Jumat, 28 Desember 2012

Perjanjian Hati Part 5


Created On Bandung 23rd, December 2012

Part 5

Ketika kau harus memilih, mana yang akan kau pilih?
Seuatu yang ada dalam genggamanmu, tetapi masih kau ragukan
Atau sesuatu yang dulu pernah ada dalam genggamanmu, sempat terlepas, tetapi ingin kembali pulang?







Nessa ternganga, begitupun Delina dan Ervan yang ada di ruang tunggu iccu itu. Dengan gugup Nessa menelan ludah, menatap Kevin yang tampak begitu serius, menatap Delina dan Ervan yang mengamati mereka dengan penuh keingintahuan. Nessa bingung harus bicara apa. Kalau menurut kata hatinya, seharusnya dia langsung menolak mentah-mentah lamaran itu, bukankah saat ini mereka sedang mempersiapkan pernikahan yang hanya sandiwara? Kenapa Kevin melamarnya di sini, di depan kedua adik mereka? Bagaimana Nessa harus menanggapinya? dengan sungguh-sungguh atau bersandiwara?
 
"Kevin...?" Nessa bergumam lirih berusaha supaya tidak terdengar oleh Delina dan Ervan yang ada di ujung ruangan.
 
Kevin menatap Nessa dengan mata membara, tampak tersiksa,
 
"Please." Mulutnya membentuk permohonan tanpa bersuara.
 
Nessa menelan ludah lagi. Kevin pasti punya alasan melakukan ini, mungkin dia akan menjelaskannya nanti. Dan jika ternyata mereka salah arah, Nessa berharap Kevin bisa mengeluarkannya dari masalah ini.
 
Dengan menguatkan hati, Nessa menganggukkan kepalanya.
 
"Baik Kevin aku bersedia menikah denganmu."
 
Terdengar suara helaan napas Delina di sudut ruangan, lega. Sementara Nessa mencuri pandang ke ekspresi adiknya yang tercekat. Mungkin sama seperti dirinya, Ervan kaget dan tidak menyangka hubungan Nessa dan Kevin berkembang secepat ini.
 
Sedangkan Kevin, lelaki itu memejamkan matanya tampak lega luar biasa. Lalu dengan cepat, seolah takut Nessa berubah pikiran, dia menyelipkan cincin yang mereka beli barusan ke jemari Nessa,
 
"Itu jadi cincin pertunangan kita. Besok kita beli lagi cincin pernikahan.", bisiknya serak sambil mengecup jemari Nessa yang bercincin. Kevin lalu berdiri dari posisi berlututnya, tampak menjulang di depan Nessa, "Baiklah Nessa, karena kau telah menyetujuinya, kita akan menikah besok."
 
"Besok??!"


Kali ini yang bersuara kaget bukan hanya Nessa, tetapi juga Ervan dan Delina.
 
Kevin menghela napas panjang, lalu menoleh sedih ke arah ruangan iccu.
 
"Mama sedang memperjuangkan hidupnya di sana serangan ini tidak akan terjadi satu kali saja, pasti akan terjadi lagi, dan setiap terjadi kita mempunyai resiko kehilangan mama, satu-satunya permintaannya adalah bisa melihat aku menikah." Kesedihan di mata Kevin bukanlah sandiwara, lelaki itu benar-benar sakit dengan kondisi mamanya, "Aku tidak mungkin menolak permohonan mama kan? Akan hidup dengan penyesalan yang mendalam kalau sampai mama meninggal dan aku tidak bisa melakukan amanat satu-satunya darinya."
 
Delina mengusap air matanya dengan pedih, membiarkan dirinya dipeluk oleh Ervan.
 
Sementara itu, Ervan mengamati Kevin dan Nessa berganti-ganti.
 
"Apakah... apakah kalian yakin? aku tidak tahu seberapa lama dan seberapa dalam hubungan kalian berdua... meskipun aku sangat senang kalian bersatu, tapi... pernikahan mempunyai dasar pertimbangan lain selain cinta dan pemenuhan amanat untuk orang lain... pernikahan adalah komitmen seumur hidup... untuk selamanya kalau bisa." gumam Ervan, mencoba mencari jawaban dari ekspresi dua manusia di depannya.
 
Wajah Nessa memucat, tetapi tidak bisa berkata-kata. Ervan benar, pernikahan adalah hal yang sangat serius untuk dilakukan. Mereka melakukan janji di hadapan Tuhan, dan itu bukan main-main. Selain itu, jangankan komitmen seumur hidup, mereka bahkan tidak mempunya cinta satu sama lain yang bisa mendukung komitmen itu. Apa yang harus dia lakukan? dia menyetujui sandiwara ini dari awal dan kemudian terseret arus, tidak bisa kembali lagi.
 
Kevin merangkul Nessa dengan sebelah lengannya,
 
"Tidak apa-apa. Kami saling mencintai." jawab Kevin tegas, mengetatkan rangkulannya untuk menegaskan maksudnya, "Aku akan menemui ibumu Nessa, untuk meminta izin."
 
***
 
"Jadi begitu ceritanya bu. Mohon maaf saya mendesak secara mendadak seperti ini. Tetapi kondisi mama sayalah alasan satu-satunya saya mempercepat pernikahan ini, meskipun resepsi akan tetap dilaksanakan empat bulan lagi."
 
Ibu Nessa menatap Kevin yang begitu serius dengan permintaannya. Sebagai seorang ibu, tentu saja dia kaget anaknya dilamar mendadak seperti ini. Oh. mama Kevin dan Kevin sendiripun sudah menemuinya minggu kemarin, untuk membicarakan persiapan pernikahan. Tetapi itu untuk pernikahan empat bulan lagi, bukannya pernikahan dadakan besok pagi.
 
Dengan lembut, ibu Nessa melirik ke arah putri satu-satunya yang dari tadi tidak bersuara, sibuk dengan pikirannya sendiri.
 
"Nessa, ibu terserah padamu nak, karena kau yang menjalaninya."
 
Nessa meringis. Bagaimana bisa dia terjebak dalam situasi ini? Sepanjang jalan ke rumah tadi, Nessa ingin meledak kepada Kevin, marah karena ditempatkan dalam posisi seperti ini tanpa rencana. Tetapi dia tidak bisa mengatakan apa-apa kepada Kevin, karena Ervan ikut bersama mereka untuk mengambil baju ganti sebelum kembali ke rumah sakit lagi, sementara Delina masih di rumah sakit, berjaga menunggui mamanya.
 
"Nessa sudah setuju dengan saya ibu, toh kami memang sudah berencana menikah, betul kan Nessa?" sela Kevin cepat, mencegah Nessa mengeluarkan penolakan.
 
Nessa hanya menganggukkan kepalanya lemah.
 
Ibu Nessa menghela napas panjang,
 
"Baiklah nak, ibu memberikan restu. Ibu yakin, pernikahan ini bertujuan baik, dan semua yang bertujuan baik pasti akanberujung baik."
 
***
 
"Kakak yakin ?" Ervan mendekatinya, ketika Nessa sedang melangkah memasuki kamarnya. Ervan sudah membawa tas ransel berisi beberapa baju ganti dan selimut. Lelaki itu akan menemani Delina menginap di ruang tunggu iccu sambil menunggu mama Kevin bisa dipindahkan ke kamar pribadi. Dia sudah akan berangkat lagi ke rumah sakit diantar Kevin. Kevin sendiri belum bisa menginap di rumah sakit, dia harus mempersiapkan segala urusan untuk pernikahan dadakan itu di pagi harinya, baru mungkin dini hari nanti dia akan menyusul Delina dan menggantikan adiknya menunggui mamanya.
 
Nessa menatap mata adiknya, ada kecemasan di sana. Nessa tahu pikiran Ervan terlalu tajam dalam melihat semua ini. Ervan pasti merasa semua terlalu cepat, dan dia terlalu mengenal kakaknya untuk mengabaikan kecemasan yang berkecamuk di dalam hati Nessa,
 
Sambil tersenyum kepada adiknya, Nessa menganggukkan kepalanya,
 
"Pernikahan ini adalah jalan yang terbaik." gumamnya.
 
Ervan menatap Nessa tajam, mencoba menembus mata kakaknya,
 
"Apakah... apakah ada yang kau rahasiakan kepadaku?"
 
Nessa langsung menatap Ervan waspada. Apakah sandiwara mereka begitu kelihatan di mata Ervan?
 
"Kenapa kau berpikiran seperti itu?"
 
Ervan mengangkat bahunya, tersenyum miris,
 
"Entahlah kak." Senyumnya berubah menjadi permintaan maaf, "Maafkan aku, bukannya aku tidak percaya akan cinta kalian, tetapi ini semua terlalu cepat... aku...aku bahkan tidak menyangka kakak Delina mau berkomitmen kepada seseorang, Delina selalu cerita kalau kakaknya sangat menghindari pernikahan, dia selalu ingin menjadi lelaki bebas. Lamarannya tadi, aku takut dia terlalu tergesa-gesa karena dorongan hatinya ingin menyenangkan mamanya..... Kalau yang dilamarnya bukan kakak, mungkin aku akan tenang-tenang saja. Tetapi kau, kakakku, dan aku sangat menyayangimu. Aku tidak ingin ada penyesalan nantinya."
 
Nessa merasakan matanya panas dan berkaca-kaca. Ingin rasanya dia mengungkapkan semuanya kepada adiknya, yang sangat disayanginya. Tetapi dia tidak bisa. Ervan akan merasa sangat bersalah, karena sandiwara dengan skenario yang kacau ini asal muasalnya adalah demi kebahagian Ervan dan Delina.
 
"Kakak sudah siap Ervan, kau jangan mencemaskan kakak ya."
 
"Apakah kau mencintai Kevin?" Ervan berdehem salah tingkah, "Maksudku, Kevin memang sangat mudah dicintai dengan berbagai kelebihannya itu, tapi apakah kau benar-benar mencintainya untuk hidup bersamanya dalam satu pernikahan?"
 
Bagaimana mungkin? Nessa meringis kesal. Kevin tidak mudah dicintai. Lelaki itu arogan, angkuh dan suka memaksakan kehendak. Tapi Nessa bisa apa? Semoga Tuhan memaafkannya karena melakukan perjanjian palsu untuk menikah. Semoga Tuhan mengerti bahwa ada alasan baik di balik sandiwara yang berujung tak terduga ini.
 
