali ke rumah sakit lagi.” Rolan mengeryit. “Sementara itu aku akan membereskan Gabriel.”

“Membereskan Gabriel?” Sabrina mengerutkan keningnya mendengar perkataan Rolan itu.

“Ya. Aku akan mendatangi kediamannya dan menantangnya.” Rolan berseru, menggertakkan giginya menahan marah, “Dia menculik Selly, dan aku tidak bisa melacak Selly dengan kekuatanku, aku takut Gabriel melukai Selly.”

Mungkin Gabriel bahkan sudah membunuh Selly. Sabrina bergumam dalam hati, merasa girang. Meskipun begitu, dengan pandai dia memasang wajah prihatin.

“Gabriel begitu kejam Rolan... dia.. dia mungkin sudah membunuh Selly, kau harus segera kesana.”

“Ya Sabrina, tadi aku mencoba teleport ke sana, tetapi Gabriel rupanya memasang perisai yang tak tertembus di sekeliling rumahnya. Saat ini Marco sedang menyiapkan mobil, sebentar lagi aku akan berangkat.”
Sabrina meraih tangan Rolan dan mengecupnya, “Hati-hati Rolan... semoga Selly tidak apa-apa.”

Rolan menganggukkan kepalanya, mengawasi Sabrina. Dia teringat kata-kata Marco tadi bahwa selama ini belum pernah ada yang menerima darah dari dua pemegang kekuatan. Sabrina telah menerima darah dari Gabriel dan Rolan dan apapun bisa terjadi kepadanya. Tetapi sepertinya Sabrina baik-baik saja, mungkin memang tidak apa-apa darah dari dua pemegang kekuatan bersatu.. Ketika Rolan membalikkan badannya, tiba-tiba Sabrina memanggil lelaki itu, “Rolan.”

Rolan menolehkan kepalanya, ekspresinya tampak lembut, “Ada apa Sabrina?”

Pipi Sabrina memerah, “Aku... aku mencintaimu.”

Senyum Rolan melembut, dia mengamati Sabrina yang rapuh, dan kemudian dia tidak bisa memungkiri, bahwa ada sebagian kecil hatinya, sebagian dari hatinya yang mulai tersentuh dan jatuh hati kepada perempuan ini. Sabrina tampak begitu bergantung kepadanya dan tulus mencintainya, memujanya, sedangkan Selly... Rolan tidak tahu lagi apa yang berkecamuk di benaknya, dia tidak mau memikirkannya dulu. Sekarang dia harus menolong Selly. Setelah mengucapkan selamat tinggal pada Sabrina, Rolan beranjak, berangkat menuju rumah Gabriel.

***

Sabrina tersenyum lebar sepeninggal Rolan. Astaga, lelaki itu sama sekali tidak curiga dengan semua keterangan yang diberikan olehnya. Mungkin memang benar kata orang bahwa lelaki yang baik akan cenderung bodoh kepada orang yang lemah. 

Rolan terlalu baik hingga tidak menyadari betapa liciknya Sabrina.Sabrina tadi benar-benar terkejut dan tidak siap ketika Rolan menanyakannya tentang Gabriel, untunglah dia bisa berpikir cepat dan mengarang cerita yang meyakinkan. Kebakaran yang melukainya itu ada untungnya juga bagi Sabrina, dia jadi bisa meyakinkan Rolan bahwa dia berada di pihak Rolan dan melawan Gabriel.

Sabrina berpikir keras di benaknya.... kenapa Gabriel menculik Selly? Apakah Gabriel berniat membunuh Selly? 

Bibir Sabrina tersenyum simpul, kalau Gabriel membunuh Selly, maka semua akan lebih mudah baginya, dia akan bisa menguasai Rolan sepenuhnya untuk menyuplai darah baginya dan kalau perlu mengisap rasa sakitnya dan menyembuhkannya. Mungkin seharusnya dia juga berharap Rolan berhasil mengalahkan Gabriel supaya Gabriel mati... karena kalau Sabrina tidak bisa memiliki Gabriel, maka lebih baik Gabriel mati saja.

Tiba-tiba Sabrina merasakan ada yang berdenyut di dadanya, denyutnya semula pelan, tetapi kemudian menjadi begitu kencang dan menyakitinya. Rasa sakit itu menyeruak, menyakitkan di dadanya. Napasnya terasa sesak dan panas. Sabrina mengernyitkan keningnya berusaha menahankan rasa sakit itu, tetapi kemudian terasa panas membakarnya, seluruh sarafnya terasa membara, penuh dengan kesakitan.  Ada apa dengan tubuhnya? Apa yang terjadi kepadanya? Sabrina terbatuk-batuk dan kemudian dia terkejut ketika ada darah yang mengalir dari bibirnya, wajahnya pucat pasi.

Pada detik yang sama, sesosok manusia muncul di balik bayangan hitam. Itu Gabriel. Pandangan Sabrina mulai kabur ketika mencoba memfokuskan diri pada kedatangan Gabriel,

“Apa... apa yang terjadi kepadaku?”

Gabriel bersedekap, menatap Sabrina dengan pandangan tanpa ekspresi. “Ini adalah akibat kelicikanmu sendiri, Sabrina. Kau menipu Rolan supaya memberikan darahnya kepadamu. Apakah kau tidak tahu bahwa tidak ada sebelumnya manusia yang menerima darah dari dua pemegang kekuatan yang bertolak belakang secara bersamaan?” Mata Gabriel menyipit, mengamati Sabrina, “Reaksinya memang lambat, tetapi sepertinya darah yang bercampur itu telah menjadi racun, dan sekarang racun itu menjalari seluruh pembuluh darahmu.”

“Tidak!” Sabrina mencoba berteriak meskipun susah payah, “Tidak! Aku mau sembuh! Aku tidak mau mati!”

“Sayang sekali Sabrina, kau telah bertindak licik tanpa memikirkan akibatnya, sekarang kau harus menanggung konsekuensinya, lagipula memang sudah takdirmu untuk mati sejak lama. Selamat tinggal Sabrina.” Gabriel tersenyum sinis, lalu bayangan hitam menelannya dan dia menghilang, tidak mempedulikan teriakan Sabrina yang memanggil-manggil dan meminta tolong kepadanya.

***

Ketika muncul di kamar Selly, Gabriel mengerutkan keningnya melihat ekspresi Selly yang marah.

“Ada apa?”

“Katakan padaku, apakah kau yang menolongku di tengah hujan waktu itu.” Selly langsung mengutarakan pertanyaannya.

Gabriel mengangkat alisnya, 

“Apakah itu penting?”

“Penting.” Setidaknya bagi Selly, siapapun yang menolongnya waktu itu telah jelas-jelas menenangkannya, mengecupnya lembut dan mengucapkan janji bahwa dia selalu ada, kalau memang bukan Rolan yang melakukannya, kalau memang Gabriel yang melakukannya, Selly harus mencoba memahami apa motif Gabriel melakukannya.

Gabriel sendiri mengamati perubahan ekspresi Selly, dan tersenyum

“Ya. Aku menolongmu yang sedang pingsan di tengah hujan itu, Selly.”’

“Apakah kau juga yang membawaku ke apartemen dan sebagainya?”

Mata Gabriel menajam, “Ya. Aku yang membawamu ke apartemen, kau basah kuyup jadi aku menggantikan pakaianmu.” Gabriel tersenyum melihat pipi Selly yang merah padam, “Aku membaringkanmu di ranjang dan menyelimutimu.”

Dan apakah Gabriel menciumnya?

Selly ingin menanyakan pertanyaan itu, tetapi dia takut menerima kebenarannya. Bernarkah bukan Rolan yang melakukannya? Benarkah Gabriel yang waktu itu mengusap air matanya, mengecupnya lembut dan berjanji bahwa lelaki itu akan selalu ada?”

Tetapi Kenapa?

Gabriel tampak begitu misterius, “Kau menangis dan memanggil nama Rolan, kau terluka karena lelaki itu – sekali lagi – mengingkari janjinya kepadamu.” Tiba-tiba saja Gabriel melangkah maju, membuat Selly membeku, jemari ramping Gabriel terulur dan menyentuh pipi Selly, lembut.

“Tahukah kau bahwa sang pemegang kekuatan tidak akan bisa menggunakan kekuatannya kepada cinta sejatinya? Rolan sudah pasti tidak bisa menggunakan kekuatannya kepadamu. Dia tidak bisa melacakmu, tidak bisa membaca isi hatimu, tidak bisa melakukan apapun kepadamu dengan kekuatan otaknya yang 95% itu. Sang cinta sejati adalah satu-satunya orang yang kebal dengan sang pemegang kekuatan.” 

Wajah Gabriel mendekat, suaranya setengah berbisik, bibirnya dekat sekali dengan bibir Selly “Dan akupun tidak bisa menggunakan kekuatanku kepadamu, kau juga kebal terhadapku. Jadi kau tidak perlu takut kepadaku, Selly. Aku bisa menghancurkan seluruh dunia dengan kekuatanku, tetapi aku tidak akan pernah bisa melukaimu, barang setitikpun.”

Selly terpana, bingung mendengar kata-kata Gabriel itu.

“Aku akan melepaskanmu, Selly.” Gabriel melanjutkan. “Pertarungan ini, aku menyadari tidak akan ada gunanya. Aku sudah tidak tertarik lagi bertarung. Kau akan kulepaskan dan kau bisa bersama Rolanmu itu.”


Kemudian tanpa kata-kata lagi, Gabriel menghilang,

Bersambung ke part 22


Kamis, 29 Agustus 2013

The Vague Temptation Part 13



Nathan setengah membanting pintu kamarnya, napasnya terengah-engah dan dia mengernyikan keningnya, benar-benar mengernyit menahankan sakitnya. Keringat dingin mengalir di dahinya dan dia merasakan sakit yang luar biasa di seluruh tubuhnya.

Nathan mencoba menarik napas, tetapi aroma anyir tercium dari hidungnya yang dipenuhi darah segar, mengalir tanpa henti sehingga mencapai level menakutkan.



Dia mengusap darah dari hidungnya dengan sapu tangannya, lalu membuang sapu tangan yang sudah berubah warna menjadi merah itu ke lantai. Kakinya gemetar,  melangkah terseret-seret berusaha mencapai ranjang, tetapi rupanya ranjang itu terlalu jauh untuknya....

 Dan tubuhnyapun rubuh ke lantai, kehilangan kesadarannya.

*** 

Ketika Nathan membuka matanya, dia berada di ruangan putih yang samar. Matanya mengerjap karena terpaan sinar lampu yang kontras dengan kegelapan yang selalu meliputinya. Dan kemudian, setelah berhasil mengatasi cahaya itu, Nathan mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan.

Yang pertama dilihatnya adalah Albert Simon. Lelaki tua itu tampak muram, duduk di kursi di sebelah tempat tidurnya.

"Kakek sudah pulang dari London?" Nathan menyapa dengan suara serak dan lemah, membuat Albert Simon mengangkat kepalanya dan menghela napas panjang melihat kondisi Nathan. Cucunya itu tampak pucat pasi.

"Aku pulang dan menemukanmu pingsan di kamar, aku membawamu ke rumah sakit secara diam-diam." Mata Albert Simon menyala tajam, "Kenapa kau tidak memberitahuku sebelumnya tentang penyakitmu, Nathan?"

Nathan memiringkan kepalanya di atas bantal, tersenyum skeptis, tatapan matanya tampak kosong.

"Apa bedanya aku memberitahumu atau tidak, kakek? Tidak akan ada bedanya bagiku."

"Tentu saja ada!" Albert Simon menyela, nadanya keras, "Kau cucuku dan kau mengidap penyakit yang sedemikian parah, tentu saja aku sebagai kakekmu akan melakukan segala cara untuk menyelamatkanmu, kita akan mencari dokter-dokter ternama di luar negeri dan..."

"Tidak." Nathan menyela, bersikeras, "Aku akan tetap berada di sini kakek, sampai aku menyelesaikan apa yang menjadi tujuanku."

Alebert Simon menatap cucu lelakinya itu dengan sedih, cucu yang dulu tidak diketahuinya dan baru datang kepadanya setelah tahun-tahun berlalu. Apakah sekarang semuanya sudah terlambat?

"Sebegitu besarnyakah tekadmu untuk mengalahkan Daniel? Apakah kau masih menyimpan kebencian yang begitu mendalam kepada anak lelakiku, Nathan? Kepada ayah kandungmu? Tidak bisakah kau meninggalkan kebencianmu itu dan kita bisa hidup bersama dengan damai serta mengganti tahun-tahun yang hilang?"

Nathan tidak menampakkan reaksi apapun terhadap kata-kata Albert Simon, dia memejamkan matanya, tampak begitu pucat dan rapuh.

"Aku lelah, kakek. Aku ingin istirahat." Dan Nathan tetap memejamkan matanya, tidak mempedulikan Albert Simon yang duduk di sana, menanti jawabannya.

"Kau bisa semakin parah dan tidak tertolong lagi, Nathan." Albert Simon bergumam lagi, mencoba mengusik Nathan, tetapi cucunya yang keras kepala itu tetap tidak bergeming.

Lama kemudian, setelah Albert Simon benar-benar yakin bahwa Nathan tidak ingin melanjutkan percakapan dengannya, Albert Simon menghela napas panjang dan beranjak dari duduknya.

"Aku akan pergi Nathan, beristirahatlah." Albert Simon menatap wajah Nathan, yang tetap memejamkan matanya tanpa ekspresi. Entah Nathan benar-benar tertidur atau cucunya itu berpura-pura tidur agar Albert Simon menyingkir....

Kemudian Albert Simon  melangkah pergi, meninggalkan ruangan perawatan itu dan membiarkan Nathan terbaring sendirian di sana.

Setelah yakin bahwa Albert Simon sudah pergi dari ruangan itu, Nathan membuka matanya. Tatapan matanya menerawang, ada kesakitan di sana yang tertahan di sana.

*** 

Alexa sedang melangkah menuju ruang tamu ketika dia melihat Albert Simon datang, dia baru saja menelepon papanya dan dipenuhi oleh rasa syukur yang amat dalam karena kondisi ayahnya semakin membaik, banyak kegiatan yang diberikan di panti rehabilitasi tersebut, baik kegiatan olahraga, bimbingan rohani maupun sharing antara penghuni panti rehabilitasi tersebut, sehingga membuat papanya tidak punya waktu lagi untuk depresi apalagi menenggak minuman beralkohol.