"Kakak mencintainya Ervan." Nessa berbohong dengan lancar, "Tenang saja ya, seperti kata ibu tadi, apapun yang dilakukan dengan tujuan baik, pasti akan berujung baik."
 
***
 
Mereka menikah pagi itu di rumah sakit. Kondisi mama Nessa sudah membaik sehingga bisa dipindah ke kamar pribadi yang luas dan lebih privat. Pernikahan itu sederhana, hanya dihadiri oleh beberapa perwakilan keluarga keduabelah pihak sebagai saksi.
 
Semua berlangsung begitu cepat, tiba-tiba saja Kevin sudah memakaikan cincin kawin itu. Cincin dengan berlian besar yang ditolaknya kemarin, ke jemarinya, dan mereka sudah sah sebagai suami isteri.
 
Mama Kevin tampak lemah dan pucat, tetapi senyum bahagianya memancar ketika dia meremas jemari Nessa, dan mengucapkan terimakasih dengan lemah, air mata menetes dari mata indahnya, membuat jantung Nessa serasa ditusuk-tusuk oleh rasa bersalah. Tuhan, seandainya saja mama Kevin tahu ini semua hanya sandiwara, betapa hancurnya perasaannya.
 
Delinapun memeluknya dengan rasa terimakasih dan kasih sayang persaudaraan yang tulus, membuat Nessa semakin sesak dadanya. Semua orang berterimakasih padanya, tetapi kenapa rasa bersalah tetap menggayutinya, rasa bersalah dan ketakutan tersembunyi... ketika dia menyadari bahwa dia sudah menjadi isteri sah Kevin.
 
***
Nessa diantarkan masuk oleh petugas kamar hotel mewah di dekat rumah sakit tempat Mama Kevin di rawat. Kevin sengaja memesankan kamar untuk bulan madu mereka di sana, karena tempatnya dekat dengan rumah sakit sehingga mereka bisa bergegas ke sana kalau-kalau ada apa-apa.
 
Nessa duduk di sofa di kamar itu dengan gugup, sambil menatap Kevin yang melepas jasnya dan melemparkan dasinya ke kursi.
 
Inilah kesempatan pertama kalinya mereka bisa berdua saja. Sebelumnya selalu banyak interupsi, dan Kevin begitu sibuk mempersiapkan pernikahan dadakan ini sehingga susah di temui. Bahkan tadi pagi Nessa baru melihatnya pertama kali, beberapa menit sebelum pernikahan dilangsungkan.
 
"Kita harus bagaimana?" gumam Nessa lemah, pada akhirnya.
 
Kevin menghempaskan tubuhnya di sofa diseberang Nessa,
 
"Maafkan aku menempatkanmu pada situasi sulit seperti ini." Dengan frustrasi dia mengusap wajahnya, "Aku juga tidak menyangka akan berujung seperti ini.... "
 
Nessa menghela napas panjang dan menatap Kevin dalam,
 
"Apakah kita bisa mengurus perceraian dengan mudah nantinya....?" Dan dia akan menyandang status janda, di usianya yang masih muda. Perceraian itu mungkin mengandung konsekuensi yang sangat berat, selain pandangan masyarakat, belum lagi berbagai pertanyaan dari keluarganya nantinya, bagaimana mungkin Nessa bisa menghadapinya?
 
Tatapan Kevin tampak mengeras,
 
"Jangan bicarakan perceraian dulu. Kita jalani saja pernikahan ini dengan sebaik-baiknya dulu. Semoga nanti ada jalan keluar." suara Kevin berubah serius, "Aku berjanji Nessa, selama menjadi suamimu, aku akan menghormatimu sebagai isteriku."
 
Nessa menelan ludahnya, apa maksud Kevin dengan menjalani pernikahan ini dengan sebaik-baiknya? Apakah mereka juga harus... pipi Nessa memerah.
 
Kevin tampaknya memahami ekspresi Nessa itu, senyumnya tampak miris,
 
"Tidak Nessa, jangan takut. Aku tidak akan menyentuhmu, jika itu yang kau takutkan."
 
Tanpa sadar Nessa menghela napas lega. Pernikahan ini sudah terasa seperti ikatan yang menyesakkan dada. Nessa tidak akan bisa menanggungnya kalau mereka harus lebih terikat lagi.

"Apakah kita akan tidur bersama dalam satu kamar nantinya?", tanya Nessa was-was.

Kevin melemparkan tatapan meminta maaf kepada Nessa,

"Ya Nessa, kita akan tidur bersama, setelah mama pulang, kau akan ikut pindah ke rumahku, tinggal di kamarku, dan tidur seranjang denganku, kita harus melakukannya. Kalau tidak, akan muncul gosip di kalangan pelayan yang mungkin akan sampai ke telinga mamaku. Jangan takut." Kevin menyadari ekspresi Nessa yang berubah pucat, "Aku tidak akan berbuat tidak senonoh kepadamu, aku berjanji....

Nessa menghela napas lega, tetapi rupanya Kevin belum selesai dengan ucapannya.

"Kecuali kalau kau yang meminta kepadaku."

Ucapan susulan Kevin itu langsung mendapat hadiah pelototan mata dari Nessa.

"Aku cuma bercanda." Gumam Kevin terkekeh geli sambil menatap Nessa. "Tetapi aku sungguh-sungguh Nessa, kalau kau yang memintanya, aku pasti tidak akan menolak untuk melakukan sesuatu yang lebih." Suaranya berubah sensual.

Nessa menatap Kevin dengan pipi merah padam dan napas terengah, merasa malu sekaligus marah,

"Itu hanya akan terjadi dalam mimpimu!" serunya mantap kemudian, dan disambut dengan gelak tawa Kevin. Kurang ajar lelaki itu!
 
***
 
Dalam seminggu, mama Kevin sudah boleh pulang, wajahnya masih pucat dan lemah meskipun tampak lebih sehat dari terakhir kali keluar dari iccu.
 
"Mama sudah tidak sabar mempersiapkan resepsi pernikahan kalian." Sang mama tersenyum ketika Kevin merebahkannya di atas ranjang.
 
"Istirahatlah dulu saja mama, mama harus lebih kuat lagi. Toh kami sudah menikah, jadi resepsi pernikahan hanyalah syarat saja." suara Kevin terdengar serak.
 
Mama Kevin tersenyum lembut dan menggenggam jemari Kevin,
 
"Terimakasih sayang, terimakasih. Mama merasa tenang dan bahagia sekali dengan pernikahan kalian. Mama sangat menyayangimu dan ingin kau bahagia, kau tahu itu kan...." dengan lembut sang mama mengusap dahi Kevin, "Kau adalah anakku yang sangat kucintai, detik itu, ketika aku menggendong bayimu yang menangis keras-keras, aku sudah menasbihkanmu di dalam hatiku sebagai anak laki-lakiku."
 
Kevin tersenyum lembut dan mengecup dahi mamanya.
 
"Istirahatlah mama sayang, aku juga sangat mencintaimu."
 
Ketika mamanya tertidur kemudian, Kevin melangkah keluar kamar dengan tergesa-gesa, hampir tersandung, membuat Nessa cemas dan mengikutinya keluar.
 
"Kevin ada apa?" Nessa berdiri, menatap Kevin yang berpegangan pada uliran tangga di luar kamar. Punggung Kevin tampak bergetar.
 
Dengan gugup, Nessa mendekat, dan menyentuh pundak Kevin.
 
"Kevin, kenapa?"
 
Lalu secepat kilat, tanpa diduga, Kevin membalikkan badan dan merengkuh tubuh Nessa kuat-kuat, memeluknya seakan ingin meremukkan tulangnya. Tubuh Nessa terasa sakit, tetapi ditahankannya ketika merasakan isakan Kevin tenggelam di rambutnya. Ah Ya Tuhan, lelaki arogan ini menangis di pelukannya.
 
Dengan lembut, Nessa melingkarkan lengannya di punggung Kevin yang keras, mengusapnya lembut, membiarkan lelaki itu menumpahkan perasaannya.
 
"Dokter bilang....", suara Kevin terdengar serak dan tersengal, "Dokter bilang mama sudah tidak bisa bertahan lagi.... kita... kita tinggal menghitung hari..." lalu isak itu terdengar lagi.
 
Nessa memeluk Kevin kuat kuat, mencoba menyalurkan kekuatan kepada lelaki itu. Lelaki yang sebenarnya tidak begitu dikenalnya, tetapi sekarang sudah menjadi suaminya.
 
Lama Kevin menumpahkan perasaannya, sampai kemudian lelaki itu mengangkat kepalanya dari rambut Nessa, matanya tampak basah.
 
Ditatapnya Nessa dengan lembut,
 
"Terimakasih Nessa."
 
Tiba-tiba perasaan hangat menjalari dada Nessa, menemukan sisi Kevin yang rapuh ini ternyata menghangatkan perasaannya.

Lalu tiba-tiba tatapan Kevin meredup, lelaki itu kemudian mendekatkan kepalanya dan mengecup dahi Nessa, sebelum Nessa sempat menghindar. Kecupan yang lembut dan sopan, tetapi entah kenapa membuat tubuh Nessa seperti tersetrum ketika menerimanya.

Lelaki itu lalu membalikkan tubuh dan melangkah pergi tanpa kata, meninggalkan Nessa yang berdiri di sana sambil merasakan panas membara di bekas kecupan Kevin di dahinya.
 
***
 
Ketika Nessa sedang memberi nilai pada gambar hasil karya anak didiknya, pintu ruangan kelasnya diketuk. Nessa memang tidak berniat untuk pulang cepat, dia menunggu Kevin menjemputnya, lelaki itu sekarang mengantar jemputnya setiap Nessa bekerja, dan tidak mengizinkan Nessa naik kendaraan umum lagi. Ketika Kevin sedang sibuk dengan pekerjaannya, dia akan mengirimkan supir.
 
Pernikahan ini sudah berjalan hampir dua minggu, dan mereka baik-baik saja. Kevin mengajak Nessa tinggal di rumahnya bersama ibunya dan Delina. Mereka tidur seranjang meskipun Kevin menepati janjinya untuk tidak menyentuhnya.
 