Alexa benar-benar berharap kalau papanya akan benar-benar sembuh seperti sediakala dan bisa menghilangkan ketergantungannya pada alkohol.

Ketika melangkah memasuki ruang tamu, Alexa tertegun melihat Albert Simon, lelaki itu sedang duduk termenung di sofa, dengan kedua siku bertumpu di kakinya dan kedua telapak tangan terkepal, di dahinya. Bahkan bahu Albert Simon tampak lunglai seolah-olah menanggung beban berat. Lelaki itu meskipun sudah berumur selalu tampak sehat dan penuh vitalitas di mata Alexa, dan baru sekarang ini Alexa melihat kondisi Albert Simon yang tampak lemah dan rapuh.

Ada apa sebenarnya?

Mungkin karena Alexa membuat suara gemerisik tanpa disadarinya, Albert Simon mengangkat kepalanya dan pandangannya langsung bertumpu kepada Alexa. Ada senyum lemah di sana.

Alexa mau tak mau mendekat, menyapa dengan sopan.

"Anda sudah pulang dari London?"

Albert Simon hanya menganggukkan kepalanya tanpa kehilangan senyumnya, dia lalu menepuk tempat duduk sebelahnya di sofa, 

"Duduklah di sini Alexa, bagaimana kondisimu?"

Alexa mendekat dengan canggung dan duduk di sofa di sebelah Albert Simon, lelaki tua itu memiringkan tubuhnya dan menatap Alexa dengan penuh perhatian.

"Saya baik-baik saja." Ada senyum di bibir Alexa ketika berkata, "Saya baru saja menelepon papa saya, kondisinya semakin membaik, beliau memang butuh berada di panti rehabilitasi itu untuk kesehatannya, dan saya ingin mengucapkan terimakasih kepada anda."

Sekali lagi Albert Simon menganggukkan kepalanya, pandangannya kepada Alexa tampak lembut dan penuh sayang,

"Seharusnya aku melakukannya dari dulu, mencoba menolong papamu." Lelaki tua itu menghela napas panjang sebelum bertanya, "Dan bagaimana keadaanmu dengan dua cucuku? Apakah kau bisa lebih mengenal mereka beberapa waktu terakhir ini?"

Alexa langsung teringat pada sifat Nathan yang sopan, ramah dan lembut tetapi seperti menyimpan sesuatu yang dalam dan rahasia di dirinya. Sedangkan Daniel... lelaki itu tidak menutupi apapun, sifatnya memang seperti itu, galak, tegas dan selalu blak-blakan dalam berkata-kata. Yah. Dengan beberapa hari tinggal di mansion ini saja, Alexa sudah memperoleh pengetahuan yang lebih jauh tentang dua bersaudara itu.

'Ya. Saya lebih mengenal mereka sekarang." Alexa tidak bisa menyembunyikan senyum miris di bibirnya, dan itu tidak luput dari perhatian Albert Simon, lelaki itu terkekeh pelan,

"Maafkan kelakuan cucu-cucuku. Mungkin kebandelan mereka menurun dari kakeknya." Albert Simon mengedipkan sebelah matanya menggoda, membuat Alexa melihat gurat-gurat masa lalu di wajah Albert Simon, lelaki tua itu pasti sangat tampan di masa mudanya, ketampanan yang menurun kepada keturunannya.


Tetapi senyum itu tidak bertahan lama, tiba-tiba wajah Albert Simon tampak muram, seperti kemuraman yang melingkupinya sebelum Alexa datang tadi, lelaki itu menatap Alexa dengan serius,


"Alexa.... apakah kau sudah bisa menentukan pilihanmu? Aku tahu mungkin ini bisa mempengaruhi pilihanmu, tetapi aku harus mengatakannya, Aku...."


"Kakek sudah pulang rupanya."


Suara Daniel yang tiba-tiba muncul membuat Albert Simon menghentikan kata-katanya, Alexa dan Albert Simon menoleh dan mendapati Daniel sedang bersandar di ambang pintu, tampak dingin dan kejam seperti biasanya.


Albert Simon menelan ludah, sudah pasti tidak jadi mengungkapkan entah apa yang tadi ingin diungkapkannya. Lelaki itu menganggukkan kepalanya dan menatap Daniel.


"Ya, aku baru kembali beberapa saat lalu. Apa kabar Daniel?"


Daniel mencibir, dan menjawab dengan datar, "Keadaanku masih sama seperti ketika sebelum kau pergi kakek." mata lelaki itu menelusuri sekeliling ruangan, "Dimana Nathan? biasanya dia akan langsung menempel kepadamu ketika kau pulang?"


Ada sepercik kegugupan di mata Albert Simon, Alexa sempat melihatnya. Tetapi itu hanya beberapan detik, dengan cepat Albert Simon menutupinya hingga Alexa tidak yakin dengan apa yang barusan dia lihat.


"Aku tidak tahu dimana Nathan." Albert Simon beranjak dari duduknya dan berdiri dengan tidak nyaman, "Mungkin dia sedang ada urusan diluar, ini hari libur bukan?....kurasa aku akan ke kamarku dan beristirahat, perjalanan kemari sungguh melelahkan." Lelaki tua itu melemparkan senyuman permintaan maaf kepada Alexa dan kemudian melangkah pergi.


Tinggal Daniel dan Alexa yang berada di ruangan itu, Alexa mengamati Daniel yang bersandar dengan santai di pintu. Lelaki itu seperti biasanya, tampak tampan. Mata Alexa menelusuri bibir Daniel dan kemudian pipinya langsung memerah karena ingatan tentang ciumannya bersama Daniel di balkon itu langsung menghantamnya.



Daniel sepertinya mengetahui apa yang ada di benak Alexa, mungkin karena dia melihat pipi Alexa yang tiba-tiba merah padam.


"Apakah kau mau pergi bersamaku?" tiba-tiba Daniel bertanya, "Kau tidak ada acara kemanapun bukan di hari libur ini?"


Sebenarnya ada. Alexa ingin mengunjungi papanya di panti rehabilitasi mumpung hari ini tanggal merah. 


"Tidak bisa, aku ada acara."


Seketika itu juga tatapan Daniel menajam, "Kau akan pergi bersama Nathan?"


Alexa mengerutkan keningnya, "Bukan. Aku tidak tahu Nathan ada di mana. Aku akan pergi mengunjungi papaku."


"Di panti rehabilitasi?" Daniel tampak berpikir sejenak, "Aku akan mengantarmu." sambungnya kemudian, dengan nada suara tegas tak terbantahkan.


"Tidak perlu!" Alexa setengah berteriak untuk menolak, dia tidak bisa membayangkan menghabiskan hari liburnya bersama Daniel, apalagi dia akan menemui papanya. Dia tidak siap mempertemukan Daniel dengan papanya.


Sementara itu Daniel hanya mengangkat alisnya menghadapi penolakan Alexa, tetapi kemudian lelaki itu menyipitkan matanya dan tatapannya berubah menantang,


"Aku bilang aku akan mengantarmu, maka aku akan mengantarmu. Kau tidak akan bisa menolaknya." Tanpa diduga, Daniel meraih pergelangan tangan Alexa dan setengah menyeretnya ke garasi, tidak peduli dengan Alexa yang meronta dan memprotes mencoba melepaskan diri. Lelaki itu membukakan pintu mobil penumpang dan mendorong Alexa masuk, lalu memutari mobil dan duduk di kursi kemudi. 


Setelah menjalankan mobilnya keluar garasi, barulah Daniel menoleh ke arah Alexa, 


"Silahkan, buatlah senyaman mungkin." gumamnya dengan nada menjengkelkan.


Alexa langsung membelalakkan matanya ke arah Daniel, "Apakah ini yang akan selalu kau lakukan? Memaksakan kehendak dan kemauanmu, tidak peduli pada pendapat orang lain?"


Daniel menatap lurus ke depan sambil menyetir kemudi mobilnya, ada senyum misterius di sana,


"Aku hanya memaksa kalau memang diperlukan." gumamnya tenang, sama sekali tidak mempedulikan kejengkelan yang dilemparkan oleh Alexa.


*** 


Nathan menatap dokter itu, dokter Beni, dokter yang merawatnya segera setelah dia mengetahui penyakitnya ini. Matanya hampa, seolah sudah tahu apa yang akan dikatakan oleh dokter itu.


"Kau pasti sudah tahu bagaimana akibatnya kalau kau tidak menjaga dirimu, Nathan. Penyakitmu akan semakin parah, dan mungkin kali berikutnya akan membahayakan nyawamu."


Nathan memalingkan mukanya, wajahnya memang masih nampak pucat pasi, tetapi sudah ada rona di sana, penanganan dokter telah mengembalikan cahaya pada wajahnya. Ekspresi Nathan tampak sedih.


"Aku tahu waktuku sudah tidak lama lagi, dokter. Karena itulah aku berusaha melakukan apa yang menjadi hutangku selama ini. Aku sudah bersumpah akan menyelesaikannya, jadi akan kuselesaikan."


"Meskipun itu membahayakan nyawamu?" dokter Beni mengerutkan keningnya, "Pada akhirnya meskipun kau menyelesaikan apa yang menjadi hutangmu itu, kau akan berakhir dalam kondisi kritis dan mungkin kehilangan nyawa, lalu apa yang akan kau dapatkan, Nathan?"


Nathan memejamkan matanya, dia mengenang lagi, ingatan akan ibunya yang selalu menangis diam-diam ketika Nathan menanyakan tentang ayah kandungnya, mengingat ibunya yang semakin kurus, semakin sakit-sakitan karena bekerja keras seumur hidupnya, mengingat ibunya yang mati sia-sia dalam kemiskinan dan kepedihan.


Itu semua sebanding. Nathan rela mati, asalkan semua dendamnya sudah terbalaskan.


*** 


Perjalanan mereka cukup panjang, sampai kemudian mereka memasuki jalan menuju panti rehabilitasi yang cukup terkenal itu. Panti rehabilitasi itu dibangun sekitar sepuluh tahun yang lalu, mengkhususkan diri pada pasien yang kecanduan obat-obatan terlarang dan alkohol, diciptakan dengan konsep asri bersahabat dengan nuansa pedesaan yang sejuk dan pemandangan alam yang indah, dengan para pegawai yang ramah dan bersahabat.


Angin dingin nan sejuk langsung menerpa pipi Alexa ketika mereka turun dari mobil di halaman luas panti rehabilitasi tersebut, Daniel melangkah mendahului Alexa menaiki tangga, dan mereka memasuki lobby panti rehabilitasi tersebut, 


Seorang resepsionis ramah langsung menyambut mereka dengan senyum lebarnya, Alexa langsung menyatakan maksudnya untuk menjenguk papanya.


Resepsionis itu melirik ke arah jam di dinding kemudian tersenyum meminta maaf, 


"Mungkin anda berdua harus menunggu sekitar satu jam lagi untuk bisa mengunjungi pasien di panti ini. Kami menerapkan disiplin yang cukup ketat dengan jadwal teratur di sini, jam besuk baru dibuka satu jam lagi sampai dengan tiga jam ke depan, pada jam besuk tersebut anda bisa bebas mengunjungi pasien di kamarnya." resepsionis itu memberikan kartu tanda masuk kepada Alexa dan Daniel, "Selama menunggu jam besuk anda bisa duduk di ruang tunggu yang kami sediakan di ruang samping,"


Daniel menerima kartu tanda masuk dari resepsionis dan melirik jam tangannya, "Saya rasa kami akan menunggu di cafe sebelah dan akan kembali ke sini satu jam lagi." 


Setelah menganggukkan kepalanya kepada sang resepsionis, Daniel mengamit lengan Alexa dan mengajaknya keluar sambil menggerutu.


"Panti rehabilitasi ini masih sama saja seperti dulu. Disiplin seperti penjara." omelnya kesal.


Alexa menoleh dan menatap Daniel penuh tanda tanya, "Seperti dulu? Kau pernah berkunjung kemari sebelumnya?"


Mata abu-abu Daniel menggelap, seperti asap ketika bergumam. "Aku dulu mantan penghuni sini, usiaku baru limabelas tahun ketika dimasukkan kemari, terjerumus dalam obat-obatan terlarang yang hampir merusak hidupku." Senyum Daniel tampak pahit ketika menatap Alexa, "Aku dulu remaja pemberontak yang mencari perhatian ayahku, lelaki jahat itu, yang terlalu sibuk dengan egonya sendiri daripada mengurusi keluarganya. Hingga aku sampai di titik mempertaruhkan nyawaku." Daniel melirik panti rehabilitasi itu dengan muram, "Dan meskipun pahit, kuakui panti rehabilitasi itu telah menyelamatkan nyawa dan kehidupanku."


Keterusterangan Daniel membuat hati Alexa tersentuh. Lelaki itu tidak main-main ketika mengatakan bahwa dia akan membuka segalanya kepada Alexa, pengakuannya tentang masa lalunya di panti rehabilitasi ini menunjukkan bahwa Daniel tidak keberatan ketidak sempurnaannya terbuka di depan Alexa.


"Aku harap papaku bisa sepertimu, sembuh dan terselamatkan." gumam Alexa kemudian, tersenyum lembut.


Mata Danie melembut juga mendengar perkataan Alexa, "Pasti, kalau papamu bertekad kuat, dia akan sembuh." Lelaki itu menghela Alexa berjalan melewati pagar besar panti rehabilitasi itu, "Ayo, aku tahu cafe yang menyediakan makanan kecil dan minuman enak di sebelah panti ini, kita bisa makan sambil menunggu jam besuk tiba."


***


Albert Simon mengerutkan keningnya ketika memasuki ruangan perawatan Nathan dan menemukan cucunya itu sudah mengenakan pakaian rapi dan berkemas,


"Kau mau kemana Nathan?"


Nathan mendongakkan kepalanya dan tersenyum melihat kakeknya, "Aku akan pulang. Kondisiku sudah baikan."



"Kondisimu belum membaik." Albert Simon baru saja mengunjungi dokternya Nathan, jadi dia tahu kondisi cucunya itu. "Kau masih harus dirawat."


"Tidak ada yang bisa aku lakukan di sini, kakek. Lagipula masih banyak yang harus aku kerjakan. Ini hari libur, dan aku berencana mengajak Alexa keluar, ke toko buku atau apa untuk mengenal lebih dekat."