Pada malam-malam pertama tentunya terasa canggung, Nessa tidak pernah seranjang dengan lelaki manapun seumur hidupnya, kecuali dengan Ervan, itupun ketika mereka masih berumur 7 tahun. Ketika tanpa sengaja kaki atau lengan mereka bersenggolan, Kevin akan segera meminta maaf dengan canggung, lalu mereka akan bergeser dengan cepat masing-masing di ujung sisi ranjang yang berseberangan.
 
Tetapi lama kelamaan mereka terbiasa, mereka akan mengucap selamat tidur tanpa kata, lalu menempati posisi masing-masing, sambil berusaha tidak menyentuh satu sama lain di ranjang itu.
 
Setidaknya setelah Kevin menangis di pelukannya waktu itu, Nessa menemukan sisi positif dalam diri Kevin. Lelaki itu memang arogan, angkuh dan suka memaksakan kehendaknya. Tetapi dia juga lelaki yang bertanggung jawab, yang sangat mencintai mama dan adik perempuannya. Nessa bisa memahami itu karena dia juga begitu sayang dengan ibunya dan Ervan.
 
Ponsel di tangannya berdering. Dan Nessa melirik ke layarnya, lalu mengernyitkan matanya, Marcell? Nessa masih menyimpan nomor Marcell di ponselnya ternyata, dan ini nomor yang sama, yang berdering dan membuat layar ponselnya terus berkedip-kedip, tak mau menyerah.
 
Nessa mendiamkan ponsel itu, ragu. Tetapi Marcell di seberang sana tampak tak mau menyerah, Kenapa Marcell meneleponnya lagi? Sambil menghela napas panjang, Nessa mengangkat telepon itu.
 
"Halo..."
 
"Nessa ini aku..." suara Marcell terdengar serak dan tersiksa di seberang sana. "Aku dengar... aku dengar kau sudah menikah dengan tuan Kevin...." Apakah isakan Marcell yang terdengar di sana? , "Aku tak kuat lagi Nessa, aku mau mati saja."
 
"Astaga Marcell jangan bicara sembarangan!", Nessa berseru kaget mendengar kalimat Marcell, suara diseberang sana tampak rapuh dan tidak main-main.
 
"Aku mencintaimu Nessa, aku sangat mencintaimu! Meskipun aku hanyalah pecundang lemah yang tak mampu melawan keluargaku, aku sangat mencintaimu. Aku tak kuat lagi menahan beban demi keluargaku, kau yang kucintaipun sudah menikah dengan lelaki lain, jadi untuk apa aku hidup??"
 
"Marcell." Nessa bergumam tenang, berharap ketenangannya menular kepada Marcell yang tampak histeris, "Tenangkan pikiranmu Marcell, kau ada di mana?"
 
"Aku akan mati saja..... sekarang aku ada di tempat perpisahan kita dua tahun yang lalu.... aku... aku akan terjun dari jembatan itu... Selamat tinggal Nessa...."
 
"Marcell!! Jangan lakukan apapun! aku akan kesana!!", Nessa meraih tasnya dengan cepat dan berlari menembus koridor Taman Kanak-Kanak, dan bertabrakan dengan Kevin yang sedang berjalan dari arah berlawanan.
 
"Nessa ada apa?" Kevin menyentuh kedua lengan Nessa yang panik.
 
Nessa menahankan napasnya yang tersengal,
 
"Marcell... Marcell di taman kota... mencoba bunuh diri... lompat dari jembatan..." setiap kata-katanya berhamburan, bercampur dengan kepanikannya.
 
Kevin mencerna kalimat itu dalam sedetik, kemudian menggandeng Nessa dan mengajaknya melangkah ke mobilnya yang diparkir di depan secepat kilat,
 
"Ayo." gumamnya, mendorong Nessa duduk di kursi penumpang, lalu masuk ke kursi pengemudi dan melajukan mobilnya secepat kilat.
 
***
 
Bersambung ke part 6
 
 
 

Pernikahanku bersama tukang pijit pribadiku :)

 
 
 
Ketika suamiku menikahiku dulu, di pesta pernikahan semua teman-temannya menggodanya, dan berkata :
 
"Wah sudah enak kamu ya wan, sekarang sudah ada yang mijit kalau capek."
 
Suamiku hanya menyenggolku pelan dengan sikunya, dan aku tersenyum malu-malu.
 
 
 
 
 
 
 

Pernikahan ini sudah berjalan lebih dari satu tahun. Kadangkala semua tidak berjalan mulus, tentu saja ada perbedaan pendapat, tetapi kami belajar untuk berkompromi. Terkadang kami harus duduk berdua mencoba memecahkan permasalahan pelik, terkadang kami hanya berpelukan, pasrah kepada jalan Allah ketika dirasa kami tak kuat lagi. Tetapi semua mendorong kami untuk lebih dewasa, lebih pengertian dan lebih berbesar hati. Pernikahan ini mengajarkan kami untuk saling menghargai dan mampu meminta maaf serta memberi maaf dengan tulus satu sama lain.
 
Tentang pijit memijit ..... sepertinya teman-teman suamiku salah. Bukannya suamiku yang selalu dipijit di saat kecapekan, tetapi ternyata pernikahan ini mengembangkan bakatnya sebagai tukang pijit pribadiku. Di saat tubuhku pegal-pegal sehabis naik motor pulang kantor, suamiku sudah siap dengan balsem di tangan dan pijitannya yang melemaskan otot-ototku, di saat hamil mudaku dulu sampai akhirnya keguguran, hanya pijitan suamiku di kakiku setiap malamlah yang bisa mengantarkanku tidur pulas, lepas dari sakit badan yang menderaku. Pun di saat aku demam, dia siap sedia memijit tubuhku yang panas membara sekaligus menggigil kedinginan, meringankan rasa nyeri yang menyelimuti tubuhku.
 
Senyumku selalu muncul setiap mengingat momen itu, dan tentu saja aku mensyukurinya. Pernikahan kami mungkin masih muda, belum sebanding dengan mereka yang sudah melalui tahun demi tahun, ditempa oleh berbagai gelombang tetapi mampu bertahan. Tetapi aku yakin, selama kami bisa saling ikhlas dan tulus untuk meringankan penderitaan satu sama lain - meskipun dengan perbuatan yang tampaknya sepele seperti memijit, tetapi memiliki dampak besar bagi hati - kami mungkin bisa menjadi pasangan yang berbahagia dan penuh syukur, sampai akhir nanti. ;)
 
*Terimakasih tukang pijit pribadiku, yang selalu siap dengan balsem di tangannya :*
 

Perjanjian Hati Part 4

 
 
Created on Bandung, 22nd December 2012
 
Part 4
 
Pernikahan.... aku pernah mendengar suatu pepatah yang mengatakan:
"Janganlah kau menikahi seseorang yang menurutmu kau bisa hidup dengannya. Tetapi nikahilah seseorang yang menurutmu, kau tidak bisa hidup tanpanya"
 
 
 
 
 
 
 
Perempuan itu sangat cantik, duduk di sana di tengah kebun bunga sambil meminum tehnya dari cangkir yang elegan. Rambutnya disanggul dengan formal ke atas, dan gaunnya tampak sangat indah, berwarna hijau, menyatu dengan alam taman bunga di sekelilingnya. Mama Kevin dan Delina ini pasti sangat cantik di masa mudanya, karena bahkan di masa tuanyapun gurat-gurat kecantikannya masih menyisa di sana.
 
Mama Kevin mendongak ketika melihat Kevin datang bersama Nessa yang gugup, lalu senyum ramahnya mengembang.
 
"Silahkan duduk." gumamnya menyilahkan sambil mengedikkan bahu dengan lembut pada kursi di depannya.
 
Dengan tenang Kevin menarikkan kursi untuk Nessa, dan duduk di sebelahnya.
 
"Mama tidak masuk angin, minum teh sore-sore di luar seperti ini?"
 
Sang mama tersenyum lembut dan menatap Kevin dengan sayang,
 
"Mama cukup kuat kalau hanya duduk-duduk di luar Kevin, lagipula mama bosan kalau di dalam terus, pemandangan taman ini di sore hari sangat indah, sayang untuk dilewatkan."
 
Mama Kevin benar. pikir Nessa mengiyakan. Pemandangan taman ini tampak luar biasa, dengan dedaunan yang rimbun dan tertata rapi serta bunga-bunga dan rumput hijau yang mengelilingi, ditambah lagi kolam ikan yang cantik dengan gemericik air terjun buatan yang mendamaikan suasana. Nessa dengan senang hati akan rela melewatkan waktunya untuk duduk-duduk di taman ini menikmati keindahan suasananya.
 
Tak disadarinya mama Kevin mengamati Nessa dengan penuh perhatian. Ketika Nessa tersadar, dia langsung bergumam gugup menyadari ketidaksopanannya karena langsung duduk dan melamun, bukannya memperkenalkan diri,
 
"Eh, maaf... saya... saya Nessa.", gumam Nessa sambil mengulurkan tangannya gugup.
 
Mama Kevin menyambut uluran tangan Nessa, tampak geli melihat kegugupan Nessa,
 
"Dan perkenalkan aku mamanya Kevin dan Delina." dia melirik Kevin penuh arti, "Begitu mendengar tentangmu dari Kevin dan Delina, aku benar-benar didera rasa ingin tahu."

Nessa melirik Kevin yang sepertinya sudah ada dalam mode berakting karena lelaki itu melirik lembut dan penuh cinta kepadanya,
 
"Aku tidak pernah merasakan yang seperti ini kepada perempuan manapun, mama. Dia istimewa dan aku harap dia yang terbaik." Kevin bergumam dengan nada yang terdengar begitu tulus dan jujur. Bahkan Nessa yang mengetahui bahwa itu hanyalah kebohongan semata tersipu-sipu mendengarnya.
 
Mama Kevin menyesap teh-nya lagi, lalu melirik Nessa dan Kevin bergantian,
 
"Kau tidak pernah menceritakan tentang Nessa sebelumnya."
 
"Aku sedang mengejarnya." Jawab Kevin santai, "Sekarang aku sudah memilikinya, dan kupikir sekaranglah saat yang tepat untuk mengklaimnya dan menunjukkannya pada semua orang."