"Alexa sudah pergi bersama Daniel untuk mengunjungi papa Alexa di panti rehabilitasi." Albert Simon bergumam, dan seketika itu juga menyesal akan perkataannya yang tidak dipikir dulu ketika melihat ekspresi Nathan yang langsung membeku di sana.


"Alexa pergi bersama Daniel?" Nathan menggumam, suaranya seperti kesakitan.


Albert Simon menghela napas panjang, "Jangan pikirkan tentang Alexa dan Daniel dulu, Nathan, lebih baik kau pikirkan kondisimu, lagipula kau sepertinya masih harus banyak beristirahat."


"Tidak." Nathan menyela, ekspresinya tampak keras kepala, "Aku akan menyusul mereka, di mana alamat panti rehabilitasi itu, kakek?"


Bersambung ke Part 14


Senin, 26 Agustus 2013

The Vague Temptation Part 12

( buat yg lupa krn uda lama heee ) : Cuplikan Part 11

Lamunannya terhenti oleh sebuah ketukan pelan di pintu kaca balkonnya. Alexa terduduk dan menatap gugup ke arah balkonnya dengan waspada.

Dia mengernyit ketika melihat Daniel berdiri di sana, tampak kusut dan jengkel. Lelaki itu menempelkan telapak tangannya di kaca pintu yang terkunci itu, menatap Alexa dengan tatapan tajam mata abu-abunya yang mengintimidasi.

"Buka pintunya Alexa, aku ingin bicara." Suara Daniel terdengar memaksa dan tak terbantahkan, membuat Alexa duduk diranjang, kebingungan harus melakukan apa.

Bersambung ke Part 12



The Vague Temptation Part 12

"Buka pintunya Alexa." Kali ini suara Daniel makin tegas, tak terbantahkan. 

Alexa mengawasi ekspresi Daniel yang keras kepala, dan melihat bibir lelaki itu yang menipis tegas, dia langsung tahu bahwa lelaki itu tak akan pergi sebelum Alexa melakukan apa yang diinginkannya. Alexa tidak akan ragu bahwa Daniel mampu menunggu semalaman di sana, di luar pintu balkonnya dan mengetuk-ngetuknya terus-terusan, sampai Alexa membuka pintu.

Dia menarik napas panjang, sekali lagi berusaha mengawasi mata abu-abu yang berkilat misterius di tengah temaramnya lampu teras balkon itu.

Kemudian Alexa berdiri, melangkah ke arah balkon. Tepat berada di depan pintu kaca itu, berhadap-hadapan dengan Daniel. Tetapi dia masih tidak membuka pintu itu.

"Ada apa?" Alexa menegakkan dagunya, berusaha bersikap berani menghadapi mata abu-abu Daniel yang tajam.

Daniel menyipitkan matanya, dan ketika berbicara, suara lelaki itu terdengar setengah mendesis,

"Buka pintunya, Alexa..."


Atau apa? Pertanyaan itu seketika muncul di benak Alexa. Apa yang akan dilakukan oleh Daniel kalau dia menolak lelaki itu? Akankah dia memaksa? bertindak nekad seperti mendobrak pintu kaca yang rapuh ini?

Alexa menelan ludahnya, sekali lagi dia menghela napas panjang, dan pada akhirnya membuka pintu itu.

Sejenak jantungnya berdebar, harap-harap cemas kalau Daniel akan menyerbu masuk dan bersikap kasar kepadanya. Tetapi Daniel tidak berbuat apa-apa. Pintu penghalang di antara mereka berdua sudah terbuka, mereka berdiri tanpa batasan apapun lagi, dan yang dilakukan Daniel hanyalah berdiri di sana, tanpa bergerak seincipun dan menatap Alexa dengan mata abu-abunya yang intens.

"Apa yang kau inginkan, Daniel?" akhirnya Alexalah yang memberanikan diri untuk membuka pembicaraan terlebih dahulu.

"Aku ingin memberikan penjelasan." bibir Daniel menipis dan bahkan terlihat hampir tak bergerak ketika lelaki itu berbicara, "Aku tahu, kejadian di kantor siang tadi akan membuatmu bertanya-tanya mengenai hubunganku dengan Renata "

Alexa memang bertanya-tanya. Masih terbayang di benaknya tatapan sedih dan penuh damba yang dilemparkan oleh Renata, ketika melihat Daniel pergi meninggalkan ruangan itu dengan semena-mena. 

"Mungkin itu tidak ada hubungannya denganku." Alexa bergumam lemah, menahan diri.

Daniel langsung menggelengkan kepalanya, "Semuanya sekarang ada hubungannya denganmu, Alexa. Aku sudah bilang bahwa aku akan mengejarmu, bahwa aku akan membuatmu memilihku, dan itu tidak bisa terjadi kalau aku tidak jujur kepadamu." Daniel mengerutkan keningnya, "Lagipula, kau lebih baik menerima informasi langsung dariku daripada kau menerimanya dari Nathan" Ekspresi Daniel mengeras, "Sekarang, apakah kau akan mengizinkan aku masuk?"

Mengizinkan Daniel masuk ke kamarnya? Mengizinkan lelaki yang penuh aura dominan dan tidak bisa ditebak ini masuk ke kamarnya?

Alexa melemparkan pandangan gugup ke dalam kamarnya, lalu menatap Daniel dengan tatapan tidak yakin, entah kenapa dia merasa seperti anak ayam tak berdaya yang bingung apakah akan memasukkan serigala besar dan jahat ke dalam rumahnya...

Daniel menatap ekspresi Alexa dan mendecakkan lidahnya dengan kesal, lelaki itu menghela napas panjang dan mengangkat bahunya.

"Oke. Kurasa bukan ide bagus aku masuk ke kamarmu, Keluarlah, kita bicara di balkon saja."

Alexa menatap Daniel dan menyetujui, bahwa berbicara di balkon akan lebih aman dan nyaman baginya. Dia hendak melangkah ke luar balkon, tetapi Daniel menahannya, mambuatnya terkejut.

"Ambil jaketmu dulu dan kenakan, di luar dingin."

Di luar memang dingin, angin malam langsung menampar pipinya ketika dia melangkah keluar dari balkon, tetapi bukan hal itu yang membuatnya ternganga, melainkan perhatian yang diberikan Daniel kepadanya. Penampilan Daniel yang dingin dan keras itu membuatnya tampak jahat dan menakutkan, sehingga Alexa tidak menyangka bahwa Daniel bisa juga memberikan perhatian kepadanya.

Tiba-tiba saja perasaannya terasa hangat dan pipinya memanas.

"Baiklah, tunggu dulu." Alexa tiba-tiba merasa gugup, dia membalikkan badan, meraih sweater tebal miliknya yang berwarna cokelat tua dan mengenakannya dengan buru-buru. Daniel masih menunggunya di depan pintu kaca balkonnya, dan lelaki itu mengangkat alisnya ketika melihat penampilan Alexa,

"Apakah kau harus selalu mengenakan pakaian model nenek-nenek seperti itu?" lelaki itu jelas-jelas sedang menghina sweater tua yang dikenakan Alexa.

Alexa langsung merasa malu dan kesal, astaga, ternyata kebaikan dan perhatian Daniel hanya bertahan beberapa detik. Setelah itu lelaki itu kembali kepada sifat aslinya yang kasar dan suka mencelanya.

Alexa memutuskan untuk mengabaikan hinaan Daniel mengenai pakaian yang dikenakannya, dia keluar dari kamar itu dan melangkah menuju balkon, menatap Daniel dengan cemberut.

"Oke aku sudah di sini, apa yang ingin kau bicarakan?" Alexa berdiri menghadap ke arah pagar balkon berwarna putih setinggi pinggangnya, di depan balkon itu ada taman mini yang ditumbuhi bebungaan indah berwarna merah dan pink bercampur dengan sulur-sulur daun hijau yang indah. Aroma bebungaan tercium samar ketika dia berdiri di sana.

Daniel sendiri langsung berdiri di sebelah Alexa, dia jauh lebih tinggi dibandingkan Alexa yang mungil. Sekarang mereka berdua berdiri bersisian di pagar balkon itu, menatap ke arah langit gelap berbintang yang terbentang luas di hadapan mereka.

"Renata adalah mantan kekasihku." Daniel memulai, hening sejenak untuk melihat reaksi Alexa, ketika dia tidak menemukan reaksi apapun, Daniel melanjutkan, "Kami memang bersama karena sepertinya sudah seharusnya, dia berasal dari keluarga yang merupakan sahabat keluargaku, dia memenuhi semua kriteria untuk menjadi calon isteri dan mamaku menyukainya...." Daniel mengangkat bahu, "Aku pada waktu itu sudah terlalu lelah dengan petualangan cintaku, dan Renata tampaknya adalah perempuan yang tepat untukku berlabuh."

Kata-kata itu sedikit mencubit perasaan Alexa. Renata perempuan yang sempurna, tentu saja dia tahu hal itu. Bahkan penampilan fisiknyapun sempurna, jika dibandingkan dengan Alexa..... tentu saja Alexa jauh sekali di bawahnya, mungkin dia bisa berada dalam pilihan Danielpun hanya karena keadaan yang menentukan. Dia hanyalah seorang perempuan biasa, dari keluarga biasa saja, yang kebetulan mempunyai nenek yang ternyata adalah cinta sejati kakek Daniel. Tanpa itu semua, Alexa yakin, Daniel mungkin tidak akan memilihnya.

Daniel mengamati Alexa yang berdiri di sebelahnya dengan tatapan mata intens, "Aku sudah mencoba menjalin hubungan dengan Renata, kami memang cocok." mata Daniel menerawang, mengenang. "Dia teman bicara yang baik, sangat cerdas dan aku menyukai menghabiskan waktu bersamanya, berdiskusi, membicarakan segala hal dan menambah pengetahuan masing-masing. Pada awalnya aku merasa bahwa Renata adalah perempun yang cocok untukku di segala sisi. Aku bahkan sudah memutuskan untuk melamarnya, kami sudah  memilih cincin bersama." Daniel menghela napas panjang, "Sayangnya pada saat sudah hampir terlambat, aku menyadari bahwa itu semua tidak cukup."

Alexa mendongakkan kepalanya, menatap Daniel dengan penuh rasa ingin tahu

"Apanya yang tidak cukup?"

"Perasaan itu... perasaan lengkap ketika kau sedang bersama dengan orang yang tepat. Aku tidak menemukannya ketika aku bersama dengan Renata. Aku merasa nyaman, ya itu memang kurasakan, tetapi aku selalu merasa ada yang kurang. Renata sangat cocok menjadi sahabat, teman berdiskusi dan orang yang bisa dipercaya, tetapi sebagai pasangan.... aku merasa bukan dia orangnya." Daniel memiringkan tubuhnya sehingga menghadap Alexa, "Di detik terakhir aku merasa bahwa aku harus membatalkan semuanya, bahwa tidak seharusnya aku melanjutkan hubunganku dengan Renata, dia mencintaiku dan sama sekali tidak bersalah... kalau aku melanjutkan hubunganku dengan Renata, aku tahu pada akhirnya aku hanya akan menyakitinya.... Tetapi untuk memutuskan hubunganku dengan Renata pada saat itu tidaklah mudah, dia perempuan yang baik, sama sekali tidak bersalah, belum lagi keluarga kami yang bersahabat akrab, aku tidak bisa melakukannya begitu saja karena itu bukan hanya akan melukai Renata, namun juga melukai banyak pihak. Aku harus menemukan alasan yang benar-benar tepat ketika harus meninggalkan Renata, dan kemudian, saat aku sedang kebingungan untuk mengakhiri hubunganku dengan Renata, kakek datang dengan idenya tentangmu."

"Jadi?" Alexa bertanya lagi, menunggu kata-kata lanjutan dari Daniel.

"Jadi aku menggunakannya untuk memutuskan hubunganku dengan Renata." Daniel melemparkan tatapan mata bersalah kepada Alexa. "Itu memang salah satu cara pengecut yang mudah, tetapi setidaknya, kalau aku bilang bahwa aku harus meninggalkan Renata demi keluargaku, akan lebih tidak menyakitkan baginya daripada aku bilang bahwa aku meninggalkannya karena aku tidak merasakan apapun kepada Renata, bahwa aku sama sekali tidak bisa membayangkannya sebagai pasanganku."

Kali ini Alexa yang menghela napas panjang, dia masih ingat tatapan mata Renata ketika melihat Daniel waktu itu, tatapan mata penuh cinta, bahkan meskipun sudah disakiti dan ditinggalkan oleh Daniel, Renata masih mencintai lelaki itu..

"Itu akan terasa sama menyakitkannya bagi Renata." Alexa bergumam, menyuarakan pikirannya. Dia perempuan, sedikit banyak dia bisa merasakan apa yang dirasakan Renata.

Daniel menganggukkan kepalanya, tidak membantah kata-kata Alexa.

"Aku tahu. Karena itulah aku bersikap membenci dan menjauhinya. Aku berusaha membuatnya membenciku, kau tahu. Agar dia bisa berpaling dan membuka hatinya kepada lelaki lain. Sayangnya, sepertinya Nathan telah berhasil membuatnya berpikir yang sebaliknya." Mata Daniel menyipit, "Entah apa yang dikatakan oleh Nathan demi membuat Renata mau masuk ke perusahaan ini, tetapi aku bisa melihat harapan itu menyala lagi." Mata Daniel berbinar penuh kebencian ketika dia membicarakan Nathan, "Nathan bersikap kejam, Alexa, dia memanfaatkan Renata demi mencapai tujuannya. Aku tidak akan menjelek-jelekkan Nathan di depanmu karena itu tidak fair, tetapi kuharap kau bisa melihat sendiri apa yang diperbuat Nathan."

Yah... Nathan memang tidak menutup-nutupi perbuatannya, lelaki itu mengaku sendiri bahwa dia memang sengaja memasukkan Renata ke perusahaan supaya Alexa bisa mengetahui kebenaran tentang Daniel.

Jadi manakah yang benar? Nathan atau Daniel?

Alexa mengerutkan keningnya, bingung dengan pikiran yang berbaur di benaknya, pada akhirnya dia mengangkat kepalanya dan menatap Daniel penuh pertanyaan.