Mama Kevin terkekeh mendengar nada posesif dan kepemilikan di dalam suara Kevin. Dia tersenyum pada Nessa meminta permakluman,
 
"Maafkan anak lelakiku ini Nessa, dia memang terbiasa arogan dan keras kepala, mungkin kau juga menyadarinya. Aku senang karena dia akhirnya menemukan seseorang yang cocok untuknya, karena aku tahu betapa alerginya dia mengikatkan diri pada seorang perempuan."
 
Nessa tersenyum kaku, mencoba tampak santai,
 
"Saya...saya senang karena anda menerima saya..."
 
"Tentu saja aku menerimamu, kau pilihan Kevin, berarti kaulah yang terbaik." Sang mama tersenyum dan mengangkat bahunya, "Tentunya Kevin sudah bercerita kalau aku berniat menjodohkannya dengan Delina.... sebuah pemikiran yang kupikir keputusan terbaik, mengingat aku begitu menyayangi mereka berdua dan menginginkan mereka saling menjaga.... kalau-kalau aku.. sudah tidak ada lagi. Dokter bilang penyakit jantungku sudah parah dan sungguh untung kalau aku bisa hidup lebih dari 1 tahun ke depan."
 
"Mama." Kevin berseru memprotes perkataan mamanya. Sang mama hanya tersenyum menenangkan.
 
"Yah... aku pikir waktu itu Kevin dan Delina sama-sama belum mempunyai pasangan dan mereka tampak sangat cocok bersama, lagipula aku sudah sangat ingin menimang cucu.", Mama Kevin lalu tersenyum dengan mata berbinar, "Kabar kalau Kevin ternyata sudah mempunyai pilihan hati memang tidak kusangka-sangka, tetapi kabar ini menyenangkan, dan menenangkan, aku pikir aku akan dengan senang hati menyiapkan pernikahan kalian."
 
"Pernikahan?" Kevin dan Nessa sama-sama berseru. Yang satu protes dan yang lain kaget.
 
"Tentu saja." mama Kevin mengedipkan matanya ke arah Nessa, "Mulai sekarang panggil aku mama, sayang. Karena saat ini aku sudah setengah jalan mempersiapkan pernikahan besar di akhir tahun," perempuan itu tampak menghitung di dalam kepalanya, "Akhir tahun tinggal empat bulan lagi,." Dia lalu tersenyum lembut pada Nessa, " Dulunya pernikahan ini kurencanakan untuk pernikahan Kevin dan Delina, tetapi aku yakin sekarang akan lebih menyenangkan karena Kevin mempunyai pilihan hatinya sendiri, kuharap kau akan sering kemari Nessa dan membantuku mempersiapkan pernikahan ini."
 
Mama Kevin berucap manis, dengan senyum yang manis pula. Tetapi makna yang ada di dalam kata-katanya, tak terbantahkan.
 
***
 
"Pernikahan?" Nessa berseru memprotes sambil menatap Kevin yang sedang menyetir dengan tajam, "Tadinya aku pikir kita hanya bersandiwara sebagai pasangan kekasih. Lalu setelah Delina bisa memperkenalkan Ervan kepada mamamu, kita akan pura-pura berpisah baik-baik dan mengatakan ada perbedaan prinsip yang menghalangi kita!"
 
"Delina belum bisa memperkenalkan Ervan sekarang-sekarang ini. Mereka belum lulus kuliah, dan aku meragukan mama akan menerima Ervan begitu saja, beliau pasti akan menganggap Ervan terlalu muda untuk serius dengan Ervan di usianya sekarang ini. Kita harus bertahan Nessa demi mereka. segera setelah Ervan lulus dan mendapatkan pekerjaan yang baik, Delina bisa membawanya kepada mama. Aku akan mengatur pekerjaan yang baik untuk Ervan nanti."
 
"Tapi mereka berdua baru lulus tiga bulan lagi, itu sangat beresiko mengingat mamamu merencanakan pernikahan empat bulan lagi. Terlalu tipis waktunya, apalagi untuk membatalkan semuanya secara mendadak. Mungkin.... mungkin kita harus jujur saja kepada mamamu. Aku lihat mamamu perempuan yang kuat dan berpikiran luas, dia mungkin mau menunggu sampai Ervan lulus dan melihat bukti keseriusannya kepada Delina."
 
Kevin memandang lurus ke depan, tampak serius.
 
"Dia memang selalu berusaha tampil kuat Nessa, tetapi dia rapuh. Lagipula kita sudah maju sejauh ini, tak bisa mundur lagi. Kalau kita mengatakan bahwa ini semua hanya pura-pura kepada mama, dia pasti akan kecewa dan itu akan mempengaruhi kondisi tubuhnya. Saat ini dia bahagia, kita biarkan saja. Semoga nanti begitu Ervan lulus dan Delina memperkenalkannya, mama begitu bahagia sehingga dia tidak kecewa ketika kita membatalkan pernikahan itu. Kita berdoa saja semoga semua berjalan seperti semestinya."
 
"Dan jika tidak?" Jantung Nessa berdegup kencang, memikirkan semua kemungkinan-kemungkinan yang terjadi.
 
Kevin menoleh, dan menatap Nessa dengan senyum ironisnya.
 
"Jika tidak.... maka mungkin kau dan aku akan terjebak dalam sebuah sandiwara pernikahan."
 
***
 
"Nessa." sang ibu mengetuk pintu kamar Nessa, suaranya terdengar cemas, "Ada tamu."
 
Nessa yang sedang membaca di dalam kamar mengernyit, lalu melirik jam di dinding, sudah jam delapan malam, siapa yang bertamu semalam ini?
 
Nessa membuka pintu kamarnya dan berhadapan dengan wajah ibunya yang cemas,
 
"Siapa ibu?"
 
Suara sang ibu berbisik pelan, "Marcell. dia memaksa bertemu denganmu, ibu bilang mungkin kau sudah tertidur tetapi dia minta ibu membangunkanmu. Kau ingin bertemu dengannya atau tidak?"
 
Nessa mengernyit, untuk apa Marcell datang ke rumah ini malam-malam begini? saat ini? bukankah sejak lelaki itu mencampakkannya dua tahun lalu, jangankan datang ke rumah ini, mengirimkan kabarpun lelaki itu tidak pernah.
 
Perasaan ingin tahu membuat Nessa terdorong mengambil keputusan,
 
"Aku akan menemuinya ibu."
 
Sang ibu menahan tangannya, "Kau tidak apa-apa Nessa, ibu tahu kau sudah menjalin hubungan baru dengan Kevin... tetapi ibu..."
 
Nessa memang sudah menceritakan bahwa dia menjalin hubungan dengan Kevin, supaya sang ibu tidak kaget nantinya. Ibunya cukup senang meskipun juga mengutarakan kecemasannya karena Nessa menjalin hubungan lagi dengan lelaki kaya. Tetapi Nessa meyakinkan ibunya bahwa hal ini tidak akan menyakiti hatinya lagi, toh dalam hati Nessa menyadari bahwa hubungan ini hanyalah sandiwara yang tidak melibatkan hati sama sekali. Tetapi insting seorang ibu memang luar biasa, ibunya bisa merasakan bahwa Nessa masih menyimpan luka mendalam akibat perbuatan Marcell,
 
"Tidak apa-apa ibu.' Nessa tersenyum lembut, "Jangan cemas ya."
 
Nessa melangkah ke ruang tamu, dan menemukan sosok Marcell yang duduk termenung di sofa, lelaki itu langsung berdiri begitu melihat Nessa,
 
"Hai Nessa, aku tadi lewat di dekat-dekat sini dan memutuskan untuk mampir."
 
"Ada apa Marcell?" Nessa memutuskan untuk tidak menanggapi pernyataan basa basi Marcell, dia bersedekap dan menatap lelaki itu dengan dingin.
 
Marcell berdiri dengan salah tingkah,
 
"Aku... aku berpikir, sekian lama aku tidak melihatmu dan kemarin ketika melihatmu, kau sudah berubah, lebih dewasa dan lebih cantik.... dan ternyata... aku... aku masih merindukanmu."
 
Apa maksud Marcell dari pernyataannya ini? Nessa mengernyitkan keningnya. Lelaki itu sudah mencampakkannya, dan bahkan kemarin sudah mengundangnya ke pesta pernikahannya. Dan sekarang dengan tak tahu malu, Marcell berdiri di sini dan mengatakan merindukannya?
 
Marcell menelan ludah,
 
"Aku tahu kau sakit hati dengan perlakukanku dulu, tetapi harap mengerti Nessa, aku terpaksa, aku juga menderita, sama sepertimu. Tekanan dari keluargaku sangat kuat, Keluargaku mempunyai hutang budi yang begitu besar kepada keluarga Susan, aku bagaikan tumbal mereka dan aku tidak bisa melawan.... kalau aku menolak, maka keluargaku akan hancur."
 
Nessa mengernyit, dan kenapa baru sekarang Marcell memilih untuk menjelaskan kepadanya? Kenapa tidak dulu ketika lelaki itu mencampakkannya tanpa kata-kata dan membiarkannya terpuruk dalam kedukaan mendalam karena patah hati? Setidaknya kalau Nessa tahu alasan itu dari dulu, mungkin dia bisa lebih berbesar hati ketika kehilangan Marcell.
 
"Aku ingin menghubungimu dulu itu. Tetapi pengawasan keluargaku sangat ketat... Susan juga... dia terobsesi padaku dan sangat posesif, dia mengancam akan menghancurkanmu kalau aku sampai berhubungan lagi denganmu... dan dulu mengingat begitu berkuasanya keluarga Susan, mereka bisa menghancurkan keluargamu dengan mudah..."
 
"Dan kenapa sekarang kau tetap menemuiku? Tidakkah ini akan membuat Susan mengamuk kalau dia tahu?"
 
Marcell menggegeleng, tersenyum kecut,
 
"Tidak. Sekarang keluargaku dan Susan tidak bisa berbuat apa-apa, kau... kau entah bagaimana dengan beruntungnya menjadi kekasih Tuan Kevin, yang beribu kali lebih berkuasa dari kami. Mereka tidak akan berani berbuat macam-macam denganmu, karena itulah aku bisa menemuimu dengan leluasa seperti akhir-akhir ini..... " Mata Marcell tampak berkaca-kaca, "Aku.. aku sudah menunggu kesempatan ini begitu lama Nessa, dua tahun lamanya.... aku selalu tersiksa, memikirkanmu, memikirkan keadaanmu yang kutinggalkan begitu saja dengan begitu menyakitkan... waktu itu aku berpikir kalau kau kutinggalkan dengan kejam, kau akan membenciku, dengan begitu kau akan lebih mudah melupakan aku..... aku sadar bahwa aku sudah menyakitimu begitu dalam.... maafkan aku....." Suara Marcell berubah serak, dia menatap Nessa dengan memohon.
 
"Di TK kemarin itu aku sudah ingin mengungkapkan semuanya kepadamu... tetapi aku berubah pikiran ketika kau bertemu denganku, kau begitu tegar dan kuat dan kau bilang kau tidak memikirkanku lagi... jadi aku... aku mengatakan alasan-alasan bodoh kenapa aku menemuimu waktu itu," Marcell menghela napas panjang, 'Tetapi perasaan ini menghantuiku... aku hanya ingin kau tahu, bahwa tidak pernah sedikitpun terbersit di benakku untuk menyakitimu, mencampakkanmu... aku sangat mencintaimu... bahkan... bahkan sampai sekarangpun aku... masih..."
 
Nessa tanpa sadar meringis merasakan kesakitan yang menusuk benaknya. Harusnya Marcell tidak usah mengungkapkan semua ini. Dia sudah bisa berjalan tegak sejak keterpurukannya karena ditinggalkan Marcell, dia sudah bisa menutup luka hatinya meskipun kadangkala masih terasa pedih. Tetapi apa yang diucapkan Marcell hari ini seperti membuka luka lamanya lagi, membuatnya menganga dan berdarah.
 
"Terimakasih sudah menjelaskan kepadaku." Suara Nessa terdengar serak, "Tetapi bagaimanapun semua sudah terjadi. Kita tidak bisa menoleh ke belakang lagi. Aku sudah melanjutkan hidupku, begitupun dirimu. Semoga tidak ada lagi kesalah pahaman dan luka masa lalu di antara kita."
 
Marcell mengacak rambutnya dengan frustrasi,
 
"Lelaki itu, Tuan Kevin.... apakah kau benar-benar mencintainya?"
 
Nessa menghela nafasnya sebelum mengucapkan jawaban semantap mungkin,
 
"Ya, aku benar-benar mencintainya."
 
"Yah." Marcell tersenyum pahit sambil mengangkat bahu, "Apalagi yang kuharapkan, dia lebih segala-galanya dariku, jadi wajar kalau kau semudah itu melupakanku." Wajahnya tampak sedih, "Meskipun aku tidak pernah melupakanmu selama ini, Nessa. Dua tahun berlalu, aku memang bertunangan dengan Susan, tetapi hanya tubuhku yang terikat dengannya. Hatiku... hatiku masih selalu menjadi milikmu."
 
"Aku tidak mau menerima hatimu." Sela Nessa dengan tegas, "Biarkan itu menjadi milik Susan, kalian akan segera menikah, aku harap kau akan berbahagia dengannya."
 
Marcell menggeleng, hendak membantah, tetapi kemudian tampak mengurungkan niatnya.
 
"Yah... Oke. Tidak ada lagi yang perlu kusampaikan." Ditatapnya mata Nessa dalam-dalam, seolah-olah berusaha mencari cinta yang tersembunyi di sana, kemudian dia memalingkan mukanya dengan sedih, "Kalau begitu aku permisi dulu Nessa, selamat tinggal."
 
"Selamat tinggal Marcell."
 
Kali ini ucapan selamat tinggal itu benar-benar terucap dari hatinya, kepedihannya masih terasa, apalagi mendengarkan pengakuan Marcell barusan. Setidaknya kemarahan dan kebenciannya di masa lalu atas perlakukan Marcell kepadanya terjawab sudah, lelaki itu punya alasan sendiri meninggalkannya, dan Nessa sudah menerimanya.
 
***
 
"Kau suka nuansa ini Nessa?', mama Kevin tersenyum kepada Nessa sambil menunjukkan foto dekorasi ruang pesta yang begitu mewah, "Aku ingin kesannya elegan dengan nuansa warna emas dan putih.'
 
Nessa melirik foto itu, lalu melirik Kevin di sebelahnya yang memasang muka datar dengan gugup,
 
"Eh ya... putih dan emas bagus juga mama." gumamnya lembut.
 
Saat ini Nessa dan Kevin sedang berkunjung ke rumah Kevin, sang mama bersikeras menunjukkan foto-foto gedung dan desain ruangan yang harus dilihat oleh Kevin dan Nessa dulu sebelum diputuskan mana yang akan dipilih. Dengan terpaksa Nessa datang, karena kata Kevin kalau Nessa terus menerus menghindar, mama Kevin akan curiga.
 
"Kalian sudah membeli cincin?" Mama Nessa menatap Kevin, "Kau bilang kalian akan memilih cincin akhir minggu kemarin."
 
Kevin menggelengkan kepalanya,
 
"Belum mama, aku sibuk sekali akhir minggu kemarin, ada rapat mendadak di perusahaan, mungkin minggu depan, lagipula acaranya kan masih lama, jadi waktu kami masih panjang."
 
Mama Kevin menggelengkan kepalanya tidak setuju,
 
"Tidak bisa begitu." gumamnya keras, "Cincin pernikahan adalah hal yang paling penting yang harus diprioritaskan. Kalian bersikeras menolak dilakukannya pertunangan lebih dulu, mama sudah setuju. Tetapi mama ingin kalian menyiapkan cincin pernikahan itu dulu, selain sebagai bukti keseriusan kalian, mama ingin memastikannya sesuai dengan tema pesta pernikahan ini."
 
Kevin dan Nessa saling berpandangan, berucap tanpa kata.
 
"Baiklah mama, kami janji minggu depan pasti sudah membawa cincin untuk ditunjukkan kepada mama."
 
***
 
"Kau mau yang seperti apa?' Kevin mengedikkan bahunya kepada jajaran cincin-cincin pernikahan yang diletakkan berjejer dalam kotak beludru di atas etalase,
 
Nessa mengamati cincin-cincin itu, luar biasa mewahnya, tetapi tentunya cincin yang dipersiapkan untuk pengantin Kevin pasti akan luar biasa bukan?
 
"Cincin ini tidak akan pernah kugunakan." Nessa bergumam lirih kepada Kevin, takut kedengaran petugas toko perhiasan itu, "Mungkin kau pilihkan saja yang sesuai seleramu."
 
Kevin menatap Nessa tajam, lalu mengangkat bahunya,
 
"Oke. Yang itu.'
 
Nessa melirik pada pilihan Kevin dan membelalak, sepasang cincin itu memang begitu indah di dalam kotak beludru warna hitam itu. Cincin untuk laki-lakinya begitu maskulin tetapi yang mengganggu adalah cincin untuk perempuannya yang dihiasi dengan batu berlian yang begitu besar berkilauan, terasa berlebihan.
 
"Tidakkah kau bisa memilihkan cincin yang lebih sederhana?" gumam Nessa ketus.
 
Kevin tertawa,
 
"Aku akan memilihkan yang itu untuk calon isteriku, lagipula kau tadi bilang mau yang sesuai seleraku."
 
"Aku berubah pikiran." gumam Nessa sambil melirik sinis, "Yang itu saja.'
 
Kevin mengangkat alisnya melihat cincin pilihan Nessa, sepasang cincin dengan uliran sederhana tetapi elegan, hanya cincin polos dengan variasi uliran indah buatan tangan. Tanpa batu berlian apapun.
 
"Terlalu polos dan sederhana." gumam Kevin tidak suka.
 
Nessa menatap Kevin tajam,
 
"Pokoknya yang itu."
 
Kevin terkekeh, geli dengan kekeraskepalaan Nessa,
 
"Oke.. oke.. baiklah." Dia melirik kepada Manager toko yang menunggu mereka, "Kami ambil yang itu."
 
Ketika Manager toko menyiapkan cincin itu, Nessa berbisik pelan kepada Kevin,
 
"Kau membeli sesuatu yang jelas-jelas tidak akan digunakan......bisakah nanti kau menjual cincin itu kembali kalau perjanjian sandiwara kita ini gagal?"
 
Kevin melirik Nessa seolah tersinggung,
 
"Harga cincin itu tak seberapa." gumamnya tenang, "Jangan kau pikirkan, tidak apa-apa."
 
Ketika mereka menerima kotak cincin itu, ponsel Kevin berbunyi. Lelaki itu mengangkatnya dengan tenang. Lalu setelah menerima penjelasan dari ujung sana, wajahnya memucat, berubah tegang.
 
"Nessa, kita harus ke rumah sakit segera. Mama tadi sesak napas, lalu pingsan. Sepertinya jantungnya. Kita harus ke rumah sakit sekarang.
 
***
 
Mama Nessa terbaring lemah di ruang iccu rumah sakit. Delina yang menyambutnya di sana bersama Ervan, perempuan itu menangis sesenggukan,
 
"Kak Kevin, mama pingsan, tadi kondisinya mengkhawatirkan... tetapi sekarang kata dokter sudah sadar."
 
Kevin menatap cemas ke arah ruang iccu,
 
"Sudah bolehkah kita menengoknya?"
 
Delina mengangguk,
 
"Tadi aku sudah menengoknya, tetapi mama belum sepenuhnya sadar.... kata dokter pengunjung boleh masuk, asalkan satu-satu."
 
Kevin menghela napas panjang,
 
"Aku akan menengok mama dulu." gumamnya sambil melangkah memasuki ruangan iccu yang tertutup itu.
 
Lama kemudian, Kevin tidak keluar. Ervan masih memeluk Delina yang terus menerus memandang cemas ke arah pintu itu. Sementara Nessa berdiri dengan bingung, tangannya memeluk tubuhnya sendiri.
 
Kemudian pintu terbuka dan Kevin melangkah keluar, wajahnya tampak pucat pasi, tetapi matanya menyala penuh tekad. Lelaki itu langsung melangkah lebar-lebar dan berdiri di depan Nessa.
 
Nessa menatap Kevin bingung. Ada apa?
 