"Dan sekarang, kau memutuskan akan mengejarku.... kenapa kau melakukan itu Daniel? Apakah demi memenangkan pertarunganmu dengan Nathan?"

Mata abu-abu Daniel berkilat, "Itu salah satu tujuanku. Aku akan bersikap jujur kepadamu, Alexa. Motivasi utamaku adalah mengalahkan Nathan, demi mamaku demi keluargaku, aku harus mempertahankan nama baik keluargaku. Tetapi aku juga melihat bahwa aku mungkin bisa menghabiskan hidupku bersamamu."

Lelaki ini mengatakan bahwa dia tidak bisa membayangkan Renata yang begitu sempurna sebagai pasangannya, tetapi dia berkata bahwa dia bisa menghabiskan hidupnya bersama Alexa... kenapa? apa yang ada pada dirinya yang tidak ditemukan Daniel pada Renata? Selain kemenangan atas Nathan dan kepastian posisi di dalam keluarganya tentu saja...

"Kenapa kau berpikiran seperti itu Daniel?'

"Karena kau berhasil membangkitkan apa yang ada di dalam diriku, sesuatu yang tidak bisa dibangkitkan oleh Renata."

'Membangkitkan apa?" Alis Alexa mengerut semakin dalam.

"Membangkitkan ini." dan kemudian, tiba-tiba saja, tanpa bisa Alexa duga, Daniel begitu saja meraih tubuh mungilnya ke dalam pelukannya, kepala lelaki itu menunduk, dan kemudian mengecup bibir Alexa. Kecupannya lembut, dalam dan panas. Seketika itu juga membuat Alexa meleleh, kakinya terasa lemas, jangankan meronta, untuk menggerakkan tubuhnya saja dia tidak mampu, tubuhnya seolah-olah mencair oleh ciuman panas yang diberikan oleh Daniel....

*** 

Nathan mendongakkan kepalanya ke atas, menatap dua sosok manusia yang sedang berciuman itu dengan tatapan mata menyala. Saat ini, dia sedang berada di dalam mobilnya, yang diparkir dalam gelap dan diam tepat di bawah pohon halaman rumah Albert Simon yang besar.

Daniel mencium Alexa di atas balkon kamar Alexa, dan Alexa bahkan tidak meronta. Perempuan itu tampak pasrah, menerima ciuman Daniel.

Apakah Alexa sudah jatuh ke dalam jerat pesona Daniel?

Kepalan Nathan terasa berdentam-dentam, dan dia merasakan kesakitan itu. Kesakitan yang membuat cairan panas mengalir dari hidungnya, dan keluar hingga membasahi bibirnya.

Nathan meraih sapu tangannya yang berwarna putih dan mengusap cairan yang keluar dari hidungnya, matanya mengernyit ketika melihat darah merah pekat di sapu tangannya. Rasa sakit itu langsung menyerangnya, langsung ke seluruh tubuhnya hingga dia harus berpegangan erat-erat di kemudi mobilnya untuk mengendalikan dirinya.

Gawat... dia harus segera mengunjungi dokternya. Nathan tidak boleh tumbang sekarang, tidak sebelum dia berhasil membalaskan dendamnya dan menginjak Daniel dan seluruh keluarganya di kakinya...

*** 

Daniel melepaskan ciumannya meskipun dia belum melepaskan pelukannya pada Alexa. Mereka berdiri berhadapan, dengan Alexa masih sepenuhnya berada dalam rangkulan lengan Daniel.

Pipi Alexa merah padam ketika matanya menatap bibir Daniel, bibir yang beberapa detik lalu melumat bibirnya dengan cara yang begitu intim dan dalam... tanpa Alexa bisa menolaknya.

Dia seperti sudah jatuh ke dalam mantra sihir, yang membuatnya tak berdaya.

"Kenapa kau menciumku?" Akhirnya Alexa bisa bertanya meskipun suaranya lemah dan bergetar.

Ada senyum samar di sudut bibir Daniel ketika dia menjawab, "Aku menciummu bukan untuk melecehkanmu, Alexa.." Daniel mengangkat jemarinya dan mengusap bibir basah Alexa dengan telunjuknya, "Aku menciummu untuk menunjukkan kepadamu, apa yang tidak bisa dibangkitkan oleh Renata kepadaku, tetapi bisa dibangkitkan olehmu."

"Apa itu?"

"Gairah." Mata Daniel tampak memanas, "Aku merasakannya bahkan ketika pertama kali melihatmu. Dorongan untuk menarikmu langsung ke atas ranjang dan mengunci diri berdua di dalamnya denganmu... melakukan apapun yang aku mau." Senyum Daniel tampak sensual dan intim, "Bahkan aku bisa membayangkan bahwa aku tidak akan merasa bosan meskipun sudah berjam-jam melakukannya."

Gurat merah padam semakin membayangi wajah Alexa, sampai ke lehernya. Dia tersadarkan diri dan langsung mendorong Daniel, melepaskan diri dari pelukan lelaki itu.

"Sebuah hubungan tidak mungkin hanya bisa dijalankan berdasarkan nafsu!" suaranya meninggi, menyuarakan ketidaksetujuannya akan kata-kata Daniel.

Daniel memasang wajah tanpa ekspresi, "Dan begitu juga sebaliknya, sebuah hubungan yang dijalankan tanpa nafsu sama saja membuang-buang waktu." Mata Daniel menyipit, "Aku tahu kau tertarik juga kepadaku, Alexa. Aku bisa merasakan dari ciuman tadi, caramu membalas ciumanku, cara napasmu berubah menjadi cepat. Kita akan sangat cocok bersama, Alexa.'

Alexa mundur selangkah, takut dia akan jatuh ke dalam pesona Daniel, dia mundur lagi, masuk ke dalam kamarnya, menatap Daniel dengan waspada.

"Kurasa sebaiknya kau pergi Daniel, aku sudah cukup menerima penjelasanmu."

Daniel berdiri mengamati Alexa. Hal itu membuat Alexa sadar bahwa posisinya sangat rentan, kalau Daniel mau, lelaki itu bisa memaksanya...

Tetapi ternyata lelaki itu tidak melakukannya, dia hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya,

"Aku akan pergi." Mata abu-abunya tampak begitu pucat di kegelapan malam, "Semoga kau bermimpi indah malam ini Alexa."

Alexa menatap Daniel penuh kemarahan, dia kemudian menutup pintu kaca balkonnya, menarik tirainya rapat-rapat dan kemudian melangkah menjauh dari pintu kaca itu, bisa dedengarnya langkah kaki Daniel yang melompati pagar rendah pembatas balkon ke kamarnya, dan kemudian, ketika dia mendengar pintu balkon kamar Daniel menutup, barulah Alexa bisa menarik napas lega.

Astaga.... jantungnya bahkan masih berdebar kencang, memukul-mukul rongga dadanya hingga Alexa harus meletakkan telapak tangan di dadanya untuk menenangkan dirinya.

Daniel benar-benar mempengaruhinya...

*** 

Ketika memasuki ruangan kerja barunya, Alexa merasakan perasaan tidak nyaman menyentuhnya. Nathan telah menugaskannya menjadi asisten Renata, yang sekarang menjabat sebagai Manager Divisi Legal yang mengurus masalah dan hal-hal yang berkaitan dengan hukum, di perusahaan.