Tak disangkanya, sedetik kemudian, Kevin berlutut di depannya dengan posisi melamar, mengeluarkan kotak cincin itu dan menunjukkannya kepada Nessa,
 
"Nessa, maukah kau menikah denganku, segera?"
 
***
 
Bersambung ke Part 5
 
 
 

Kamis, 27 Desember 2012

Seandainya aku tahu

 

Aku sangat mencintai isteriku, dengan caraku sendiri. Mungkin semua orang yang melihatku hanya akan menyimpulkan bahwa aku adalah lelaki pendiam yang kaku. Tetapi mereka pasti tak akan menyangka betapa dalamnya cintaku kepada isteriku, begitu pula sebaliknya. Kami pasangan bahagia, saling mencintai, sampai nanti.
 




Isteriku. Dia perempuan yang cantik dan baik hati. Menerimaku apa adanya, dan merawat kedua anak kami yang lucu-lucu dengan sepenuh hatinya. Terkadang aku begitu tersentuh ketika aku pulang dari pekerjaanku di malam hari, dia sudah menunggu dengan secangkir teh hangat dan pelukannya yang tak kalah hangatnya, membuatku lupa akan keletihanku bekerja seharian. Ah, berapa berharganya dia untukku.
 
Pekerjaanku sebagai staff di sebuah retail Supermarket terbesar di Jawa membuatku mengorbankan banyak waktu pribadiku demi pekerjaan. Tetapi aku bersemangat melakukannya. Demi isteriku, demi keluargaku. Aku pikir aku harus bekerja keras sekarang, mumpung aku masih muda, supaya nanti di masa tua kami sekeluarga bisa hidup tenang dan berkecukupan, tak perlu membanting tulang lagi untuk hidup. Setiap aku kelelahan bekerja, kubayangkan wajah isteriku, kubayangkan masa depan kami ketika kami mapan dan berkecukupan. Dimana kami berdua nanti bisa punya banyak waktu bersama-sama.
 
Malam itu aku pulang jam sebelas malam, Supermarket sangat ramai tadi menjelang tutup tahun, sehingga semua karyawan harus siap lembur sampai tutup toko. Kubuka pintu rumah, ruangan sudah gelap. anak-anak pasti sudah tidur, tiba-tiba batinku terenyuh membayangkan wajah si bungsu yang baru berumur 2 tahun, betapa jarang aku menggendongnya karena kesibukanku. Si sulungpun tak ada bedanya, kami menjadi tidak akrab, karena pagi hari aku sudah berangkat sebelum dia bangun dan ketika aku pulang dia sudah tidur. Kebersamaan kami hanyalah di hari minggu yang singkat, bahkan kadang aku harus mengorbankan hari mingguku untuk masuk kerja kalau ada keadaan darurat.
 
Kutemukan isteriku tertidur di ruang tamu, menungguku. Kudekati dia dan kutatap wajah damainya dalam tidur, lalu kukecup keningnya lembut. Ah, Ya Allah. Aku mencintainya dan terus menerus  merindukannya, pekerjaan ini telah sedemikian menyita waktuku hingga kadang-kadang aku merindukan saat-saat bersamanya, mencurahkan kasih dan cintaku kepadanya sebebas-bebasnya seperti waktu dulu. Tetapi kutegarkan hatiku. Ini semua demi mereka, keluargaku. Demi kebahagiaan mereka di masa depan.
 
Aku bekerja keras sekarang demi kemudahan di masa depan nanti. Tidak apa-apa sekarang aku kehilangan saat-saat bersamaku dengan keluargaku, nanti pasti bisa kutebus kalau karirku sudah meningkat dan kami sudah lebih mapan. Bukankah orang selalu bilang kita lebih baik bersakit-sakit dahulu dan bersenang-senang kemudian?
 
***
 
Telepon di ruanganku berbunyi, dan aku mengangkatnya, suara kakak iparku terdengar di seberang.
 
"Bisa izin dari tempat kerja? Anita kecelakaan di jalan....."
 
***
 
Aku terpekur menatap jenazah yang dibaringkan di ruang tamu itu. Dadaku terasa kosong dan hampa. Bahkan air mataku sudah tak bisa keluar lagi karena kesedihanku sudah mencapai puncaknya, tak tertahankan.
 
Isterikulah yang terbaring tak bernyawa di sana. Sebuah mobil menyerempetnya ketika dia hendak menjemput anakku dari SD-nya. Aku bahkan tidak sempat menemani isteriku disaat-saat terahkirnya, karena isteriku menghembuskan napas terahkirnya di rumah sakit, ketika aku sedang berjuang menembus kemacetan jalanan dari tempat kerjaku.
 
Lalu tiba-tiba air mataku menetes, air mata pertama sejak tragedi ini menimpaku. Dan kemudian seperti bendungan yang bocor, air mata itu mengalir tanpa henti, membuat aku sampai membungkuk, berlutut di depan jenazahnya dengan isak keras tak tertahankan. Ya Allah, Ya Allah, hamba tidak kuat Ya Allah.... sedu sedanku menyayat perih, seperih luka hatiku yang berdarah sedih.
 
Seandainya aku tahu waktuku bersama isteriku begitu pendek, akan kucurahkan seluruh kasih sayangku untuknya. Akan kuberikan semua waktuku untuk memujanya, membuatnya bahagia, membuatnya menyadari bahwa dia begitu dicintai. Seandainya saja aku tahu bahwa hari esokku bersama isteriku tak lagi datang, tak akan kusia-siakan waktuku untuk semua pekerjaan dan rencana-rencana masa depan kami yang sekarang tak mungkin terwujud lagi. Tetapi penyesalan memang selalu datang terlambat, dan manusia seperti aku hanya bisa berandai-andai.
 
Ya Allah... Seandainya saja aku tahu....
 
End
 
*Cintailah kekasihmu, seolah-olah dia akan mati besok pagi. Setidaknya ketika  ternyata kau benar-benar kehilangannya, kau tak akan dipenuhi penyesalan dan berandai-andai.
 
 

Rabu, 26 Desember 2012

Perjanjian Hati part 3

 
Created on Bandung, December 22nd, 2012

Part 3
Terasa begitu menyakitkan kehilanganmu dulu..
Terasa begitu menghancurkan kalbu ketika mencoba melupakanmu....
Sampai akhirnya kusadari, kau tak seberharga itu
Dan ternyata aku tidak mencintaimu sedalam itu









Hening sejenak. Lalu Kevin berdehem di seberang sana.
 
"Kau yakin?'
 
Kenapa di saaat Nessa berusaha menguatkan dirinya demi adiknya, Kevin malahan bertanya seperti itu? Nessa mengerutkan keningnya.
 
"Ya. aku yakin."
 
"Aku akan marah besar kalau kau berubah pikiran di tengah-tengah rencana kita."
 
Memangnya dia siapa? dan apa peduli Nessa kalau Kevin marah? Tetapi tiba-tiba Nessa teringat bahwa Kevin bisa menakutkan kalau dia mau.
 
"Aku tidak akan berubah pikiran." gumam Nessa, berusaha terdengat meyakinkan.
 
"Bagus. Kalau begitu aku akan mengatur semuanya."
 
Lalu percakapan ditutup, tanpa ucapan apapun. Meninggalkan Nessa yang mengerutkan kening karena ketidak sopanan Kevin.
 
***
Aroma wangi menyeruak ke seluruh ruangan. Ibu benar-benar serius membuat makan malamnya kali ini. Nessa melangkah ke arah dapur sehabis mandi dan tersenyum melihat ibunya sedang memasukkan puding karamel yang terlihat lezat ke lemari es.
 
"Wow, kita makan malam besar hari ini." goda Nessa lembut sambil membuka tutup panci, di dalamnya ada sup jamur andalan ibunya yang paling enak.
 
Sang ibu tersenyum lembut pada Nessa,
 
"Ibu senang melihat Ervan bahagia Nessa, dia tidak pernah seperti ini sebelumnya."
 
'Ya ibu, Ervan benar-benar tampak dimabuk asmara." Nessa mencomot kue keju dari toples di meja makan dan mengunyahnya, "Ibu suka dengan Delina?"
 
"Dia anak yang sopan. Ibu cukup senang." Sang ibu lalu melirik Nessa dengan hati-hati, "Ibu tahu kau akan jengkel kalau ibu bertanya lagi, tetapi bagaimana denganmu Nessa? apakah kau sudah... sudah melupakan...."
 
Pertanyaan ibunya itu selalu membuat suasana hati Nessa mendung. Dulu ibunyalah yang paling keras mendorong semangat Nessa agar bangkit dari keterpurukan sejak ditinggalkan oleh Marcell, dan meskipun kadang jengkel dengan pertanyaan-pertanyaan ibunya, Nessa sadar bahwa ini semua karena sang ibu menyayanginya dan mencemaskannya karena selama ini Nessa tidak pernah terlihat menjalin hubungan asmara dengan siapapun.

"Ibu tidak usah mencemaskan Nessa, ya." Nessa mencoba tersenyum lembut dan menenangkan ibunya, "Nessa pasti akan menemukan seseorang yang baik pada saatnya nanti."
 
Tiba-tiba Nessa teringat akan Kevin. Kira-kira bagaimana perasaan ibunya ketika Kevin dan Nessa benar-benar melaksanakan perjanjian untuk bersandiwara ini?
 
***

"Delina sudah datang." Ervan berdiri dan melangkah ke pintu depan, sedang Nessa masih membantu ibunya membereskan piring dan menata meja makan.
 
Terdengar suara pintu dibuka, dan terdengar suara-suara percakapan. Lama-kelamaan Nessa mengernyit. Suara laki-laki yang dalam itu bukan suara Ervan... dia tahu persis itu suara siapa!
 
Belum sempat Nessa melakukan sesuatu, Ervan sudah masuk ke ruang tengah, dengan Delina dan Kevin ikut di belakangnya.
 
"Ibu, kak Nessa, Delina datang bersama kakaknya." gumam Kevin gembira.
 
Delina segera masuk dan tersenyum ramah lalu menyalami ibu Nessa, dan memeluk Nessa. Kevin menyusul di belakangnya dalam diam, menyalami ibu Nessa dengan sopan, kemudian berdiri di depan Nessa dan tersenyum.
 
"Hai Nessa." gumamnya penuh arti.
 
Nessa menatap Kevin dengan tatapan memperingatkan lalu mencoba tersenyum palsu,
 
"Selamat datang." senyumnya tidak sampai ke matanya. Dan segera setelah itu Nessa menggumamkan berbagai alasan dan melarikan diri ke dapur.
 
Tetapi ketika seluruh alasan sudah habis, Nessa terpaksa ke ruang tengah, dan mereka segera menuju ke ruang makan untuk makan malam bersama.
 
Entah memakai trik apa, Kevin pada akhirnya duduk di sebelah Nessa, dan lelaki itu seolah-olah sengaja, menyenggol tangan Nessa setiap saat sehingga membuat Nessa benar-benar jengkel.
 
Acara makan malam berlangsung menyenangkan karena Ervan dan Delina dengan senang hati meramaikan percakapan dengan kisah-kisah mereka. Nessa sendiri hanya tersenyum-senyum melihat tingkah pasangan yang sangat saling mencintai itu, begitupun ibunya.

Sementara Kevin... hah? apa yang dilakukan lelaki itu? meskipun menyantap makanan yang sederhana, gayanya benar-benar seperti makan di restoran bintang lima, sangat elegan. Dan dia banyak memasang ekspresi datar dan sopan, hanya tersenyum jika memang waktunya tersenyum.
 
Ketika makan malam sudah dibereskan, Kevin melakukan tindakan tak terduga dengan menatap Ibu Nessa lalu tersenyum lembut,
 
"Terimakasih ibu, masakannya enak sekali." gumamnya tetang, tetapi mampu membuat ibu Nessa yang sudah setengah baya itu tersipu malu.
 
Dasar Playboy. tukas Nessa dalam hati, sampai-sampai Kevin juga menebarkan pesonanya kepada ibunya.

Ibu Nessa tampak melirik anak perempuannya yang memasang wajah cemberut, lalu melirik ekspresi Kevin yang terlihat geli di sebelahnya, perempuan tua itu mengangkat alis lalu kemudian tersenyum,

"Ibu undur diri istirahat di dalam dulu ya, silahkan dilanjutkan kalau masih ingin mengobrol-ngobrol,"

Ibu Nessa pun melangkah masuk ke kamarnya di ruang belakang. Nessa langsung berdiri dan membereskan meja makan, sementara Ervan mengajak Delina dan Kevin ke ruang tamu.

Setelah membereskan meja makan dan dapur, Nessa termangu di sana. Haruskah dia keluar lagi ke ruang tamu? dorongan hatinya ingin masuk saja ke kamar dan tak keluar-keluar lagi. Kevin, entah kenapa terlalu menebarkan aura mengintimidasi kepada Nessa, dan itu mengganggunya.

Tetapi tentu saja Nessa tidak mungkin membiarkan Ervan sendirian di sana menghadapi Kevin bukan?

Sambil menghela nafas panjang, Nessa melangkah menuju ruang tamu.

***

Ketika Nessa masuk ke ruang tamu, Ervan tampak sedang bercakap-cakap canggung dengan Kevin, dan Delina duduk diam menyimak di sebelah Ervan,

Kevin sedikit melirik ke arah Nessa yang memasuki ruang tamu dan duduk di sudut sofa yang terjauh dari Kevin, lalu melirik jam tangannya.

"Sepertinya kita harus pulang Delina." gumam Kevin tenang.

Delina mengerutkan keningnya, menatap kakaknya memprotes. Dia masih ingin bersama Ervan lebih lama lagi,

"Tetapi aku masih ingin di sini, kakak pulang duluan saja, nanti aku biarkan di antar oleh Ervan."

Tatapan Kevin langsung menajam,

"Kau tidak bisa melakukan itu, Delina. Kau tahu mama seperti apa. Dia menyuruhku mengantarmu, dan aku juga yang harus membawamu pulang."

Suasana menjadi canggung dengan Ervan yang bingung harus berkata apa-apa di tengah-tengah ketegangan kakak beradik itu.

Nessa langsung berdehem, mencoba menyelamatkan suasana,

"Mungkin kau bisa menunda kepulanganmu sebentar, Delina.", suara Nessa jadi tertelan ketika dia merasakan Kevin menoleh dan melemparkan tatapan mengintimidasi kepadanya, "Aku... aku ingin bicara dengan kakakmu dulu."

"Bicara apa?" sela Kevin sambil memiringkan kepalanya dan menatap Nessa menantang.

Dengan marah Nessa mengangkat alisnya, "Tidak di sini, mari ikut aku ke teras samping."

***

Kevin mengikuti Nessa melangkah ke teras samping yang menghadap kebun bunga, yang ditanam dan dirawat sendiri oleh Nessa. Teras itu kecil, tetapi cukup indah. Nessa senang sekali duduk-duduk di sana, di bangku kayu yang tersedia, sambil menatap kebun bunganya di sore hari.

Dia lalu duduk di bangku kayu itu dan menatap Kevin yang memilih bersandar di pilar kanopi sambil bersedekap dan menatap Nessa.

"Well? mau bicara apa?"

Nessa mendengus,

"Aku tidak mau bicara apa-apa denganmu, aku hanya memberi mereka kesempatan berduaan tanpa gangguanmu."

Kevin terkekeh, "Kau juga memberiku kesempatan berduaan denganmu."

Tatapan Nessa langsung berubah waspada,

"Memangnya kau mau apa?"

Mata Kevin menajam, seperti serigala yang berhasil memperangkap mangsanya, tetapi tidak berniat membunuhnya melainkan ingin memain-mainkannya dulu sebelum dimakan.

"Kenapa kau begitu takut kepadaku Nessa? kau selalu waspada ketika aku mendekat, menyentuhmu..... kau harus berlatih terbiasa dengan sentuhanku kalau kau ingin sandiwara ini berhasil."

Terbiasa dengan sentuhan Kevin? Tiba-tiba buku kuduk Nessa meremang.

"Aku tidak takut padamu. Aku cuma tidak suka dengan kedekatanmu yang kau paksakan."

"Hm.... kau tidak terbiasa berdekatan dan disentuh lelaki ya? aku paham, mengingat kekasih terakhirmu benar-benar lelaki yang tidak pantas disebut lelaki."

Pipi Nessa memerah, teringat kata-kata Kevin bahwa lelaki itu sudah menyelidiki keseluruhan kehidupannya, tidak bisa dibantah, Kevin pasti sudah tahu kisahnya dengan Marcell

"Jangan sebut-sebut nama Marcell di sini."

"Penyelidikku bilang kau patah hati dan hancur ketika Marcell mencampakkanmu, lelaki itu tidak bisa melawan permintaan ibunya yang masih menganut sistem feodal. Seharusnya kau bersyukur tidak jadi dengannya." Kevin menatap Nessa penuh perhitungan, "Aku bisa membantumu membalaskan dendam kepadanya."

"Aku tidak butuh membalas dendam kepada siapapun!", Nessa berdiri dengan emosi dan menatap Kevin dengan tatapan marah yang meluap-luap, "Sebelumnya, aku pikir bekerjasama denganmu adalah jalan yang terbaik, tetapi lama-kelamaan aku sadar bahwa aku salah! Aku tidak mau bersandiwara sebagai pasangan denganmu, membayangkannya saja aku muak."

Mata Kevin menyala, kalau Nessa lebih mengenal Kevin, dia seharusnya sadar bahwa dia harus mundur, tetapi sayangnya Nessa tidak tahu.

"Muak katamu? Kenapa kau muak kepadaku?"

"Karena kau lelaki kaya yang merasa bisa memainkan orang lain seperti boneka! dan kau suka merendahkan orang miskin!"

Kevin berdiri mendekat melangkah di depan Nessa, lalu mencengkeram pundaknya,

"Aku menawarkan perjanjian kerjasama itu demi adikmu juga. Seharusnya kau berterimakasih padaku." desisnya geram.

Nessa mencibir,

"Demi adikku? demi adik kita? bohong. Kupikir kau terlalu egois untuk berkorban demi seseorang, menurutku kau menawarkan sandiwara ini agar bisa terbebas dari kewajiban membalas budi kepada mamamu, padahal kau tak ingin menikahi Delina." Nessa menatap Kevin menantang, "Benar bukan? semua rencana ini, hanya demi kepentinganmu."

Kali ini api di mata Kevin makin membara,

"Berani-beraninya kau mengataiku seperti itu..."

Lalu tanpa di duga, lelaki itu tiba-tiba menarik pundak Nessa mendekat dan mendorong belakang kepalanya dengan sebelah tangannya ke arahnya, bibir Nessa berada dekat sekali dengan bibir Kevin, dan hanya beberapa detik kemudian, bibir Kevin melumatnya, dengan begitu ahli, sementara Nessa hanya terpaku kaget.

Setelah itu dengan santai Kevin melepasnya dan mengecup dahinya dengan lembut.

Dengan Lembut? Nessa termangu masih terlalu shock atas perbuatan Kevin yang tiba-tiba itu, lalu dia melirik ke belakang punggung Kevin dan melihat Ervan bersama Delina sedang berdiri terpaku di lorong, tak kalah kaget melihat adegan Kevin dan Nessa.... jadi itu alasannya.
 
Kevin menoleh dan aktingnya kagetnya ketika melihat Ervan dan Delina yang berdiri di lorong teras begitu bagus hingga Nessa mencibir benci melihatnya,

"Ah... Delina, Ervan... kalian sudah lama di sini?"

Ervan dan Delina saling berpandangan, salah tingkah.

"Kami baru saja ke sini, Delina ingin pulang jadi kami kesini dan..." suara Ervan tertelan, dan dia menatap ragu ke arah Nessa, Ervan sangat mengenal kakaknya, sejak dicampakkan oleh Marcell kakaknya itu jadi menutup diri terhadap semua lelaki, khususnya lelaki kaya. Tetapi kenapa sekarang kakaknya berpelukan dan berciuman dengan Kevin? sosok lelaki yang sudah pasti masuk ke kriteria yang dibenci kakaknya?

Sementara itu Delina menatap ragu ke arah Kevin. Dia juga sangat mengenal kakak lelakinya yang satu ini. Kevin tidak pernah suka menjalin komitmen dengan siapapun, karena itulah dia selalu menjalin hubungan dengan perempuan modern dan bebas yang bersedia menjalin hubungan tanpa status dengannya. Tetapi sekarang, Kevin dengan kak Nessa?
 