Dengan mengetahui kisah masa lalu Daniel dan Renata, semua ini tentu saja terasa berat bagi Alexa. Dia merasa amat sangat tidak enak. 

Bagaimana perasaan Renata ketika menatapnya? Perempuan yang entah datang darimana dan dianggapnya menjadi alasan Daniel meninggalkannya?

Apakah Renata akan membencinya? 

"Selamat pagi." Alexa segera menyapa, berdiri dengan gugup di sana, ketika melihat Renata sudah duduk di meja kerjanya, dia berada satu ruangan dengan Alexa, beserta empat staff lain yang juga berada di divisi legal, hanya saja meja Renata yang berada di sudut ruangan lebih besar, lebih mewah dan memiliki sudut sendiri yang eksklusif dan indah untuk menerima tamu.

Renata, yang mengenakan setelan kerja warna putih yang elegan mengangkat kepalanya dan menatap Alexa, tatapan matanya tampak ramah, ada senyum di sudut bibirnya, membuatnya tampak begitu cantik,

"Selamat pagi Alexa." gumamnya singkat, lalu menundukkan kepalanya, menekuri kembali pekerjaannya di laptopnya.

Alexa segera melangkah menuju sebuah meja kosong yang pasti diperuntukkan baginya, salah seorang staff langsung mendatanginya dan membantunya menjelaskan mengenai apa saja yang harus dikerjakan di posisi barunya ini.

*** 

"Bagaimana?" Natahan bergumam pelan, menatap Renata yang berdiri di depan mejanya, meletakkan beberapa berkas di mejanya.

Renata mengangkat dagunya, menatap Nathan dengan tatapan mata datar, 

"Bagaimana apanya?"

"Daniel dan Alexa?" pertanyaan itu singkat, tetapi tentu saja Renata sudah tahu maksudnya.

Renata menarik napas panjang, "Daniel, dia menolak berbicara denganku, ketika aku mengejarnya kemarin dia hanya menatapku dengan tatapan mata dingin dan mengatakan bahwa di antara kami sudah tidak ada yang perlu dibicarakan." Wajah Renata tampak sedih, "Aku... aku mulai meragukan bahwa kehadiranku di sini merupakan langkah yang benar."

"Kau belum berusaha apapun kan Renata?" Nathan menatap Renata dengan tatapan tajam, "Setidaknya ketika kau berada di sini, kau bisa lebih dekat dengan Daniel, setidaknya kau bisa memintanya memberikan penjelasan kepadamu, benar begitu bukan?"

Renaya sekali lagi menarik napas panjang, "Entahlah Nathan, tetapi kau benar, setidaknya aku sudah mencoba, dulu aku menyerah dan terpuruk ketika Daniel meninggalkanku begitu saja, sekarang aku tidak mau seperti itu, seperti katamu, aku berhak mendapatkan penjelasan."

Nathan menganggukkan kepalanya, "Dan mengenai Alexa bagaimana?"

Renata tersenyum kecut, "Aku tidak tahu harus mengatakan apa kepadanya, hubungan kami adalah hubungan pekerjaan bukan? Dia adalah staffku, aku tidak mungkin memanggilnya dan kemudian mencurahkan perasaanku tentang Daniel kepadanya."

"Apakah kau membenci Alexa?"

"Benci?" Renata terkekeh, "Tentu saja tidak. Aku tahu Alexa juga tidak memilih untuk ditempatkan ke dalam situasi ini  bukan? Hanya saja aku tidak tahu harus bicara apa kepadanya."

Mata Nathan menyipit, "Kau harus membuatnya sadar, Renata, bahwa Daniel mengejarnya bukan demi cinta, bahwa dia akan membuat pilihan salah kalau menjatuhkan hatinya kepada Daniel." Pandangan Nathan tampak penuh perhitungan, "Apakah kau tidak tahu bahwa mungkin saja Alexa sudah jatuh ke dalam rayuan Daniel? Semalam aku melihat Daniel menarik Alexa ke dalam pelukannya dan menciumnya. Daniel sangat ahli mengenai perempuan, dan Alexa hanyalah perempuan yang lugu, dia hanyalah sasaran lemah dan empuk bagi Daniel."

Renata tertegun. Kata-kata Nathan bahwa Daniel mencium Alexa membuat dadanya terasa sakit, kepiluan menyeruak di sana, membuatnya tak bisa berkata-kata.

*** 

"Kau pasti menyangka kalau aku jahat." Nathan langsung bergumam malam itu, ketika dia memasuki mansion Albert Simon dan mendapati Alexa tengah membaca buku di ruang tengah.

Alexa mengangkat kepalanya, menatap Nathan. Dia duduk di sudut sofa di dekat lampu baca di atas meja kecil, sementara ruang duduk itu hanya disinari lampu kuning yang temaram. "Kenapa aku harus berpikir begitu?"

Bibir Nathan tersenyum tipis, lelaki itu lalu duduk di sofa di seberang tempat Alexa duduk,

"Karena aku memasukkan Renata ke perusahaan ini, membuat situasi terasa tidak nyaman bagi kalian bertiga." Nathan tersenyum meminta maaf, "Maafkan aku, Alexa karena membuatmu terlibat di sini. Sungguh aku harap kau mau mengerti, bahwa apapun yang aku lakukan, sejahat apapun rencanaku untuk mengalahkan Daniel,  aku sama sekali tidak ingin menyakitimu.

Alexa percaya. Nathan tampak begitu tulus. Dia mengamati Nathan. Kadang-kadang penampilan Nathan tampak kuat dan ceria, menggoda Alexa dengan kata-kata ramahnya. Tetapi sekarang, di bawah temaramnya lampu ruangan duduk, dengan setengah bayangan siluet di wajahnya, Nathan tampak begitu muram, seperti patung perunggu di tengah taman dalam kegelapan yang terduduk dan kesepian...

Kemudian Alexa mengernyit, apa yang ada di depannya bukanlah halusinasi....

"Nathan?"

Nathan menatap Alexa, menyadari wajah Alexa memucat, "Ada apa Alexa?"

"Kau..." Mata Alexa terpaku di sana, di hidung Nathan, ada darah segar berwarna merah gelap yang mengalir dari sana, "Kau mimisan? hidungmu berdarah?"

"Apa?" Kali ini wajah Nathan yang memucat, Lelaki itu langsung mengeluarkan sapu tangan dari sakunya dan mengusap hidungnya,dahinya mengernyit ketika melihat darah di sapu tangannya, dia meletakkan sapu tangannya lagi di hidungnya, menahankan darah yang sepertinya terus mengalir keluar.

"Kurasa aku harus menemui dokterku." Senyum Nathan tampak aneh, dia beranjak dari duduknya dan hendak melangkah keluar dari ruang duduk itu, "Aku akan ke kamarku dan berbaring dulu..."

"Nathan? Kau sakit?" Alexa setengah berdiri, menatap Nathan dengan pandangan cemas.

Nathan menoleh, tersenyum lembut kepada Alexa, "Jangan kuatir, aku sering mengalaminya, ini cuma karena kekurangan vitamin dan akan segera berhenti kalau aku sudah minum obatku. Aku istirahat dulu ya."

Dan kemudian Nathan membalikkan badannya melangkah pergi meninggalkan Alexa yang masih terpaku di kursinya.


Bersambung ke part 13