Kevin berdehem, kemudian merangkul Nessa dalam lengannya dan merapatkan tubuh Nessa ke arahnya,

"Karena kalian sudah melihat kami, mungkin kami harus menjelaskan," Kevin menoleh dengan tatapan mesra yang palsu pada Nessa, "Kita jelaskan saja pada mereka ya sayang?"

Pipi Nessa memerah, dan dia hanya bisa mengangguk. Masih terbayang olehnya bibir Kevin yang panas melumatnya tanpa permisi. Kurang ajar lelaki itu!

"Kakakmu dan aku sebenarnya sudah mengenal sejak lama, Ervan .....  kalau boleh dibilang, aku yang mengejarnya." Kevin terkekeh, "Dan kakakmu sangat susah didapatkan... meskipun aku tidak menyerah untuk mendapatkannya." Senyum Kevin melebar, "Ketika mengetahui di pesta itu bahwa Nessa adalah kakakmu, aku sangat senang, tetapi Nessa menyuruhku berpura-pura tidak mengenalnya dulu, karena dia belum menjelaskan hubungan kami kepadamu....." dengan lembut Kevin mengeratkan pelukannya pada Nessa, "Barusan Nessa menerima pernyataan keseriusanku, aku terlalu bahagia sehingga tidak bisa menahan diri untuk menciumnya, dan ternyata kalian melihatnya sebelum kami sempat menjelaskan."

Ervan dan Delina tampak mencerna penjelasan Kevin yang sangat lancar itu, Kemudian Delina yang tersenyum duluan. Dia teringat tuntutan sang mama yang begitu membebaninya, dan menyadari bahwa kedekatan Kevin dengan Nessa adalah jalan keluar yang sangat tepat untuk menolak tuntutan mamanya tanpa menyakitinya atau mengganggu kondisi kesehatannya.

Dengan ceria dia melangkah mendekat, lalu memeluk Nessa yang masih diam tak bisa berkata-kata.

"Kak Nessa, aku turut senang, kuharap kita bisa menjadi keluarga yang sebenar-benarnya, kakak pasti sudah tahu, aku dan kak Kevin bukan saudara kandung, jadi kakak bisa menikah dengan kak Kevin nantinya dan aku dengan Ervan.", gumamnya dalam senyum.

Nessa hanya menganggukkan kepalanya, bingung harus berkata apa. Dengan cerdiknya Kevin sudah menempatkan di Nessa pada posisi tidak bisa mundur lagi.

"Sama-sama Delina.", bisiknya lembut, "Aku senang kau menjadi adikku."

Nessa melirik ke arah Ervan dan menilai ekspresinya. Kecurigaan di mata adik lelakinya itu sudah memudar, Nessa merasa lega.

Dan sekarang sudah terlambat untuk mundur, meskipun Nessa tidak yakin, apa yang akan terjadi nanti.

***

Nessa melihat lelaki yang berdiri di lorong TK itu dan mengernyit, Untuk apa Marcell datang ke sini?

Langkahnya melambat ketika makin mendekati Marcell, sedangkan Marcell yang semula berdiri santai langsung berdiri tegak ketika mereka berdiri berhadap-hadapan.

"Ada perlu apa?" tanya Nessa langsung.

Marcell tampak salah tingkah dan tersenyum,

"Apa kabar Nessa?"

Kenapa Marcell kemari? pertanyaan itu berkutat di benaknya, membuat dahinya berkerut.

"Kabarku baik, kau bisa lihat sendiri." Aku bisa bangkit tanpamu dan melanjutkan hidupku. Sambung Nessa dalam hati.

Marcell berdehem tampak salah tingkah,

"Aku terkejut melihatmu di pesta itu... apalagi mengetahui bahwa kau kekasih Tuan Kevin...", lelaki itu memandang sekeliling seolah menghindar, "Susan bercerita pada mama tentang pertemuannya denganmu, dan mama merasa cemas.... dia... dia menyuruhku kemari untuk memastikan bahwa tidak ada sakit hati antara kita di masa lalu, kau tahu... perusahaan keluarga kami merupakan mitra bisnis Tuan Kevin dan kemitraan ini sangat penting... Aku hanya ingin memastikan hubunganmu dengan Tuan Kevin tidak akan mempengaruhi kebijakannya atas perusahaan kami."

Hati Nessa terasa di gores-gores dengan cakar tajam mendengar perkataan Marcell. Lelaki ini datang kepadanya bukan untuk minta maaf karena telah mencampakkannya dengan kejam dua tahun lalu, karena telah memperlakukannya seperti sampah atas kemiskinannya. Lelaki ini datang hanya sebagai boneka mamanya, untuk kepentingan bisnis perusahaannya.

Kenapa dulu aku bisa jatuh cinta kepadanya? Kepada lelaki yang bahkan tidak bisa menghargai perasaan orang lain?  Hati Nessa terasa sakit.
 
"Aku sudah melupakanmu Marcell, bahkan tidak terpikirkan sama sekali tentangmu. Tidak ada dendam masa lalu di hatiku, kau bisa tenang." Nessa bergumam, berusaha terdengar tegas.

Marcell menatap Nessa dalam-dalam. Apakah benar Nessa melihat sekilas ketersinggungan Marcell ketika Nessa mengatakan bahwa dia dengan mudahnya bisa melupakan Marcell?
 
"Oh begitu.", Marcell tersenyum, "Kalau begitu aku akan menyampaikannya kepada mama, oh ya, kau dapat salam dari mama, kalau kau ada waktu, mainlah kapan-kapan ke rumah."

Nessa terkenang hari di mana Marcell membawa Nessa ke rumahnya. Mama Marcell adalah perempuan dingin berwajah aristrokat yang memandang Nessa dengan mencemooh, bahkan tidak mau menjabat tangan Nessa. Apakah hubungannya dengan Kevin menaikkan derajatnya di mata mama Marcell? sebegitu dangkalkah penilaian mama Marcell terhadap manusia? hanya berdasarkan hartanya?

"Ya. sampaikan salam kembali pada mamamu." Nessa melangkah hendak melewati Marcell, "Kalau begitu aku permisi dulu."

Tiba-tiba Marcell meraih lengannya, setengah mencengkeram,

"Tunggu dulu Nessa, ada yang ingin kukatakan... kau... apakah kau mencintai Tuan Kevin? sungguh-sungguh mencintainya dan sudah melupakan aku?"

"Tentu saja dia mencintaiku dan sudah melupakanmu. Aku tidak bisa dibandingkan denganmu."

Suara dalam yang khas itu membuat Nessa dan Marcell sama-sama kaget, pegangan Marcell ke tangan Nessa langsung terlepas,

Kevin entah kenapa sudah berdiri di sana dan menatap Mercell dengan tajam, lalu tersenyum palsu menatap Nessa,

"Hai sayang, maafkan aku terlambat menjemputmu ya, tadi aku terhambat sebentar di jalan." Kevin langsung melangkah mendekati Nessa, berdiri sedikit di depan Nessa, seolah menghalangi Marcell berdekatan dengan Nessa.

"Oh... selamat siang tuan Kevin." Marcell tampak gugup, menatap sekeliling, seolah-olah ingin segera lari dari situasi yang tidak mengenakkan ini, tiba-tiba wajahnya tampak cerah seolah mengingat sesuatu, dikeluarkannya amplop cantik nan elegan berwarna ungu dari saku dalam jas nya, "Saya hanya ingin menyerahkan undangan pernikahan ini untuk Nessa." di letakkannya amplop itu di tangan Nessa, "Untuk Tuan Kevin undangan sudah di sampaikan secara resmi melakui sekertaris anda.", Marcell mencoba tersenyum, lalu menganggukkan kepalanya, "Kalau begitu saya permisi dulu."

Nessa menatap punggung Marcell yang melangkah menjauh, kemudian menghela napas dan menatap undangan cantik di tangannya, pernikahan Marcell dan Susan yang akan berlangsung sebentar lagi.

"Kau akan mendampingiku datang di pesta itu." gumam Kevin datar, "Kau bisa datang dengan kepala tegak dan tunjukkan kepada laki-laki bodoh itu kalau kau terlalu baik untuknya."

Tanpa sadar Nessa tersenyum simpul mendengar kata-kata Kevin yang mirip seperti pembelaan untuknya. Dia menganggukkan kepalanya,

"Mungkin bisa dibicarakan nanti saja." desahnya, lalu menatap Kevin dan mengernyit bertanya-tanya kenapa Kevin tiba-tiba saja sudah ada di TK tempatnya mengajar tanpa pemberitahuan, "Kenapa kau kemari?"

Lelaki itu tersenyum dan mengangkat bahunya,

"Well waktunya sudah tiba, mama ingin bertemu denganmu. Aku harap kau sudah mempersiapkan aktingmu sebaik-baiknya."

***

Bersambung ke Part 4

Baca Part 1 http://anakcantikspot.blogspot.com/2012/12/perjanjian-hati-part-1.html
Baca Part 2 http://anakcantikspot.blogspot.com/2012/12/perjanjian-hati-part-2.html
Baca Part 4 http://anakcantikspot.blogspot.com/2012/12/perjanjian-hati-part-4_28.html
Baca part 5 http://anakcantikspot.blogspot.com/2012/12/perjanjian-hati-part-5.html#more

 

Jumat, 21 Desember 2012

Untuk Perempuan yang Kupanggil : Ibu

Untuk dia, perempuan tegar yang pernah menggendongku dengan penuh kelembutan
Untuk dia, perempuan kuat yang pernah memelukku dengan penuh perlindungan
Untuk dia, perempuan yang menabung pengertian ketika mengandungku
Untuk dia, perempuan yang sudah memaafkanku bahkan sebelum aku berbuat kesalahan
Untuk dia, Perempuan yang kupanggil : ibu

Selamat hari ibu.
Terimakasih sudah menjadi ibu yang begitu baik
Hingga aku bisa tumbuh seperti sekarang ini

Selamat hari ibu juga untuk semua ibu di dunia, untuk  yang sedang berharap segera menjadi ibu, dan untuk para perempuan, calon ibu di masa depan :)